Minggu, 22 Maret 2009

ISLAM DAN KEHIDUPAN MANUSIA

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu.

(QS 5:3, Al Maaidah).


PENGERTIAN TENTANG AGAMA

Endang Saifuddin Anshari, MA berpendapat, bahwa Agama, Religi dan Din (pada umumnya) adalah satu sistema credo (tata keimanan atau tata keyakinan) atas adanya sesuatu Yang Mutlak di luar manusia dan satu sistema ritus (tata peribadatan) manusia kepada Yang Maha Mutlak itu serta sistema norma (tata kaidah) yang mengatur hubungan manusia dengan alam lainnya, sesuai dan sejalan dengan tata-keimanan dan tata-peribadatan termaksud. Karena itu Agama Islam adalah merupakan satu sistema aqidah dan tata-aqidah yang mengatur segala peri-kehidupan dan penghidupan manusia dalam pelbagai hubungan: baik hubungan manusia dengan Tuhannya, maupun hubungan manusia dengan sesamanya ataupun hubungan manusia dengan alam lainnya (nabati, hewani dan lain sebagainya).

Menurut Prof. Dr. TM. Hasbi Ash Shiddieqy, agama itu ialah: 'Aqiedah (kepercayaan batin/hati), 'ibadah (amal pekerjaan yang mewujudkan kepada perhambaan diri kepada Allah), dunia (tata aturan yang menjadi pedoman dalam mencapai kemajuan dunia dan kemakmuran manusia), akhirat (tata aturan yang menjadi pegangan dalam mencapai kebahagiaan akhirat), siyasah (tata aturan mengendalikan negara), daulah (tata aturan bernegara dan berpemerintahan yang harus dipatuhi dan dijalankan) itulah agama menurut kehendak Islam (Allah).

Agama (Ad Dien), sering juga disebut dengan Syara', Syariat, dan Millah. Agama sebagai undang-undang ke-Tuhan-an (ilahiyah) disebut dengan Ad Dien (Agama) adalah karena undang-undang tersebut harus diikuti dengan taat dan khudlu' (patuh dan menundukkan diri) dan wajib dijunjung tinggi. Agama disebut dengan Syara', adalah mengingat bahwa agama itu suatu jalan yang harus dilalui oleh para hamba, supaya sampai kepada yang dituju. Agama dinamai dengan Syari'at, adalah mengingat persamaannya dengan air yang hening-bening, putih-jernih, melepaskan dahaga dan menyejukkan badan. Karena agama memberikan ketenangan, keadilan, kebenaran, dan kebahagiaan. Agama juga disebut dengan Millah, adalah karena undang-undang ilahiah ini bermaksud untuk mempersatukan pemeluknya dalam suatu ikatan yang kokoh, juga mengingat karena hukum-hukum agama itu dibukukan.


AGAMA ISLAM

Islam bermakna selamat, sejahtera, aman, damai dan bahagia; kebahagiaan dan kesejahteraan lahir-batin, jasmani-ruhani, material-spiritual dan dunia-akhirat. Islam juga berarti tunduk dan patuh kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Islam adalah agama yang telah ditetapkan oleh Allah bagi seluruh umat manusia. Manusia yang mencari agama selain Islam, nanti di akhirat akan merugi, karena keberagamaannya ditolak.

Sesungguhnya agama (yang diridloi) di sisi Allah hanyalah Islam. (QS 3:19, Ali 'Imran).

Barang siapa yang mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS 3:85, Ali 'Imran).

Sebagai agama keselamatan, Islam bersifat universal. Tidak dibatasi oleh batas-batas geografi, ras, bahasa, maupun kebangsaan. Kehadiran Islam bukan hanya bagi bangsa Arab saja tetapi merupakan rahmat bagi semesta alam, dan seluruh umat manusia berhak untuk menikmatinya.

Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (QS 21:107, Al Anbiyaa’)

Sebagai agama yang dihadirkan untuk umat manusia, Islam memberikan arah kehidupan yang seimbang. Islam menghendaki agar manusia mengejar kehidupan akhirat dengan tidak melalaikan kebahagiaannya di dunia. Adalah merupakan fakta, bahwa manusia harus melewati fase kehidupan dunianya sebelum hadir dalam suasana yang abadi di akhirat. Islam merupakan “jembatan emas” bagi manusia yang mencari kesejahteraan di dunia dan kebahagiaan sejati di akhirat kelak.

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS 28:77, Al Qashash)

Islam adalah agama yang sempurna dan sesuai dengan fithrah manusia. Karena itu, Islam dapat memberikan jawaban atas persoalan kehidupan umat manusia, baik permasalahan sosial, ekonomi, politik, budaya, kenegaraan, maupun yang lainnya. Islam juga mampu memberikan jawaban atas eksistensi manusia dan ruang lingkup yang meliputinya berupa alam semesta ini, maupun hal-hal ghaib yang tidak diketahui manusia. Islam bukan hanya agama individual tetapi juga memiliki dimensi sosial yang mampu mengatur dan memberi arah gerak peradaban manusia menuju kebahagiaan yang diharapkannya dalam naungan nilai-nilai ilahiah.

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fithrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fithrah itu. Tidak ada perubahan pada fihtrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS 30:30, Ar Ruum)

Sebagaimana telah diketahui, Islam adalah agama wahyu yang diturunkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada Rasul-Nya, untuk disampaikan kepada segenap umat manusia, sepanjang masa dan setiap persada, karena itu Islam tentu agama yang benar. Kebenaran Islam dapat dilihat dari validitas dan autentitas kitab sucinya, korelasi yang harmonis antara ayat-ayat quraaniyah dan kauniyah, kebenaran ide yang dikandungnya dengan realita, dan lain sebagainya. Meskipun demikian, seseorang tidak akan dipaksa untuk memeluk agama Islam. Jika ada manusia yang masih ragu, mereka dipersilahkan untuk menjawab tantangan membuat satu surat saja yang sepertinya. Guna membuktikan kebenaran dari keraguannya tersebut.

Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-sekali kamu termasuk orang-orang yang ragu. (QS 2:147, Al Baqarah).


KEKAFFAHAN DALAM ISLAM

Islam adalah agama wahyu yang dihadirkan kepada umat manusia untuk menjadi petunjuk bagi orang-orang yang beriman. Petunjuk yang datangnya dari Allah harus diikuti oleh manusia, karena dengan mengikuti petunjuk itu manusia akan menemukan jalan hidup yang benar sesuai dengan fithrahnya. Sayangnya, tidak semua manusia mau mengikuti petunjuk yang diturunkan Allah subhanahu wa ta’ala melalui para Rasul. Bahkan, ada yang cenderung taqlid buta, hanya mau mengikuti jejak nenek moyang mereka, meskipun itu keliru.

Petunjuk Allah hanya akan bermanfaat bagi orang-orang yang beriman. Mereka mengambil manfaat atas petunjuk tersebut untuk kehidupannya, sehingga terbimbing dalam kebajikan di dunia dan akhirat. Dengan mengikuti petunjuk Allah manusia menemukan kebenaran, kedamaian dan kebahagiaan sejati. Bergembira dalam ketenangan janji Allah, sedang mereka tiada khawatir dan bersedih hati.

Sebagai suatu sistema credo (tata keimanan) Islam harus diterima secara kaffah (totalitas). Penerimaan Islam secara menyeluruh meniadakan adanya penerimaan sebagian petunjuk (ayat) -karena disukai- dan penolakan ayat yang lain -karena tidak disukai- oleh manusia. Penerimaan secara parsial hanya akan menimbulkan ketimpangan di dalam beragama, dan bisa menyebabkan tersesat dari jalan yang lurus. Yang berdampak pada kekacauan dalam kehidupannya di dunia dan membahayakan dalam kehidupannya di akhirat kelak.

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah Syaitan. Sesungguhnya Syaitan itu musuh yang nyata bagimu. (QS 2:208, Al Baqarah).

Secara terminologi iman berarti kepercayaan yang diyakini dalam hati, diungkapkan secara lisan dan diaplikasikan dalam amal perbuatan. Karena itu, bagi seorang muslim hanya pengakuan percaya saja kurang bermakna apabila tanpa dimanifestasikan dalam amal shalih. Dengan demikian iman bukan hanya berarti keyakinan hati saja, tetapi juga pengakuan secara verbal dan pernyataan dalam aktivitas kehidupan. Bila ditarik korelasi antara makna keimanan dengan kekaffahan dalam penerimaan Islam, akan menunjukkan bahwa menerima Islam secara kaffah (totalitas) juga mengharuskan dalam merealisasikannya dalam kehidupan, sebagai bukti atas penerimaan tersebut.

Manusia dalam kesejarahannya selalu berusaha untuk membangun peradaban yang lebih maju. Di dalam membangun peradaban ini, manusia melakukan aktivitas kehidupan yang bermacam-macam, baik ekonomi, sosial, budaya, politik maupun yang lainnya. Menurut Islam, dalam membangun peradabannya manusia harus mengikuti nilai-nilai kebenaran yang datang dari Allah Yang Maha Tahu, yang telah memberi petunjuk kepada umat manusia berupa ajaran agama Islam. Petunjuk Allah akan memberikan arah bagi manusia dalam membangun peradabannya, agar tetap berada di jalan yang diridlai-Nya. Karena itu, kekaffahan dalam menerima Islam menjadikan umat manusia selalu berada dalam kebenaran, sedangkan pencampur-adukan antara petunjuk dan kesesatan pada akhirnya akan merugikan manusia sendiri. Allah melarang aktivitas yang mencampur-adukkan antara kebenaran dengan kebathilan sedemikian pula melarang upaya-upaya untuk menutupi kebenaran yang datang dari-Nya, sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:

Dan janganlah kamu campur adukkan yang haq dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang haq itu, sedang kamu mengetahui. (QS 2:42, Al Baqarah).

Tepat sekali, bila manusia menerima Islam secara kaffah, karena Islam adalah agama yang diridlai Allah. Dengan menerima Islam, manusia telah berlaku ta'at kepada-Nya dan berada di jalan yang lurus sesuai dengan fithrahnya. Ketaatan kepada Allah membawa manusia menjadi orang yang bertaqwa, dan sebaik-baik manusia di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa. Bagi orang yang bertaqwa kepada Allah, maka Allah mencintainya, melindunginya dan menyertainya dalam segala aktivitas kehidupan yang dilakukannya. Mereka akan diberi balasan dengan kenikmatan syurga. Sedang bagi para pengingkar dan pendusta terhadap petunjuk Allah, pada akhirnya akan memasuki keabadian dalam keadaaan tersiksa dalam api yang membakar, neraka.

Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada syurga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa. (QS 3:133, Ali 'Imran).


EKSISTENSI MANUSIA

Kehadiran manusia di bumi bukan atas kemauannya sendiri, tetapi atas kehendak Yang Maha Pencipta. Manusia diciptakan Allah dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Baik ditinjau secara psikis maupun fisik manusia merupakan makhluq ciptaan Allah yang memiliki kelebihan dibandingkan dengan makhluq yang lain. Secara psikis, manusia bukan saja mampu mempergunakan perasaan secara instinktif, tetapi juga memiliki kemampuan untuk mempergunakan akalnya, berfikir secara rasional. Secara fisik, manusia memiliki otak yang merupakan organ penting, dan bentuk anatomi tubuh yang memungkinkan melakukan aktivitas gerak dengan lebih leluasa dan efektif. Dengan kondisi tubuh yang seperti itulah manusia siap menerima amanah keimanan dan mengimplementasikannya dalam aktivtitas amal shalih.

Bersamaan dengan jin, keberadaan (eksistensi) manusia di bumi tidak lain adalah untuk mengabdi kepada Allah. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS 51:56, Adz Dzaariyaat).

Tugas pengabdian (penghambaan) ini dilaksanakan manusia dengan cara melakukan ibadah, baik dalam arti khas (mahdlah) maupun dalam arti luas (ghairu mahdlah). Endang Saifuddin Anshari, MA memberikan makna ibadah dalam arti khas sebagai segala tata cara, acara dan upacara pengabdian langsung manusia kepada Allah, yang segala sesuatunya secara terperinci sudah digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya; seperti Shalat, Zakat, Shaum, Haji dan lain sebagainya, yang bertalian erat dengan hal-hal termaksud. Sedangkan 'ibadah dalam arti luas (meliputi antara lain 'ibadah dalam arti khas) ialah pengabdian, yaitu segala perbuatan perkataan dan sikap yang bertandakan: (1) Ikhlas sebagai titik tolak; (2) Mardlatillah sebagai titik tuju; dan (3) Amal Shalih sebagai garis amal, termasuk di dalamnya antara lain: mencari nafkah, mencari ilmu, mendidik, bertani, bekerja-buruh, memimpin negara dan masyarakat dan lain sebagainya.

Sebagai hamba Allah manusia harus tunduk dan patuh (islam) kepada Allah. Ketunduk-patuhan tersebut dilakukan dengan mengambil Islam sebagai agama secara kaffah, sebagaimana telah dibicarakan di depan. Manusia harus berani meninggalkan agama-agama atau paham-paham (isme-isme) yang sesat. Pada dasarnya semua agama itu sesat kecuali Islam. Islam-lah agama yang dibawa para utusan Tuhan Yang Maha Tahu. Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa (Yesus), dan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam serta yang lainnya membawa agama Islam. Suatu syari’at yang mengajak umat manusia menegakkan iman tauhid dan tunduk patuh berserah diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku. (QS 23:52, Al Mu’minuun)

Di dalam mengabdi kepada Allah, manusia harus berlaku ikhlas dan memurnikan ketaatan kepada-Nya semata. Pemurniaan ketaatan kepada Allah adalah suatu yang diperlukan umat manusia, supaya tidak terjadi penyelewengan terhadap ajaran agama yang dibawa para Rasul, seperti yang terjadi pada umat Yahudi dan Nashrani.

Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (QS 1:5-7, Al Faatihah)

Di dalam mengemban tugas hidup sebagai hamba Allah manusia melaksanakan fungsinya selaku Khalifah Allah di bumi, melaksanakan segala yang diridlai-Nya di atas bumi untuk mengkulturkan natur dan dalam waktu yang sama untuk meng-Islam-kan kultur. Sebagai Khalifah Allah, manusia berusaha untuk memakmurkan bumi, mengolah sumber daya alam bagi kemajuan kebudayaan, peradaban dan kebahagiaannya. Mempergunakan nikmat kekhalifahan ini untuk bersyukur dalam rangka mengabdi kepada-Nya.


TUJUAN HIDUP MANUSIA

Manusia diciptakan Allah bukanlah dengan sia-sia, tetapi memiliki tujuan yang esensial. Dr. Murthada Mutahhari mengungkapkan: "Dengan demikian tujuan hidup menurut Al Quraan adalah Allah itu sendiri. Segala sesuatu hanya karena Allah atau Tuhan Semesta Alam. Segalanya dikerjakan dalam rangka mempersiapkan agar memperoleh ridla Allah. Bukan semata-mata bertujuan untuk meraih keuntungan secara bebas tanpa batas ".

Allah mencintai hamba-Nya yang beriman, yang mau mengerti akan keberadaannya di muka bumi nan fana ini. Manusia yang mau memahami keberadaan dirinya akan berusaha menjaga diri dengan berlaku taqwa kepada Penciptanya, tidak larut dalam kenikmatan duniawi sehingga lupa kepada Tuhannya. Manusia yang seperti ini memilih tujuan hidup yang lebih tinggi yaitu Allah subhanahu wa ta’ala, dengan selalu berusaha mencari keridlaan-Nya (mardlatillah), dari pada sekedar mencari tujuan hidup sesaat yang tidak memiliki dimensi akhirat.

(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun" (sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah kami kembali). Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS 2:156-157, Al Baqarah)
Dan diantara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridlaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya. (QS 2:207, Al Baqarah).

Selanjutnya beliau menyatakan: "Banyak orang mengartikan tujuan hidup manusia sekedar untuk mencapai kebahagiaan (happiness), Yakni hanya untuk memperoleh suasana kehidupan yang menyenangkan, menikmati karunia Tuhan dengan senang hati serta terhindar dari pelbagai penderitaan, kesengsaraan, ataupun kesedihan karena faktor alamiah maupun yang berasal dari dirinya sendiri. Barangkali ini yang disebut bahagia."

Namun kebahagiaan hidup bukanlah hanya kebahagiaan duniawiah semata, tetapi ada kebahagiaann hidup yang lebih tinggi nilainya yaitu kebahagiaan ukhrawi dalam keabadian yang penuh dengan suka cita. Bagi manusia yang taqwa, disamping dia mencari kebahagiaan hidup di dunia dia juga merasa berkepentingan dan berusaha untuk mencari kebahagiaan di akhirat yang hanya dapat dicapai dengan karena mendapat ridla Allah subhanahu wa ta’ala.

Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridlai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam Syurga-Ku. (QS 89:27-30, Al Fajr).

Tidak ada komentar: