Kamis, 29 Januari 2009

TAQDIR

Rumusan Praktis AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL-JAMA'AH
oleh : Dr. NASHRIR BIN ABDUL KARIM AL’AQL


VI. T A Q D I R

*

1. Diantara rukun-rukun iman ialah beriman kepada taqdir Allah -baik dan buruknya-. Hal itu meliputi: Beriman kepada setiap nash tentang taqdir beserta urut-urutannya yaitu: (ILMU, PENULISAN, KEHENDAK, PENCIPTAAN).-(1)

Iman bawasanya tidak ada yang bisa menolak QADLA’ (taqdir) Allah dan yang tidak ada yang bisa membantah hukum-Nya.
*

2. Iradah (keinginan) dan perintah yang terdapat di didalam Al-Kitab As-Sunnah ada dua macam:
o

a). Iradah Kauniyah Qadariyah artinya: Kehendak dan perintah yang sifatnya KAUNI QADARI (Sunnatullah-pent.).-(2)
o

b). Iradah Syar’iyyah (keinginan yang bersifat syar’i) yakni yang dibarengi mahabbah (cinta) dan merupakan perintah syar’i.-(3)

Makhluk mempunyai keinginan dan kehendak, namun kehendak dan keinginan mereka mengikut pada kehendak dan keinginan Al-Khaliq.
*

3. Mendapatkan hidayah atau sasatnya seorang hamba, mutlak di tangan Allah. Maka di antara mereka ada yang ditunjuki oleh Allah atas karuni-Nya, dan diantara mereka ada yang berhak mendapat kesesatan berdasarkan keadilan-Nya.
*

4. Hamba dengan seluruh pekerjaan mereka termasuk makhluk-makhluk Allah Ta’ala, Dzat yang tiada Pencipta selain Dia.

Jadi Allah itu Yang mencipta perbuatan-perbuatan hamba, sedangkan para hamba melakukan perbuatan-perbuatan itu betul-betul HAKIKI.
*

5. Menetapkan adanya hikmah dalam perbuatan-perbuatan Allah Ta’ala dan menetapkan adanya “sebab” (bagi sesuatu kejadian-pent.) berdasrkan kehendak Allah.
*

6. Ajal telah tertulis, rizqi telah terbagi dan kebahagiaan serta kesengsaraan juga telah tertulis bagi manusia sebelum mereka diciptakan.
*

7. Berdalih dengan (alasan bahwa ini) TAQDIR hanyalah ada bagi suatu musibah atau penaykit. Adalah tidak diperbolehkan berdalih (alasan bahwa ini) TAQDIR bagi suatu perbuatan cela atau perbuatan dosa, akan tetapi hal itu (justeru) wajib untuk di-TAUBATI, dan pelaku perbuatan itu adalah seorang yang tercela.
*

8. Mengembalikan (suatu kejadian) hanya sampai kepada sebab, hukumnya SYIRIK dalam tauhid. Sedangkan berpaling sama-sekali dari “sebab” merupakan tindakan tercela di dalam syariat. Dan menolak adanya “sebab” berarti bertentangan dengan syara’ dan akal. Tawakal bukanlah berarti menolak untuk memperhatikan “sebab”.



Keterangan

*

(1). Berdasrkan riwayat yang shahih, lima puluh tahun sebelum Allah menciptakan makhluk-Nya, dia sudah mengetahui taqdir yang harus ditetapkan bagi mereka. Sedangkan ketepan taqdir terjadi setelah diciptakannya Al-Arsy’. (Shahih Muslim 2: 300)

Mengenai penulisan Taqdir, terjadi ketika pertama kali Allah menciptakan Al-Qalam (pena). Allah berfirman kepada al-Qalam: Tuliskan!. Al-Qalam menjawab: Wahai Rabb. Apa yang harus aku tulis? Allah menjawab: “Tuliskan taqdir segala sesuatu hingga hari kiamat”. (Abu Daud: 4700 dari Ubaidah bin As-Shamit radhiallahu ‘anhu), (Periksa Syarhut-Thawawiyah hal. 217-218)

Dengan demikian jelaslah bahwa prosenya: Ilmu Allah Dia mengetahui apa yang bakal ditetapkan bagi makhluk-Nya lima puluh tahun sebelum mereka diciptakan: kemudian penulisan, setelah itu Dia berkehendak untuk mencipatakan (Wallahu A’lamu bis-Shawab).
*

(2). Iradah kauniyah Qadariyah ialah keinginan Allah untuk memberikan ketetapan/taqdir-Nya. Yakni: apa yang diinginkan pasti terjadi, dan apa yang tidak diinginkan-Nya pasti tidak terjadi, misalnya, mati, hidayah, sesat dan seterusnya.

Hal ini adalah seperrti firman Allah dalam QS. Al-Baqarah 2: 253) yang artinya :“Akan tetapi Allah berbuat sesuai dengan kehendak-Nya”.. (Perhatikan Syarhut-Thahawiyah hal. 59-60).
*

(3). Iradah Syari’ah ialah keinginan Allah agar manusia melalakukan yang Dia inginkan dan Dia kehendaki, misalnya: manusia dikehendaki untuk menurut perintah-Nya.

Hal itu karena Allah sayang kepada mereka, Dia ingin memberikan ridla kepada hamba-Nya, tetapi syaratanya mereka harus mengikuti keinginan-Nya.

Oleh karena itu Allah ingin menetapkan sesuatu yang mudah bagi mereka dan tidak mengendaki kesulitan bagi mereka.

Firaman Allah: “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan Allah tidak menghendaki kesulitan bagimu”. (Qs Al-Baqarah 2: 185)

(Perhatikan pula syarhut-Thahawiyah hal. 59-60).

TAUHID AL IRADI ( ULUHIYAH )

Rumusan Praktis AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL-JAMA'AH
oleh : Dr. NASHRIR BIN ABDUL KARIM AL’AQL


III. TAUHID AL-IRADI AT-THALABI-(1) (Tauhid Uluhiyah )

*

1. Allah Ta’ala adalah satu-satunya Yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya baik dalam Rubuhiyah, Uluhiyah maupun Asma’ dan sifat-Nya. Dialah Rabbul-‘Alamin (pengatur semesta), Dia pulalah satu-satunya yang berhak Mendapat berbagai bentuk peribadatan.
*

2. Mengalihkan sedikit saja bentuk–bentuk peribadatan seperti: berdoa, ber-ISTIGHATSAH-(2), ber-isti’anah (meminta pertolongan), ber-nadzar, menyembelih binatang, bertawakal (pasrah diri), takut, berpengharapan, cinta dan lain-lain kepada selain Allah Ta’ala adalah SYIRIK, apapun maksud dan tujuannya; baik kepada MALAIKAT yang didekatkan Allah, kepada nabi yang diutus, kepada HAMBA SHALIH maupun (apalagi) kepada selain mereka.
*

3. Di antara prinsip ibadah ialah bahwa Allah Ta’ala (harus) disembah berdasarkan HUBB (cinta), KHAUF (takut), dan RAJA’ (pengahrapan) secara bersamaan.

Beribadah kepada Allah hanya berdasarkan sebagai prinsip (di atas) tanpa sebagian yang lain adalah SESAT.

Beberapa ulama mengatakan:

“Barangsiapa beribadah kepada Allah hanya dengan rasa cinta semata, ia adalah seorang ZINDIQ, barangsiapa beribadah degan rasa takut saja, ia berarti seorang HARURI (KHAWARIJ)-(3) dan barangsiapa yang beribadah hanya berdasarkan RAJA’ (pengharapan) semata, berarti ia seorang MURJI’.-(4)
*

4. Menyerah diri, ridla dan taat mutlak hanyalah diserahkan kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasllam.

Mengimani bahwa Allah Ta’ala adalah HAKIM (penentu hukum) berarti sudah mengimani bahwa Allah sebagai Rabb dan sebagai Ilaah (Pengatur segalanya dan satu-satunya yang berhak disembah).

Oleh karena itu, tidak ada sekutu bagi Allah dalam hukum dan keputusan-Nya.

Memberlakukan (membuat) hukum tidak berdasarkan izin Allah, berhukum kepada THAGHUT-(5), mengikuti selain syari’at (ketentuan) Muhammad shallallahu ‘alaihi wasllam, dan merubah sedikit saja dari syariat itu BERARTI KAFIR.

Dan siapa pun yang beranggapan bahwa seorang mempunyai kebebesan untuk keluar dari ketentuan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasllam, maka sungguh-sungguh dia telah KAFIR.
*

5. Berhukum dengan selain apa yang telah diturunkan oleh Allah adalah KUFUR AKBAR, tetapi terkadang hanya KUFUR DI BAWAH KUFUR (kufur kecil: tidak mengeluarkan pelakuknya dari Islam-pent.)

Hukum yang pertama (kufur akbar) ialah: manakala beriltizam (berpegang) pada suatu ketentuan yang bukan ketentuan dari Allah, atau memperbolehkan berpegang kepada ketentuan selain Allah.

Hukum yang kedua (kufur Asghar) yaitu manakala menyimpang dari syari’at Allah dalam peristiwa tertentu karena mengikuti hawa nafsu, tepai tetap sikap berpegang pada syariat.
*

6. Membagi agama menjadi: HAKIKAT, yang hanya dikuasai orang-orang khusus, dan SYARI’AT yang diharuskan bagi orang-orang awam -bukan lagi orang khusus-, demikian pula memisahkan politik dll. dari agama ADALAH BATHIL.

Bahkan setiap apa yang bertentangan dengan syari’at, baik berupa HAKIKAT, politik dan sebagainya, bisa berarti KUFUR dan bisa berarti SESAT; masing-masing tergantung dengan tingkatanya.
*

7. Tidak ada yang mengetahui perkara GHAIB melainkan Allah sendiri. Keyakinan bahwa selain Allah dapat mengetahui perkara GHAIB adalah KUFUR.

Bersamaan dengan itu haruslah beriman bahwa Allah membukakan sedikit di antara perkata ghaib itu kepada sebagaian rasul-rasul-Nya.
*

8. Meyakini kebenaran tukang NUJUM dan DUKUN adalah KUFUR. Sedangkan mendatangi serta menghadiri mereka hukumnya: DOSA BESAR
*

9. WASILAH (perantaraan) yang diperintahkan di dalam Al-Qur’an ialah apa yang dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala berupa KETAATAN-KETAATAN yang disiyaratkan.

Sedang bertawassul (mengunakan wasilah) ada tiga macam:
o

a) DISYARIATKAN:

Yaitu bertawassul kepada Allah Ta’ala dengan (perantaraan) Asma’ wa Sifat-Nya, atau dengan amal shalih dari si pelaku tawassul (itu sendiri), atau dengan (perantaraan) daonya orang shalih ayng masih hidup.
o

b) BID’AH:

Yaitu bertawassul kepada Allah dengan sesuatu yang tidak di ajarkan oleh syariat, misalnya:

Bertawassul dengan dzat atau (diri) para nabi, dzatnya orang-orang shalih, atau dengan keluhuran, hak serta kehoramatan mereka dan seterusnya.
o

c) SYIRIK:

Yaitu menjadikan orang-orang mati sebagai perantara dalam ibadah, minta terpenuhinya kebutuhan serta minta pertolongan kepada mereka, dan lain-lain.

*

10. Berkah adalah dari Allah Ta’ala. Dia mengkhusukan sesuatu yang BERKAH pada sebagaian makhluk berdasarkan kehendak-Nya.

Maka sesuatu yanag berkah itu tidak bisa ditentukan sedikitpun kecuali berdasarkan DALIL

Berkah maksudnya: banyak melimpah ruah kebaikannya, atau kebaikan itu telah tetap dan pasti adanya.

Dan BERKAH, jika berkaitan dengan waktu (waktu yang berkah) adalah sulit untuk diukur.

Jika berkaitan dengan tempat (tempat berkah) ialah sepeti Masjid yang tiga (Masjidil Haram-Mekah, Masjid Nabawi-Madinah dan Masjid Aqsha-Palestina-pent.)

Jika berkaitan dengan benda (benda yang berkah) ialah seperti AIR ZAMZAM (karena banyak kebaikan-pent)

Jika berkaitan dengan pribadi seseorang ialah seperti: Dzat (diri)nya para nabi.

Dan tidaklah boleh mencari berkah (TABARUK ) diri pribadi seseorang, baik dzat maupun bekasnya. Melainkan pada dzat dan bekas Nabi shallallahu ‘alaihi wasllam, sebab tidak terdapat dalil melainkan pada dzat dan bekas beliau shallallahu ‘alaihi wasllam, namun itupun talah terputus DENGAN WAFAT dan hilangnya bekas belaiu.
*

11. Tabarruk (mencari berkah) adalah termasuk perkara TAUQIFIYAH (paket jadi Allah-pent), oleh karena itu tidak boleh bertabarruk melainkan dengan apa yang talah jelas dalilnya.
*

12. Ziarah dan perbuatan manusia di kuburan ada tiga macam:
o

Petama: DISYARI ‘ATKAN: Yaitu ziarah kubur untuk mengingatkan akhirat serta untuk memberi salam dan mendoakan penghuni kuburan.
o

Kedua: BID’AH, meyebabkan tidak sempurnanya tauhid dan merupakan salah satu jalan menuju SYIRIK.

Yaitu dengan tujuan beribadah dan bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah di (tanah) kuburan, bermaksud mencari berkah di kuburan, bermaksud menghadiahkan pahala di dalamnya, membuat bangunan diatasnya atau membangun kubah, membuat penerangan dan menjadikannya sebagai masjid serta sangat menekankan untuk pergi ke sana, dan lain-lain yang telah ditetapkan larangannya atau yang asal-usulnya tidak ada dalam syari’at.
o

Ketiga: SYIRIK yang berarti menghilangkan TAUHID yaitu mengalihkan bentuk-bentuk ibadah, ditujukan kepada penghuni kuburan, misalnya: berdoa kepadanya, tidak kepada Allah. Meminta pertolongan, mengeluh, thawaf, meyembelih binatang, nadzar dll. Ditujukan kepada penghuni kubur.

*

13. Sarana mempunyai hukum yang sama dengan materi yang dituju, setiap celah bisa menyebebkan kemusyrikan dalam ibadah atau bisa menyebabkan bid’ah dalam agama, maka wajib disekat. Setiap yang baru dalam agama adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah SESAT.



Keterangan

*

(1). Tauhid Al-Iradi At-Thalabi artinya Tauhid yang menjadi kehendak dan tuntunan. Dengan istilah lain disebut sebagai TAUHID FIT-THALAB WAL-QASDHI. (Perhatikan Fathul –Majid) Pada umumnya disebut: Tauhid Uluhiyah, Tauhid Ilahiyah atau Tauhid Ubudiyah.
*

(2). ISTIGHATSAH. Syaikul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: “Istighatsah ialah meminta dihilangkannya kesulitan.” Istigatsah merupakan bagaian dari pada doa. Bedanya, kalau doa umum, sedangkan Istighatsah merupakan bagian khusus untuk melenyapkan kesulitan, atau dengan bahasa lain mengeluh. (Fathul Majid Bab Minas-Syirki An-Yastaghitsa bighairillah.)
*

(3). Yang dimaskud dengan Haruri ialah Khawarij. Khawarij sering disebut Harurui (barangkali) disebabkan berkumpulnya mereka di suatu tempat yang disebut harura’ dekat Kufah ketika mereka mengeluarkan diri dari keimamahan Ali radhiallahu ‘anhu di bawah pimpinan antara lain ]Abdullah bin Al-Kawa dan Harqush bin Zubair yang dikenal sebagai seorang laki-laki yang berpayu-dara.

Khawarij adalah kelompok pertama yang keluar dari jama’ahnya kaum muslimun (pada saat kepemimpinan Ali radhiallahu ‘anhu)

Faham mereka yang terkenal ialah: Mengkafirkan orang yang berbuat dosa besar, dan mengharuskan keluar dari keimamahan seseorang jika ia melakukan sesuatu hal yang bertentangan dengan Sunnah. Dan mereka mengkafirkan Utsman serta Ali radhiallahu ‘anhuma dan kelompknya. (Perhatikan Majmu’ Fatawa. Jld. III hal. 104, 279 & 355. Al-Milal wan Nihal dalam Hamsiy Al-Fashlu fil Milal. Jld, I hal, 157 atau dari hal. 155-185).
*

(4). Murj’iah adalah kelompok yang terlalu optimis berkenaan dengan masalah iman. Menurut mereka (dalam seluruh alirannya) iman adalah sekedar mengenal Allah yang disertai keyakinan dan kecintaan hati. Jadi amal perbuatan bagaimanpun kufurnya, asalkan hatinya tetap mengenal dan yakin, maka dia tetap dikatakan mukmin (meskipun ia melakukan perbuatan syirik). Bahkan ada di antara Murjiah yang mengatakan bahwa tolak ukur iman atau tidaknya seorang tergantung pada ucapnya, maka jika seseorang telah mengucapkan kalimat syahadat ia adalah mukmin, baik ia melaksanakan tuntunanya atau tidak, dengan demikian menurut mereka, orang munafik adalah benar-benar mukmin.

Menurut Murji, IMAN itu bisa bertambah tetapi tidak bisa berkurang…. dst….(perhatikan Al-Milal wan Nihal dalam Hamisy Al-Fashlu fil Milal Jld. I hal. 187 dst. Juga fathul Majid bab II. 34).
*

(5). Thaghut; berasal dari akar kata (At-Thug-yan) artinya melampaui batas, Menurut riwayat Ibnu Abi Yatim, Umar bin Kahtab mengatakan:Thaghut adalah Syetan. Sedangkan Jabir radhiallahu ‘anhu mengatakan:Thaught ialah setiap apa yang disembah selain Allah.

Imam Ibnul-Qayyim secara lebih luasa mendefiniskan bahwa: (Thaghut ialah segala sesuatu yang oleh seorang manusia diperlakukan secara berlebihan, baik seseuatu itu disembah, diikuti atau ditaati. Jadi Thaghut adalah sesuatu yang oleh orang-orang dijadikan sebagai tempat berhukum selain Allah dan Rasul-Nya, atau disembah selain Allah, atau diikuti dan di taati tanpa berdasarkan petunjuk sama sekali dari Allah….). (Fathul Majid bab yang pertama. Hal.17-18)

Sedangkan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengatakan: (Thaghut adalah umum bagi setiap apa yang disembah selain dari Allah sedangkan ia rela untuk diibadahi, baik itu sesuatu yang disembah, diikuti atau ditaati bukan dalam rangka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Thaghut itu sendiri banyak, namun pokoknya ada lima:
o

1. Syetan yang mengajak beribadah kepada selain Allah (QS. Yasin 36: 60)
o

2. Al-Hakim yang dhalim yang merubah hukum-hukum Allah QS. An-Nisa 4: 60
o

3. Seseorang yang menghukumi tidak dengan apa yang diturunkan oleh Allah, QS. Al-Maidah 5: 44.)
o

4. Yang mengaku mengerti perkara ghaib selain Allah (dukun dkk. ) QS Al-Jin 72: 26-27.
o

5. Yang disembah selain Allah sedangkan dia rela diperlakukan demikian. QS 21: 29 ). (Perhatikan Majmu’at Tauhid, Muh. Ibnu Abdil Wahhab, hal. 9-10).

TAUHID I'TIQADI

Rumusan Praktis AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL-JAMA'AH
oleh : Dr. NASHRIR BIN ABDUL KARIM AL’AQL


II. TAUHID ILMI I’TIQADI-(1) (Tauhid Rububiyah, Asma’ dan Sifat)

*

1. Prinsip utama dalam masalah Asma ‘wa Sifat Allah Ta’ala ialah; meng-ITSBAT-kan (menetapkan) apa yang telah di-ITSBAT-kannya oleh Allah bagi diri-Nya, atau telah di-ITSBAT-kannya oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bagi Allah; tanpa TAMTSIL-(2) dan tanpa TAKYIF-(3) Juga menafikan apa yang telah dinafikan oleh Allah atau oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam dari diri-Nya; tanpa TAHRIF-(4) dan tanpa TA’THIL-(5), sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: “Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai Allah, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (Qs. Asy-Syura 42:11)

Berbareng dengan itu, harus (pula) mengimani makna-makna dari setiap lafazh nushush (nash) dan yang ditunjuk oleh-Nya.
*

2. Tamtsil (menyerupakan) dan ta’thil (menafikan) dalam masalah ‘asma dan sifat Allah adalah KUFUR.

Adapun TAHRIF (Menyelewengkan lafazh atau makna asma’ dan sifat Allah) yang oleh ahlul bid’ah disebut TAKWIL-(6); maka di antaranya ada KUFUR seperti TAKWIL model BATHINIYAH-(7), di antaranya lagi ada yang bid’ah dhalalah (sesat) seperti takwil yang dilakukan oleh para penafi sifat (Allah), (Para penafi sifat di sini antara lain Mu’tazilah dan Asy’ariyah.

Salah satu prinsip ajaran Mu’tazilah di antara lima pokok ajaran ialah: TAUHID. Tetapi yang mereka maksudkan tauhid adalah menafikan sifat Allah, sebab kalau harus menetapkannya -menurut anggapan mereka- berarti harus menetapkan beberapa yang sifat QADIM; Dzat Allah qadim (tiada awal dan tiada yang mengawali-Nya), sifat-sifat-Nya qadim, dan juga sifat Allah banyak berarti terjadi banyak hal yang bersifat qadim; ini berarti (menurut mereka) SYIRIK.

Sebagai konsekuensinya mereka harus menolak sifat Allah, mereka katakan: Allah mengetahui tetapi sifat Ilmu, Allah melihat, tetapi tanpa penglihatan (serba otomatis-pent.) dan seterusnya. Anggapan mereka ini jelas bertentangan dengan Al-Haq yang dianut oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah. (Perhatikan Syarhut-Thahawiyah hal. 474, dan Ar-Risalah At-Tadmuriyah hal. 12)

Sedangkan Asy’ariyah menetapkan tujuh sifat Dzatiyah bagi Allah berdasarkan ketetapan logika, dan mereka menafikan sifat-sifat Fi’liyah Allah serta mentakwilkannya kepada makna lain.(Lihat Ar-Risalah At-Taadmiyah hal. 22).) dan ada pula yang hanya sekedar kesalahan.
*

3. Wihdatul Wujud (manunggaling kawula gusti) serta keyakinan bahwa Allah menjelma atau menyatu dengan suatu makhluk di antara makhluk-makhluk-Nya adalah KUFUR – keluar dari agama.
*

4. Mengimani adanya MALAIKATUL KIRAM secara global. Adapun rincian nama-nama, sifat-sifat dan pekerjaan-pekerjaan mereka, harus didasarkan pada dalil yang shahih dan terbatas ilmu pengetahuan seorang mukallaf (dewasa).
*

5. Iman kepada seluruh kitab yang telah diturunkan.

Iman bahwa Al-Qur’an adalah yang paling afdhal (utama) dan menghapus (syari’at) kitab sebelumnya. Oleh karena itu wajib hanya ber-ittiba’ (mengikut) kepada Al-Qur’an tanpa kitab sebelumnya.
*

6. Iman kepada para nabi dan rasul Allah –Shalawatullah wassalamuhu ‘alaihim- Mereka adalah orang-orang ter-afdhal dibanding manusia-manusia lain, dan siapa saja yang tidak beranggapan demikian, maka ia adalah KAFIR.

Apabila ada dalil shahih tentang (berita) salah seorang tertentu di antara mereka, maka wajib mengimaninya secara tertentu pula. Wajib beriman kepada keseluruhan mereka secara global. Wajib mengimani bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah yang paling utama dan paling akhir di antara mereka, dan Allah telah mengutusnya untuk menusia seluruhnya.
*

7. Iman dengan terputusnya wahyu sesudah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau adalah nabi dan rasul penutup. Siapa yang berkeyakinan tidak demikian adalah KAFIR
*

8. Iman kepada hari Akhir, kepada berita-berita yang Shahih tentangnya dan kepada gejala serta tanda-tanda yang mendahuluinya.
*

9. Iman kepada taqdir Allah -baik dan buruknya-, yakni dengan mengimani bahwa Allah Ta’ala mengetahui apa yang bakal terjadi sebelum terjadi, dan Dia menuliskan hal itu di-LAUH MAHFUDH.-( LAUH MAHFUDH: Sebuah tempat yang tersebut dalam QS. Al-Buruuj 85: 21-22)

بَلْ هُوَ قُرْآنٌ مَجِيْدٌ فِيْ لَوْحٍ مَحْفُوْظٍ

“Bahkan (yang didustakan oleh mereka) itu ialah Al-Qur’an yang mulia, yang (tersimpan) dalam Lauhul Mahfudh”. Dan juga tersebut dalam hadits riwayat At-Thabrani (yang menurut Al-Haitsami MAUQUF kepada Ibnu Abbas tetapi rijalul isnadnya TSIQAT); (maknanya kurang lebih) “Sesungguhnya Allah telah menciptakan Lauh Mahfudh, dari seberkas sinar putih, kedua tepiannya terdiri dari batu mulia berwarna merah, penanya adalah nur, dan luasnya seluas antara langit dan bumi. Allah melihat (Lauh Mahfudh ini) setiap hari (sampai) tiga ratus enam puluh kali. Setiap kali melihat Dia menciptakan, menghidupkan, mematikan, memuliakan, menghinakan, dan melakukan apa yang Dia kehendaki”.

Lauh Mahfuzh tersebut adalah sebuah tempat yang di dalamnya Allah menuliskan segala takdir (ketentuan) mekhluk-makhluk-Nya. (Perhatikan: Syarhut-Thahawiyah fil Aqidah As-Salafiyah hal. 217).)

Bahwa apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi, sedangkan apa yang tidak dikehendaki pasti tidak terjadi.

Maka (sesuatu) tidak terjadi kecuali menurut apa yang telah Dia kehendaki. Allah Ta’ala berkuasa atas segala sesuatu Dia pencipta segala sesuatu dan Dia pasti berbuat sesuai dengan keinginan-Nya.
*

10. Iman kepada perkara-perkara ghaib yang didasarkan pada dalil shahih seperti: Al-‘ARSY-(8), AL-KURSIY-(9), Surga, Neraka, nikmat atau siksa kubur, AS-SHI-RATH-(10), AL-MIZAN-(11) dan lain sebagainya; tanpa men-TA’KIL-kan sesuatu pun dari yang demikian.
*

11. Iman dengan (adanya) Syafaat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam serta syafaat nabi-nabi lainnya, syafaat para malaikat, orang-orang shalih dan lain-lain pada hari Kiamat, sebagaimana telah dijelaskan rinciannya di dalam dalil-dalil yang shahih.
*

12. Ru’yah (melihatnya) kaum Mukminin kepada Rabb’-nya pada hari kiamat di SURGA maupun di padang MAHSYAR adalah haq (benar) adanya. Siapa yang mengingkari atau mentakwilkannya berarti ia sesat dan menyimpang.

Sedangkan ru’yah (melihat Rabb) itu tidaklah mungkin terjdi pada siappa pun di dunia.
*

13. Karamah bagi para Wali (kekasih-kekasih) Allah serta orang-orang shalih adalah haq (benar) adanya, namun tidak setiap kejadian di luar nalar (KHARIQ LIL ‘ADAH) biasa disebut KARAMAH, tapi mungkin hal itu banyak merupakan ISTIDRAJ-(12) atau karena PENGARUH SYETAN DAN ORANG-ORANG BATHIL.

TOLAK UKURNYA ialah sejalan atau tidaknya dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
*

14. Kaum mukminin kesemuanya merupakan wali-wali Ar-Rahman, dan setiap mukmin mendapat kasih-sayang (walayah) sesuai dengan kadar imannya.



Keterangan:

*

(1). Tauhid Ilmi I’tiqadi ialah tauhid yang berkaitan dengan pengilmuan (pemahaman dan pengenalan) terhadap Allah Ta’ala, Asma’, Sifat-sifat, perbuatan-perbuatan. qadla’ dan qadar-Nya.

Tauhid inilah yang harus melandasi I’tiqad seseorang sebelum mengilmui dan mengimani tauhid ULUHIYAH.

Seperti diungkapkan oleh Ibnul Qayyim dan Ibnu Abil’Izzi Al-Hanafi, tauhid ini juga biasa disebut: Tauhid fil Ma’rifah wal Itsbat atau Tauhid Al’Ilmi Al-Khabari. (Syarhut Thahawiyah…hal.35 dan Fathul Majid Syarhu Kitabit Tauhid).
*

(2). Tamtsil artinya Tasybih yakni, menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya seperti mengatakan: Allah punya tangan dan tangan-Nya seperti tangan manusia dan seterusnya

(Perhatikan: Muhammad Khalil Harras-Syarhul ‘Aqidah Al-Wasithiyyah Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, terbitan Maktabah At-Turatsil Islami-Kairo tanpa tahun hal. 23. Lihat pula: Diktat Al-Majmu’ Al-Mufid li Masa’il Muhimmah Minat Tauhid untuk kelas ta’hilil tahun ajaran 1408 H. Ma’had ‘Ulumil-Islamiyah wal ‘Arabiyah-Jakarta, tulisan Ust. Abdulah bin Abdul Aziz Al-Iedan).
*

(3). TAKYIF artinya mempertanyakan bagaimana bentuk sifat Allah. (Perhatikan dua buku marji’ pada foot note no. (2)).

Oleh karena itu, Imam Malik dan imam-imam salaf lainya ketika ditanya tentang makna ayat::

اَلرَّحْمَـنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

“Yang Maha Rahman bersemayam (ber-istiwa’) di atas Arsy” (Qs. Thaha 20: 5),

mereka menjawab: ISTIWA’ (bersemayam) telah difahami maknanya, tetapi bagaimana bersemayam-Nya?, adalah MAJHUL (tidak diketahui oleh makhluk), sedangkan mengimani hal itu adalah wajib, adapun bertanya tentang BAGAIMANANYA adalah pertanyaan BID’AH. (Ibnu Taimiyah – Ar-Risalah At-Tadmu-riyah-Mujmal I’tiqadis Salaf, terbitan Jami’atul Imam Muh. Ibni Su’ud Al-Islamiyah – Fak. Syari’ah – KSA – tanpa tahun hal. 62).
*

.(4). TAHRIF: Tahriful Kalam artinya menyelewengkan makna suatu pembicaraan dari yang sebenarnya kepada yang tidak sebenarnya TANPA didukung dalil. (Muhammad Khalil Harras: Syarhul Aqidah Al-Wasithiyyah Syaikhul Islami Ibni Taimiyyah… hal. 22).

Ustadz Abdullah bin Abdul Aziz Al ‘Iedan dalam diktat Al-Majmu’ Al-Mufidnya mendefinisikan bahwa:

TAHRIF ialah: Menyelewengkan lafazh atau makna ayat-ayat sifat, misalnya; (Menyelewengkan lafazh):

وَكَلَّمَ اللهُ مُوْسَى تَكْلِيْمًا

Ayat (Qs. An-Nisa’/4: 164): Lafzhul Jalalah (الله) yang seharusnya RAFA’, bermakna: Dan Allah mengajak bicara kepada Musa secara langsung” oleh ahlul bid’ah di-NASHAB-kan menjadi:

وَكَلَّمَ اللهَ مُوْسَى تَكْلِيْمًا

hingga artinya berubah: “Musa mengajak bicara kepada Allah”. Hal itu dimaksudkan untuk mengingkari sifat “mengajak bicara”nya Allah

(Menyelewengkan makna):

Sifat Al-Ghadhab (الْغَضَبُ) yang berati “MARAH”, oleh ahlul bid’ah diartikan: “Kehendak untuk membalas”.

Sifat Dzatiyah: Yad (tangan), diartikan: Nikmat atau kekuasaan dan lain-lain.
*

(5). TA’THIL artinya menafikan sifat-sifat Allah dan menafikan makna sesungguhnya dari ayat-ayat Asma’ dan Sifat. (Perhatikan Syarhul ‘Aqidah Al Wasithiyyah…..hal. 22)
*

(6). Makna TAKWIL menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah ialah:

1. HAKIKAT yakni kenyataan sesungguhnya dari suatu pembicaraan atau suatu perkara. Contoh: Takwil tentang berita ghaib yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah seperti SURGA, KENIKMATAN SURGA, NERAKA, HARI AKHIR dan seterusnya. ARTINYA: hal-hal itu benar ada secara hakiki. Hanya saja hakikat Surga seperti apa, madunya seperti apa (madunya benar-benar hakiki adanya, tetapi pasti beda dengan madu dunia. Inilah yang disebut MUTASYABIH/ serupa dari segi nama, namun dari segi hakikat MUHKAM/ pasti adanya), Neraka hakikatnya seperti apa ?, tidak seorang pun yang tahu hakikat sebenarnya. Tetapi adanya jelas hakiki. Itulah yang dimaksudkan oleh ayat:

وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهُ إِلاَّ اللهُ

jika dibaca waqaf sampai kata (إلا الله) (Ali Imran: 3) yang berarti: “Tidak ada seorang pun yang mengetahui hakikat sebenarnya melainkan Allah”.

Contoh lain: Apa yang dikatakan oleh Nabi Yusuf alaihis salam kepada kedua orang tuanya ketika sudah duduk di singgasana sebagai raja:

هَذَا تَأْوِيْلُ رُؤْيَايَ مِنْ قَبْلُ

“Inilah takwil/ hakikat mimpiku sebelumnya” (Qs. Yusuf/12: 100).

II .Berarti TAFSIR dan penjelasan. Istilah takwil ini banyak dipakai oleh para mufassirin (ahli tafsir) seperti Ibnu Jarir dan lain-lain.

Kemudian istilah Takwil mnenjadi popular dikalangan MUTA’AKHIRIN dari para ahli fiqih dan AHLI KALAM dengan pengertian:

“Mengalihkan makna suatu lafazh dari yang sebenarnya kepada yang bukan sebenanarnya karena dalil”. Inilah yang banyak mengundang permasalahan. Oleh karena itu jika istilah/ pengertian takwil yang terakhir ini benar-benar berdasarkan dalil, maka bisa dibenarkan. Tetapi jika tidak berdasarkan dalil, maka harus ditolak. (Perhatikan Syarhut-Thahawiyah Fil Aqidah As-Salafiyah hal. 162-164. Ar-Risalah At-Tadmuriyah Mujmal I’tiqadus –Salaf-Ibnu Taimiyah hal. 59-60 dan Da’ru Ta’arudlil Aqli wan Naqli-Ibnu Taimiyah-Tahqiq Dr. Muhammad Rasyad Salim-cetakan pertama terbitan: Jami’atul Imam Muhammad Ibnu Su’ud Al-Islamiyah 1979/ 1299 H. hal. 14).
*

(7). Aliran BATHINIYAH: ialah aliran syi’ah Isma‘iliyah yang menetapkan imamah sesudah Ja’far (Ja’far As-Shadiq adalah seorang imam menurut faham syi’ah) adalah Isma’il bin Jafar berdasarkan ketetapan nash. Tetapi kemudian Isma’il ini mati maka satu kelompok diantara mereka beranggapan bahwa; ia tidak mati, tetapi hanya berpura-pura sebagai TAQIYYAH supaya tidak dibunuh oleh para khalifah Abbasiyah. Sedangkan satu kelompok lagi beranggapan bahwa ia mati sungguh-sungguh. Namun berhubung nash imamah sudah ditetapkan sedangkan nash itu tidak mungkin ditarik kembali, maka peristiwa kematiannya berfungsi sebagai pengalihan imamah kepada anaknya. Oleh karena itu imamah kemudian dipegang oleh Muhammad bin Isma’il.

Dan AL-BATHINIYAH itu sendiri merupakan aliran yang berfaham bahwa imamah terhenti pada Isma’il bin Jafar dan Muhammad bin Isma’il. (Al-Milal wan Nihal-Asy-Syahristani, di dalam HAMISY daripada Al-Fashlu fil Milal wal Ahwa’ wan Nihal - Ibnu Hazm Adh-Dhohiri, cet. II th. 1395 H./1975 M. Darul Ma’rifah-Beirut-Libanion, jld.2 hal. 5)

(Selanjutnya pada buku yang sama hal. 29)

Mereka adalah aliran yang mempunyai pola dakwah yang selalu berubah pada setiap zaman, dan mempunyai perkataan yang selalu baru tergantung pada siapa yang mengatakannya.

Mereka disebut Al-Bathiniyah karena ketetapan bahwa setiap yang dhahir mempunyai makna bathin, dan setiap ayat yang turun harus ditakwil.

Julukan mereka banyak. Di Irak dikenal: Bathiniyah, Qaramithah dan Mazdukiyah. Di KHURASAN dikenal: Taklimiyah dan Mulhidah (aliran yang menyimpang). Dan mereka menyebutkan diri sendiri sebagai: Isma’iliyah, karena anggapannya, dengan nama ini mereka terbedakan dari syi’ah-syi’ah lainya.

Faham mereka tentang Allah: bahwa Allah, TIDAK dikatakan ADA dan tidak pula tidak ada. Dia tidak dikatakan pintar dan tidak dikatakan bodoh, tidak dikatakan KUASA dan tidak dikatakan TIDAK KUASA dan seterusnya.

Dalam Ar-Risalah Attamdmuriyah-Ibnu Taimiyah hal. 11 dan seterusnya dikatakan bahwa mereka memiliki kesamaan faham dengan orang kafir, kaum musyrikin, ahlul kitab dan seterusnya yakni mereka menetapkan sifat negatif secara terinci bagi Allah, oleh karena itu apa yang mereka katakan benar-benar sudah sampai pada bentuk meniadakan hakekat Dzat Allah dan sampai pada bentuk menyerupakan Allah dengan hal-hal yang tidak mungkin ada atau dengan benda-benda mati .. demikianlah seterusnya .. mereka melakukan tahrif atau takwil terhadap ayat-ayat Allah Ta’ala.

(Kemudian dalam Ar-Risalah At-Tadmuriyah hal. 33-34 diungkapkan sebagai berikut:)

Akhirnya mereka menjadikan SYARIAT, berupa perintah dan larangan mempunyai takhwil bathin yang bertentangan dengan pemahaman kaum muslimin. Mereka katakan bahwa: perintah shalat lima waktu berarti perintah untuk mengenal rahasia, puasa Ramadhan berarti perintah untuk menyimpan rahasia mereka dan seterusnya.

Demikianlah mereka telah mendustakan ayat-ayat Allah serta perintahnya dengan kedok takwil. Mereka telah melakukan berbagai perubahan terhadap ayat-ayat Allah Ta’ala.

Dan Bathiniyah adalah golongan yang menyimpang atau ingkar yang menurut ijma’ kaum muslimin: Lebih KAFIR daripada Yahudi dan Nashrani.
*

(8). Al-‘Arsy ialah singgasana yang mempunyai beberapa kaki yang dipikul oleh malaikat. Ia bagaikan kubah alam semesta. Ia adalah atapnya segenap makhluk. Allah berfirman (Qs. Al-Haaqah/69: 17)

وَيَحْمِلُ عَرْشَ رَبِّكَ فَوْقَهُمْ يَوْمَئِذٍ ثَمَانِيَةٌ

“Dan pada hari itu delapan orang malaikat mengangkat Arsy Tuhanmu di atas kepala mereka”.

Lihat pula Qs. Al-Ghafir 40:70. Dari hadits shahih riwayat Al-Bukhari dan Muslim; Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

فَإِنَّ النَّاسَ يَصْعَقُوْنَ فَأَكُوْنُ أَوَّلَ مَنْ يَفِيْقُ فَإِذَا أَنَا بِمُوْسَى آخُذُ بِقَائِمَةٍ مِنْ قَوَائِمِ الْعَرْشِ فَلاَ أَدْرِيْ أَفَاقَ قَبْلِيْ أَمْ بَعْدِيْ.

“Maka sesungguhnya manusia semuanya pingsan, aku adalah yang pertama siuman. Tiba-tiba aku bersama Musa ‘alaihis salam berpegang pada salah satu kaki di antara kaki-kaki Arsy. Aku tidak tahu apakah ia siuman sebelumku atau sesudahku….”

Dalam Sunan Abi Dawud; kitab As-Sunnah No. 4726, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ عَرْشَهُ عَلَى سَمَاوَاتِهِ لَهَكَذَا، وَقَالَ بِأَصَابِعِهِ مِثْلَ الْقُبَّةِ.

“Sesungguhnya Arsy-Nya Allah di atas langit-langit adalah seperti ini -beliau mengatakan sambil mengisyaratkan dengan jari-jarinya- seperti KUBAH”.

Dalam Kitab Shahih Bukhari dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:

إِذَا سَأَلْتُمُ اللهَ الْجَنَّةَ فَاسْأَلُوْهُ فِرْدَوْسَ فَإِنَّهُ أَوْسَطُ الْجَنَّةِ وَأَعْلَى الْجَنَّةِ وَفَوْقَهُ عَرْشُ الرَّحْمَنِ.

“Apabila kamu memohon Surga kepada Allah, maka mohonlah surga Firdaus, karena sesungguhnya Firdaus itu adalah Surga paling tengah-tengah dan Surga paling atas, dan DI ATAS-nya adalah ‘ARSY-Nya Yang Maha Rahman”.

Kalimat (di –ATAS-nya) ditafsirkan: dan sebagai ATAP-nya.

Kemudian Al’Arsy itu terletak di atas air, perhatikan QS. HUD 11: 7. Juga Shahih Muslim: 2: 300.

(Perhatikan Syarhut-Thahawiyah fil- ‘Aqidah As-Salafiyah hal. 229-231).
*

(9). Al-KURSIY: Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam kitab SIFAT ARSY, dan di riwayatkan pula oleh Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak –yang menurut beliau- periwayatannya sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh Bukhari Muslim namun beliau berdua tidak mengeluarkan riwayat ini: Dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma tentang ayat 255 surat Al-Baqarah:

وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَـوَاتِ وَاْلأَرْضَ

“Luasnya Kursi Allah seluas langit dan bumi”. Ibnu Abbas berkta: Al-Kursiy adalah tempat meletakkan kedua Telapak Kaki Allah.

Ibnu Jarir At-Thabrari (tafsir At-Thabrari J 3 Hal. 8 terbitan Bulaq) meriwayatkan dari Abu Dzar: Saya dengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah Al-Kursy itu (dibandingkan Al-Arsy) melainkan seperti gelang dari besi yang dilemparkan ke tengah-tengah gurun pasir yang luas”.

(Perhatikan Syarhut-Thahawiyah fil Aqidah As-Salafiyah hal. 232 dan Fathul Majid Syarh Kitabit Tauhid bab paling akhir).
*

(10). As-Shirath ialah jembatan membentang di atas Jahanam yang bakal dilintasi oleh manusia setelah mereka berada dalam sebuah kegelapan, seperti diceritakan oleh Aisyah radhiallahu ‘anha manakala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalla ditanya tentang “di mana manusia berada ketika bumi pijakannya sudah lain? Beliau menjawab: Mereka di dalam sebuah kegelapan di belakang JEMBATAN (As-Shirath)”.

Menurut beberapa riwayat, antara lain diceritakan oleh Al-Baihaqi dan Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak: Bahwa ketajaman As-Syirath bagaikan tajamnya mata pedang, dan sangat licin. Kecepatan orang yang melintas di atasnya akan sesuai dengan nur yang mereka miliki, maka ada di antaranya yang berjalan secepat jatuhnya sebuah bintang, ada yang seperti angin, ada yang seperti orang-orang berlari-lari kecil, ada yang merayap dst….

(Perhatikan cerita selengkapnya dalam Syarhut-Thahawiyah hal. 396-370, dan Mustadrakul Hakim 2: 275).
*

(11). Al-Mizan: adalah alat untuk menimbang amal perbuatan manusia Firman Allah:

فَمَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِيْنُهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ، وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِيْنُهُ فَأُولَئِكَ الَّذِيْنَ خَسِرُوْا أَنْفُسَهُمْ.

“Maka barangsiapa yang berat timbangan amalnya, mereka itulah orang-orang yang beruntung, dan barangsiapa yang ringan timbangan (amalnya) maka mereka itulah yang merugikan dirinya sendiri….” (Qs. Al-A’raf/7: 8-9)

Menurut Al-Qurthubi: para ulama berpendapat bahwa berlakunya Mizan ini setelah manusia dihisab. Jadi setelah dihisab, baru amal mereka ditimbang dan akhirnya masing-masing mendapat balasannya.

Dan menurut riwayat Ahmad dalam Al-Musnad: Al-Mizan mempunyai dua ujung, apabila salah satu ujungnya diisi dengan daftar catatan amal perbuatan manusia yang jumlahnya mencapai 99 daftar catatan, sedangkan masing-masing panjangnya sejauh mata memandang, dan satu ujungnya lagi diisi kartu yang berisikan kalimat syahadat, maka ujung yang diisi harta yang berisikan syahadat tersebut akan lebih berat.

(Perhatikan cerita lengkapnya dalam Syarhrt Thahawiyah hal. 371-372.

Perhatikan pula Fathul Majid – Bab Fadhlit-Tauhid wamaa Yukaffiru minadzunub yang menukil dari riwayat Ibnu Hibban dan Al-Hakim).
*

(12). Firman Allah Ta’ala:

وَالَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِآيَاتِنَا سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حَيْثُ لاَ يَعْلَمُوْنَ

“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan menarik mereka secara bertahap (ke arah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui”. (QS. Al-A’raf/7: 182).

(Istidraj) menurut Ibnu Katsir, artinya: akan dibukakan pintu-pintu rizki dan berbagai kemudahan hidup di dunia, hingga mereka menjadi lalai dengan apa yang mereka ada di dalamnya, sementara mereka tetap yakin bahwa hal itu berguna, sebagimana Firman Allah:

فَلَمَّا نَسُوْا مَا ذُكِّرُوْا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوْا بِمَا أُوتُوْا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُوْنَ. فَقُطِعَ دَابِرُ الْقَوْمِ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu kesenangan untuk mereka, hingga jika mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan pada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong maka ketika itu mereka terdiam putus asa. Maka orang-orang zhalim dimusnahkan sampai ke akar-akarnya. Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam”. (QS. 6: 44-45)-Tafsir Ibnu Katsir, juz II hal. 270.

DASAR PIJAKAN AQIDAH AHLUS SUNNAH

Kajian Islam :
Rumusan Praktis AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL-JAMA'AH
oleh : Dr. NASHRIR BIN ABDUL KARIM AL’AQL


I. DASAR-DASAR PIJAKAN AHLUS SUNNAH

*

1. Sumber aqidah adalah Kitabullah, Sunnah Rasul-Nya yang shahihah dan IJMA’ para As-Salafus-Shalih.
*

2. Setiap yang shahih dari sunnah Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam, hukumnya wajib diterima meskipun jalan periwayatannya AHAD.( Khabar AHAD ialah khabar yang tidak memenuhi persyaratan MUTAWATIR, yakni jumlah perawi pada masing-masing tingkat sanadnya tidak mencapai jumlah minimal mutawatir yaitu sepuluh orang perawi. (Perhatikan: Taisir Musthalahil Hadits – Dr. Mahmud At-Thahhan)

Sementara itu, KHABAR AHAD bagi Ahli Sunnah wal Jama’ah: apabila umat Islam (ahlul hadits) telah sepakat menerimanya-yakni telah meyakini keshahihannya dan bisa dijadikan pedoman beramal-maka ia harus diterima sebagai sumber ilmu yang meyakinkan, dan berati menjadi bagian tak terpisahkan dari khabar MUTAWATIR. (Artinya ia harus menjadi landasan syari’ah maupun AQIDAH. Hal ini telah disepakati oleh SALAFUL UMMAH).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga banyak mengirimkan da’i-da’i secara AHAD (sendiri-sendiri) tetapi obyek dakwahnya dapat menerima dan tidak pernah menolak dengan alasan: pemberitaannya ahad.

(Perhatikan Ibnu Abil ‘Izzi Al-Hanafi: Syarhut-Thahawiyah fil ‘Aqidah As-Salafiyah-Tahqiq: Ahmad Muhammad Syakir cet. II Terbitan: Jami’atul Imam Muhammad Ibnu Su’ud Al-Islamiyah-KSA. Hal.308) )
*

3. Tempat kembali untuk memahami Al-Kitab dan As-Sunnah adalah: nash-nash penjelasnya itu sendiri, kemudian pemahaman As-Salafus-Shalih serta para imam yang berjalan sesuai dengan manhaj mereka, kemudian pemahaman bahasa Arab yang shahih yang penggunaan kemungkinan makna kandungannya tidak bertentangan dengan ketetapan yang ada.
*

4. Semua permasalahan ushuluddin telah dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak ada seorang pun yang berhak mengada-adakan hal-hal baru dengan anggapan bahwa itu termasuk agama.
*

5. Menyerah kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam secara lahir dan batin, oleh karena itu tidak akan menentang sedikitpun kepada Al-Kitab atau As-Sunnah yang shahihah baik dengan: qiyas, perasaan, penemuan maupun pendapat seorang kyai atau seorang imam dst.
*

6. Akal sehat sejalan dengan nash yang shahih, dan selamanya tidak akan bertentangan antara yang qath’i dari keduanya. Akan tetapi jika seolah-olah terjadi pertentangan, maka nash (harus) didahulukan.
*

7. Wajib ber-iltizam (berpegang) dengan istilah-istilah syar’i dalam (masalah) aqidah dan wajib menjauhkan istilah-istilah yang bid’ah.

Sedangkan istilah-istilah global yang mengandung makna salah dan benar, harus dicari kejelasan maksudnya; apabila haq, maka harus ditetapkan dengan istilah syar’i dan apabila bathil harus ditolak.
*

8. Kemakshuman hanya ada pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan ummat secara keseluruhan ketika ber-ijma’ juga ma’shum dari kesesatan. Akan tetapi orang-perorangan tidak makshum.

Apa yang diperselisihkan oleh para imam atau yang lain, tempat pengembalianya adalah Al-Kitab dan Sunnah dengan memaklumi kesalahan seorang mujtahid.

*

9. Di dalam umat ada orang-orang yang dituntun bicaranya dengan ILHAM (muhaddatsuun mulhamuun (مُحَدَّثُوْنَ/ Muhaddatsun jamak daripada muhaddats/ مُحَدَّثُ, para ulama berbeda penafsiran. Ada yang mengatakan: Orang yang diilhami. Mereka mengatakan: Al-Muhaddats ialah seseorang yang dugaannya tepat, yaitu seseorang yang dilontari sesuatu dari sisi Allah dalam spontanitas, sehingga ia seperti seorang yang berbicaranya dijalankan oleh yang lain. (Makna inilah yang ditetapkan oleh Abu Ahmad Al-‘Askari) Ada lagi yang mengatakan: (Ia adalah seorang yang bukan nabi dituntun bicaranya oleh malaikat).

Dan lain-lain penafsiran lagi, tetapi makna MUHADDATS pada pokoknya berkisar mengenai: (Seseorang yang berkata atau berlaku benar berdasarkan tuntunan ilham dari Allah padahal ia bukan nabi). Dalam Shahih Bukhari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (maknanya):

“….Kalau umatku ada yang demikian, maka ia adalah ’Umar”

(Periksa Fathul Bari Syarhul Bukhari-Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, jld. 7 Kitab Fadha’ilush-Shahabah-bab Manaqib Umar bin Khaththab, hadits no. 3689 dan penjelasannya, hal. 42 & 50, terbitan: Jami’atul Imam Muhammad Ibni Su’ud Al-Islamiyah, Riyadh-KSA-Tashhih Syaikh Ibni Baz).) Dan mimpi yang SHALIHAH benar-benar haq adanya, ia merupakan bagian dari nubuwah. Firasat yang shadiqah (yang benar) juga haq adanya, ini merupakan karamah dan mubasysyirah tetapi syaratnya harus sejalan dengan syari’at, dan ia bukan merupakan sumber bagi aqidah dan bukan pula bagi syari’ah.
*

10. Adu mulut (al-miraa’/المراء) mengenai agama merupakan perbuatan tercela, tetapi membantah (al-jidal) dengan cara yang baik: disyari’atkan, sedangkan adanya larangan shahih supaya tidak keterlaluan membicarakan agama, wajib dilaksanakan. Wajib pula menahan diri untuk tidak memperdalam pembicaraan masalah agama yang seorang muslim tidak mengetahuinya, dan menyerahkan permasalahan tersebut kepada Yang Maha Mengetahui Allah Ta’ala.
*

11. Wajib berpegang kepada metode wahyu ketika membantah, sebagaimana hal itu juga wajib dalam masalah i’tiqad dan masalah ikrar.

Oleh karena itu BID’AH TIDAK BOLEH DIBANTAH DENGAN BID’AH ! Dan sikap MEMPERMUDAH (tafrith) tidak bisa dihadapi dengan SIKAP EKSTRIM, begitu pula sebaliknya.
*

12. Setiap hal baru dalam persoalan agama adalah bid’ah, setiap bid’ah pasti dhalalah (sesat) dan setiap sesat pasti di NERAKA.

KISAH DZUL KURNAIN

SIAPAKAH DZUL QARNAIN?
Senin, 27 Agustus 07

Dzulqarnain adalah seorang raja yang shalih, dan Allah SWT telah memberinya kekuatan yang menyebabkan kerajaannya berdiri kokoh dan melakukan sejumlah ekspansi dengan sukses yang tidak diberikan kepada selainnya.

Kemudian Allah menceritakan tentang perilakunya yang baik, kasih sayangnya, kekuatan kerajaannya dan ekspansinya yang meliputi wilayah timur dan barat, yang dengannya dapat tercapai tujuan yang dimaksud dengan sempurna yaitu mengetahui biografi dan perilakunya. Allah Ta’ala berfirman, “Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzulqarnain. Katakanlah, ‘Aku akan bacakan kepadamu cerita tentangnya.’” (Al-Kahfi: 83). Yakni sebagian beritanya.

Perlu diketahui, bahwa apa yang dikisahkan Allah dalam kitab-Nya adalah sesuatu kisah yang sangat baik dan sangat bermanfaat bagi hamba-hamba-Nya. Allah Ta’ala menceritakan, bahwa Ia telah memberinya segala sesuatu yang menjadi sebab kerajaannya kuat dan berdiri kokoh, ilmu politik, managemen yang baik, senjata yang dapat diandalkan untuk menaklukan sejumlah bangsa, pasukan tentara yang banyak, sejumlah alat dan sarana yang memberi kemudahan dan seluruh kebutuhannya. Di balik semua itu; bahwa ia telah melaksanakan semua sebab yang telah diberikan oleh Allah, dimana tidak setiap orang diberi sebab-sebab yang bermanfaat serta tidak setiap orang yang diberinya mengikuti dan melaksanakannya.

Adapun Dzulqarnain, maka ia diberi kesempurnaan dalam dua hal, yaitu: diberi sebab, kemudian ia melaksanakannya. Ia membawa pasukan tentaranya yang besar menaklukan negara-negara Afrika baik yang dekat maupun yang jauh hingga ke negara-negara yang ada di sekitar laut yang berlumpur hitam yang meliputi negara-negara barat, yaitu tempat terbenamnya matahari, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala, “Hingga apabila dia telah sampai ke tempat terbenamnya matahari, dia melihat matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam.” (Al-Kahfi: 86). Yakni ia melihat matahari menurut pandangan matanya seakan-akan terbenam dalam laut, dimana warna airnya hitam pekat seperti lumpur yang hitam.

Maksudnya, ia sampai di negara-negara Afrika sekiranya sepatu dan kaki binatang berhenti (penghujung negara-negara Afrika), dan ia menemukan di negara atau tempat itu suatu kaum yang terdiri dari orang muslim dan orang kafir, orang baik dan orang jahat, sebagaimana disinyalir dalam firman Allah Ta’ala, “Kami berkata, “Hai Dzulqarnain, kamu boleh menyiksa atau boleh berbuat kebaikan terhadap mereka.” (Al-Kahfi: 86).

Adapun yang mengatakan perkataan itu kepadanya adalah salah seorang nabi dari nabi-nabi Allah atau salah seorang ulama pada masa itu. Atau maknanya; karena kekuatannya yang luar biasa, sehingga ia memiliki pilihan dalam menggunakan kekuatannya. Jika maknanya tidak demikian, maka sebagaimana diketahui, bahwa syara’ (agama) tidak mungkin menyamakan di antara dua hal yang saling bertentangan, yakni menggunakan kekuatannya dalam hal kebaikan dan kejahatan. Dzulqarnai berkata, “Adapun orang yang aniaya, maka kami kelak akan mengadzabnya, kemudian dia dikembalikan kepada Rabbnya, lalu Dia mengadzabnya dengan adzab yang tidak ada taranya. Adapun orang-orang yang beriman dan beramal shalih, maka baginya pahala yang terbaik sebagai balasan, dan akan Kami titahkan kepadanya (perintah) yang mudah dari perintah-perintah Kami.” (Al-Kahfi: 87-88). Ini sebagai bukti keadilannya. Ia adalah seorang raja yang shalih dan memiliki perilaku yang baik. “Kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain lagi).” (Al-Kahfi: 92). Yakni kemudian ia melaksanakan sebab-sebab yang lainnya setelah menaklukan penduduk negara-negara barat, maka ia pun kembali menaklukan negara demi negara hingga tiba di negara tempat matahari terbit yaitu negara Cina dan negara-negara yang berada di pesisir laut Samudra Pasifik, dan itulah akhir perjalanan para penakluk (pasukan tentara Dzulqarnain) tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah Ta’ala, “Hingga apabila dia telah sampai ke tempat terbit matahari (sebelah timur) dia mendapati matahari itu menyinari segolongan umat yang Kami tidak menjadikan bagi mereka sesuatu yang melindunginya dari (cahaya) matahari itu.” (Al-Kahfi: 90). Yakni tidak ada pelindung bagi mereka dari sengatan sinar matahari, karena mereka tidak memiliki pakaian yang mereka tenun yang dapat dipakai dan tidak memiliki rumah yang bisa dijadikan tempat bermalam dan berteduh. Yakni Dzulqarnain menemukan kaum itu di negara paling timur; dimana keadaannya sebagaimana telah disebutkan, keganasannya seperti binatang buas, berlindung ke semak-semak, kehidupannya bergantung pada perubahan alam (iklim) dan merupakan suku terasing. Pada waktu itu, kaum tersebut hidup dalam keadaan seperti yang digambarkan oleh Allah Ta’ala.

Maksud dari pernyataan di atas bahwa Dzulqarnain mampu mengadakan ekspansi yang tidak mampu dilakukan siapa pun. Setelah itu Dzulqarnain kembali ke negaranya dan melakukan sebab-sebab lain yang memungkinkannya untuk menaklukan sejumlah negara dan menundukan sejumlah penduduk di wilayah utara, sebagaimana dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya, “Hingga apabila dia telah sampai di antara dua buah gunung.” (Al-Kahfi: 93). Yakni wilayah yang terletak di antara dua buah gunung yang telah ada semenjak Allah SWT menciptakan bumi, dimana keduanya adalah mata rantai gunung-gunung yang besar dan tinggi yang berhubungan satu sama lain pada celah yang menjadi tempat pertemuan antara laut-laut di wilayah timur dengan laut-laut di wilayah barat yang terletak di negara Turki.

Mengenai adanya tempat itu, para ahli tafsir dan para ahli sejarah telah sepakat, tetapi mereka berbeda pendapat dalam hal: apakah tempat itu merupakan mata rantai gunung-gunung Al-Qafqas atau yang lainnya di Azerbaijan, atau mata rantai gunung-gunung Tay atau gunung-gunung yang bersambung dengan tembok Cina di negara Mongolia? Terlepas dari semua perbedaan yang ada; bahwa di celah kedua gunung itu hidup suatu kaum yang hampir tidak memahami pembicaraan, karena bahasa mereka yang jauh berbeda dengan bahasa-bahasa yang ada ketika itu dan pemahaman mereka yang lemah akan bahasa umat-umat yang lainnya. “Mereka berkata, “Hai Dzulqarnain, sesungguhnya Ya'juj dan Ma'juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi.” (Al-Kahfi: 94). Mereka ialah suatu umat yang besar yang berasal dari keturunan Yafits bin Nuh AS yang terdiri dari bangsa Turki dan selain mereka, dimana perilaku serta sifat mereka adalah sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.

Mereka berkata, “… maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka.” Dzulqarnain berkata, “Apa yang telah dikuasakan oleh Rabbku kepadaku terhadapnya …” (Al-Kahfi: 94-95) dari kekuatan, sebab-sebab serta kekuasaan “… adalah lebih baik, maka tolonglah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat),” (Al-Kahfi: 95), yakni pembangunan dinding itu adalah sebuah pembangunan yang besar, sehingga membutuhkan bantuan yang dapat membantu kekuatan badan “… agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka.” (Al-Kahfi: 95). Dalam hal ini, Dzulqarnain tidak menggunakan kata saddan seperti yang digunakan oleh mereka, melainkan menggunakan kata radman karena tempat yang akan dibangunkan di atasnya sebuah dinding adalah celah dan tempat pertemuan di antara dua gunung yang alami yang merupakan mata rantai dari gunung-gunung yang ada.

Kemudian Dzulqarnain menjelaskan kepada mereka tentang tata cara penggunaan alat-alat dan pembangunan dinding itu, seraya berkata, “Berilah aku potongan-potongan besi.” (Al-Kahfi: 96). Yakni kumpulkan di hadapanku seluruh potongan-potongan besi yang ada; baik yang kecil maupun yang besar, dan jangan kamu sisakan sedikit pun dari potongan-potongan besi itu, kemudian seluruh potongan-potongan besi itu kamu tumpukan di antara kedua gunung tersebut. Mereka melakukan perintah tersebut, sehingga potongan-potongan besi tersebut menjadi suatu tumpukan yang besar yang menyamai ketinggian kedua gunung tersebut, sebagaimana hal itu dijelaskan Allah dalam firman-Nya, “Hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu.” (Al-Kahfi: 96), yakni gunung-gunung yang mengitari dinding tersebut. Dzulqarnain berkata, “Tiuplah (api itu).” Hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api, diapun berkata, ‘Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar aku tuangkan ke atas besi panas itu.’” (Al-Kahfi: 96). Yakni ia meminta agar dibawakan cairan tembaga, lalu ia menuangkannya di antara potongan-potongan besi itu, sehingga satu sama lain saling menempel dan membentuk sebuah gunung yang tinggi yang menghubungkan kedua buah gunung tersebut. Dengan pembangunan dinding itu, maka tercapailah tujuan yang dimaksud, yaitu terhindar dari kejahatan Ya’juj dan Ma’juj, sehingga Dzulqarnain berkata, “Maka mereka tidak bisa mendakinya.” (Al-Kahfi: 97), yakni memanjat dinding tersebut “… dan mereka tidak bisa (pula) melobanginya.” Dzulqarnain berkata, “Ini (dinding) adalah rahmat dari Rabbku.” (Al-Kahfi: 97-98), yakni Rabbku yang telah menolongku dalam mewujudkan pekerjaan yang besar ini dan sebagai sebuah peninggalan yang bagus, kemudian Rabbku merahmatimu dengan menjauhkanmu dari kejahatan Ya’juj dan Ma’juj dengan sebab pembangunan dinding itu yang kamu tidak memiliki kesanggupan untuk membangunnya (jika bukan karena rahmat dan pertolongan-Nya). “… maka apabila sudah datang janji Rabbku. Dia akan menjadikannya hancur luluh.” (Al-Kahfi: 98), yakni pekerjaan tersebut dan dinding penghalang antara kamu dan Ya’juj dan Ma’juj hingga batas waktu yang telah ditentukan. Jika batas waktu itu telah datang, niscaya Allah akan mentaqdirkan atas mahluk-Nya sebab-sebab yang mendatangkan kekuatan, kemampuan, sejumlah pembangunan dan penemuan yang luar biasa yang tidak memungkinkan bagi Ya’juj dan Ma’juj menginjakkan kaki di negaramu, hai orang-orang yang bertetangga (dengan keduanya), bahkan keduanya tidak dapat menginjakkan kaki di belahan bumi bagian timur atau barat dan menjelajahi pelosok-pelosoknya, sebagaimana Allah SWT berfirman, “Hingga apabila dibukakan (dinding) Ya’juj dan Ma’juj, dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi.” (Al-Anbiya’: 96). Yakni dari berbagai tempat yang tinggi, baik dari tempat yang setinggi dinding tersebut, dari lautan-lautan dan tempat-tempat tinggi yang menjulang ke langit. “Mereka akan turun dengan cepat.” (Al-Anbiya’: 96), yakni Ya’juj dan Ma’juj akan turun dengan cepat tanpa peduli dengan rintangan yang menghadang mereka. Ungkapan “dari seluruh tempat yang tinggi” mencakup seluruh tempat dan seluruh pelosok baik yang mudah dijangkau maupun yang susah, yang rendah maupun yang tinggi. Adapun Allah menyebutkan tempat-tempat yang tinggi, karena tempat-tempat yang tinggi saja dianggap mudah oleh Ya’juj dan Ma’juj maka tentunya tempat-tempat yang rendah akan lebih mudah dan lebih gampang bagi keduanya.

Berkenaan dengan sifat Ya’juj dan Ma’juj ini terdapat sejumlah keterangan dalam sejumlah hadits yang menguatkan sifat-sifat mereka yang telah dijelaskan di dalam sejumlah ayat Al-Qur’an. Sedang sejumlah ahli sejarah yang terdahulu menjelaskan mengenai sifat dan perilaku Ya’juj dan Ma’juj hanya sebagai sebuah peristiwa sejarah, bukan sebagai tali pengikat serta bukan pula tali pengendali, sehingga hal itu membingungkan pikiran kebanyakan manusia serta menghalangi mereka dari berdalil kepada ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits yang shahih serta menerapkannya dalam peristiwa yang terjadi. Sudah semestinya anda memegang teguh penjelasan atau keterangan yang dikemukakan Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan meninggalkan penjelasan atau keterangan lainnya, karena di dalamnya mengandung petunjuk, bimbingan dan cahaya.

KISAH NABI YUNUS AS

KISAH NABI YUNUS AS DAN PELAJARAN YANG DIPETIK
Selasa, 01 Januari 08

Nabi Yunus AS termasuk salah satu dari kelompok nabi-nabi terbesar Bani Israil, dimana Allah telah mengutusnya ke penduduk Ninawa bagian dari negeri Muashil. Ia menyeru mereka supaya beribadah kepada Allah Ta’ala, tetapi mereka menolaknya. Ia berulang kali menyerukan seruan itu kepada mereka, tetapi mereka tetap menolaknya. Ia menjanjikan adzab kepada mereka, dan ia pergi dari hadapan mereka dan tidak sabar dalam menghadapi mereka yang semestinya dilakukannya, tetapi ia tetap pergi meninggalkan mereka karena marah. Sedangkan keadaan mereka saat menyaksikan kepergian nabi mereka, maka dalam hati mereka timbul niat bertaubat kepada Allah Ta’ala setelah mereka menyaksikan beberapa tanda pendahuluan akan turunnya adzab, sehingga Allah membebaskan adzab dari mereka.

Kenyataannya, bahwa Nabi Yunus AS mengetahui tentang dibebaskannya adzab dari mereka, akan tetapi ia tetap pergi meninggalkan mereka, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, “Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah ….” (Al-Anbiya’: 87). Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman, “(Ingatlah) ketika ia lari, ke kapal yang penuh muatan.” (Ash-Shaffat: 140).

Kemudian Nabi Yunus AS menaiki kapal yang dipenuhi penumpang dan muatan. Ketika mereka berada di tengah-tengah lautan maka kepal itu miring dan hampir tenggelam, dimana mereka harus mengambil salah satu keputusan antara mereka tetap berada di kapal semuanya dengan resiko mengalami kebinasaan; atau membuang sebagian dari mereka agar kapal itu menjadi ringan dan menyelamatkan sisanya. Akhirnya mereka memilih jalan yang terakhir setelah menemui kesepakatan di antara mereka. Kemudian mereka melakukan pengundian dan sejumlah penumpang terkena undian tersebut termasuk di dalamnya Nabi Yunus AS, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, “… kemudian ia ikut berundi lalu dia termasuk orang-orang yang kalah untuk undian.” (Ash-Shaffat: 141).

Yakni ia termasuk dari orang-orang yang kalah dalam undian tersebut. Kemudian mereka pun melemparkannya ke laut, serta seekor ikan besar menelannya, akan tetapi tidak sampai mematahkan tulangnya dan merobek dagingnya.

Ketika Nabi Yunus AS berada di dalam perut ikan, maka dalam keadaan gelap (dalam perut ikan) ia berseru, “Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zhalim.” (Al-Anbiya’: 87). Kemudian Allah SWT memerintahkan kepada ikan itu supaya memuntahkan Nabi Yunus AS di daerah yang tandus.

Nabi Yunus AS keluar dari perut ikan tersebut bagaikan anak burung yang baru keluar dari telur (baru menetas) karena saking lemahnya. Kemudian Allah Ta’ala mengasihinya dan menumbuhkan sebuah pohon dari jenis pohon labu baginya, dimana pohon itu meneduhinya, sehingga ia kuat kembali.

Kemudian Allah SWT memerintahkan Nabi Yunus AS supaya kembali ke kaumnya, agar ia mengajari dan menyeru mereka, dan penduduk negeri itu memenuhi seruannya sebanyak seratus ribu orang atau lebih, dimana mereka beriman, sehingga Kami karuniakan kepada mereka keni’matan hidup sehingga batas waktu tertentu.

Dalam kisah ini, bahwa Allah telah menegur sikap Nabi Yunus AS yang lemah (tidak sabar) serta memenjarakannya di dalam perut seekor ikan besar sebagai penebus kesalahannya dan sebagai tanda kekuasaan Allah yang besar serta sebagai kamuliaan bagi Nabi Yunus AS. Di antara ni’mat Allah Ta’ala yang dikaruniakan kepadanya ialah sebagian besar orang dari kaumnya telah memenuhi seruannya, karena banyaknya pengikut bagi para nabi merupakan karunia bagi mereka.

Dalam kisah ini terdapat keterangan, bahwa dibolehkan menggunakan undian saat mendapati kesamaran dalam mengambil keputusan serta solusi yang tepat terhadap masalah-masalah yang terjadi manakala tidak ditemukan cara lain selain cara tersebut. Langkah yang diambil para penumpang kapal di atas dengan menempuh cara itu merupakan dalil atas sebuah kaidah yang masyhur, yaitu melakukan suatu perbuatan buruk yang lebih ringan kemadharatanya dengan maksud menghindari kemadharatan yang lebih besar. Tidak diragukan lagi, bahwa melemparkan sebagian dari mereka ke laut meski di dalamnya mengandung kemadharatan namun mendatangkan keselamatan bagi penumpang lainnya. Sedang jika tidak ada seorang pun yang dibuang, niscaya seluruhnya akan tenggelam.

Juga dalam kisah ini terdapat keterangan, bahwa ketika seseorang memiliki hubungan pendahuluan yang baik dengan Rabbnya dan mengenali Rabbnya dalam keadaan senang, niscaya Allah berterima kasih kepadanya dan akan mengenalinya dalam keadaan susah dengan menghilangkan kesusahannya itu secara total atau meringankannya.*

Berkenaan dengan hal tersebut, Allah Ta’ala berfirman dengan kisah Nabi Yunus AS, “Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah, niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit.” (Ash-Shaffat: 143-144).

Juga dalam kisah ini terdapat keterangan, sebagaimana yang disabdakan Nabi SAW, “Berkenaan dengan do’a saudaraku Dzun Nun (Nabi Yunus AS), bahwa tidaklah seseorang yang sedang mendapatkan kesusahan berdo’a dengan do’a tersebut, melainkan Allah akan menghilangkan kesusahan itu darinya, yaitu: “Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zhalim.” (Al-Anbiya’: 87)

Juga dalam kisah ini terdapat keterangan, bahwa iman pasti dapat menyelamatkan seseorang dari penderitaan atau kesusahan sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Maka Kami telah memperkenankan do’anya dan menyelamatkannya dari kedukaan. Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” (Al-Anbiya’: 88). Yakni jika mereka ditimpa kesusahan maka mereka akan dibebaskan darinya karena keimanan mereka.

CATATAN:

* Ar-Razi berkata, “Berkenaan dengan kasus Nabi Yunus AS, bahwa keberadaan ma’rifat (mengenali Allah) lebih dahulu adanya, kemudian diikuti do’a, sehingga keberadaan ma’rifat lebih dahulu adanya daripada do’anya yang memohon supaya do’anya dikabulkan. Sedang berkenaan dengan Fir’aun, maka keingkaran lebih dahulu adanya, dimana ia telah menyerukan kerububiyahan dirinya (mengaku dirinya sebagai Rabb. Allah SWT berfirman, “Maka ia mengumpulkan (pembesar-pembesarnya) lalu berseru memanggil kaumnya. (Seraya) berkata, “Akulah tuhanmu yang paling tinggi.” (An-Nazi’at: 23-24). Sedangkan Nabi Yunus AS menyerukan kerububiyahan Allah, sebagaimana firman Allah Ta’ala, “…ketika ia berdo’a sedang ia dalam keadaan marah (kepada kaumnya).” (Al-Qalam: 48). Dalam ayat yang lain Allah Ta’ala berfirman: “Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah.” (Ash-Shaffat: 143). Keterangan di atas memperingatkan anda, bahwa orang yang memelihara hubungan dengan Allah Ta’ala di saat senang niscaya Allah akan memeliharanya ketika susah.” Untuk lebih jelasnya lihat kitab Syarh Asma’ Allâh Al-Husna, (hal. 157).

KISAH ASHABUL KAHFI

Kisah ASH-HABUL KAHFI Dan Pelajaran Yang Dipetik
Senin, 22 Oktober 07

Mereka adalah para pemuda, dimana Allah Ta’ala memberi mereka petunjuk serta mengilhami mereka keimanan, sehingga mereka mengenal Rabb mereka dan mengingkari keyakinan kaum mereka yang menyembah berhala. Mereka mengadakan pertemuan di antara mereka untuk membicarakan masalah akidah mereka disertai dengan perasaan takut akan kekejaman dan kekarasan kaum mereka, seraya berkata, “Rabb kami adalah Rabb langit dan bumi, kami sekali-kali tidak menyeru Ilah selain Dia, sesungguhnya kami kalau demikian ….” (Al-Kahfi: 14), yakni jika seruan kami ditujukan kepada selain-Nya, maka sungguh kami “… telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran.” (Al-Kahfi: 14), yakni perktaan keji, dusta dan zhalim. Sedangkan “kaum kami ini telah menjadikan selain Dia sebagai ilah-ilah (untuk disembah). Mengapa mereka tidak mengemukakan alasan yang terang (tentang kepercayaan mereka). Siapakah yang lebih zhalim daripada orang-orang yang mengada-ada kebohongan terhadap Allah.” (Al-Kahfi: 15).

Setelah mereka sepakat mengenai keyakinan tersebut dan mereka menyadari bahwa mereka tidak mungkin menjelaskannya kepada kaum mereka, maka mereka memohon kepada Allah Ta’ala supaya dimudahan urusan mereka, seraya berdo’a, “Wahai Rabb kami berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini).” (Al-Kahfi: 10). Kemudian mereka berlindung ke gua, dimana Allah SWT memudahkan urusan mereka, melapangkan lubang guanya serta menempatkan pintunya di sebelah utara, sehingga tidak terkena sinar matahari; baik ketika terbit maupun saat terbenam, dan mereka tertidur dalam gua mereka di bawah penjagaan serta perlindungan Allah selama seratus sembilan tahun. Allah SWT telah melindungi mereka dari rasa takut, karena posisi tempat mereka (gua) berdekatan dengan kota kaum mereka.

Allah senantiasa menjaga serta melindungi mereka dalam gua tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya, “Dan kamu mengira mereka itu bangun padahal mereka tidur; dan kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri” (Al-Kahfi: 18), supaya bumi tidak membusukan tubuh mereka.

Kemudian Allah membangunkan mereka setelah tertidur dalam jangka waktu yang cukup lama “supaya mereka saling bertanya diantara mereka sendiri.” (Al-Kahfi: 19). Akhirnya mereka menemukan jawaban yang sesungguhnya, sebagaimana hal tersebut ditegaskan oleh Allah Ta’ala di dalam firman-Nya, “Berkatalah salah seorang diantara mereka, “Sudah berapa lamakah kamu berada (di sini).” Mereka menjawab, “Kita berada (di sini) sehari atau setengah hari.” Berkata (yang lain lagi), “Rabb kamu lebih mengetahui berapa lama kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini.” (Al-Kahfi: 19). Allah menjelaskan kisah ini hingga akhir.

Tanda-Tanda Kekuasaan Allah Dan Faidah-Faidah Yang Dapat Diambil Dari Kisah Tersebut

Di dalam kisah tersebut terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah dan faidah-faidah yang bermanfaat, di antaranya:
Faidah pertama, bahwa kisah Ashhabul kahfi, meskipun sangat mengagumkan, tetapi bukan merupakan satu-satunya tanda kekuasaan Allah yang paling mengagumkan, karena Allah memiliki tanda-tanda kekuasaan tersendiri dan kisah-kisah yang di dalamnya terdapat pelajaran berharga bagi orang-orang yang berkenan merenungkannya.

Faidah lainnya, bahwa orang yang memohon perlindungan kepada Allah, maka Allah akan melindungi dan menyayanginya, dan menjadikannya sebab sebab untuk menunjukkan orang-orang yang sesat. Allah SWT telah melindungi Ashhabul kahfi dalam tidur mereka yang cukup lama dengan memelihara keimanan dan tubuh mereka dari gangguan serta pembunuhan kaum mereka dan Allah menjadikan bangunnya mereka dari tidur mereka sebagai tanda kesempurnaan kekuasaan-Nya, kebaikan-Nya yang banyak dan bermacam-macam, supaya hamba-hamba-Nya mengetahui bahwa janji Allah pasti benar.

Faidah lainnya adalah perintah menuntut ilmu-ilmu yang bermanfaat dan mendiskusikannya, karena Allah Ta’ala telah mengutus mereka untuk tujuan tersebut dan mengilhami mereka untuk berdiskusi di antara mereka seputar keyakinan mereka dan pengetahuan masyarakat mengenai keyakinan atau perilaku mereka sehingga diperoleh bukti-bukti dan pengetahuan bahwa janji Allah pasti benar dan sesungguhnya kiamat itu pasti terjadi tanpa ada keraguan di dalamnya.

Faidah lainnya adalah berkenaan dengan etika seseorang yang merasa samar mengenai sesuatu ilmu, maka hendaklah ia mengembalikannya kepada gurunya dan berusaha untuk memahami dengan seksama pelajaran yang telah diketahuinya.

Faidah lainnya, bahwa sah mewakilkan serta mengadakan kerja sama dalam jual beli. Hal tersebut merujuk perkataan mereka, “Maka suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini”, kemudian “… maka hendaklah dia membawa makanan itu untukmu.” (Al-Kahfi: 19).

Faidah lainnya, bahwa diperbolehkannya memakan makanan yang baik-baik serta memilih makanan-makanan yang layak dan sesuai dengan selera seseorang selama tidak melebihi batas-batas kewajaran. Sedang jika melebihi batas-batas kewajaran maka hal tersebut termasuk perbuatan yang dilarang. Hal itu didasarkan kepada perkataan salah seorang dari mereka, “… dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah dia membawa makanan itu untukmu.” (Al-Kahfi: 19).

Faidah lainnya adalah berkenaan dengan anjuran supaya memelihara, melindungi serta menjauhkan diri dari perbuatan yang dapat menimbulkan fitnah dalam urusan agama dan harus menyembunyikan ilmu yang mendorong manusia berbuat jahat.

Faidah lainnya adalah berkenaan dengan keterangan yang menjelaskan perhatian dan kecintaan para pemuda itu kepada agama yang benar, pelarian mereka untuk menjauhi diri dari semua fitnah dalam urusan agama mereka dan pengasingan diri mereka dengan meninggalkan kampung halaman serta kebiasaan mereka untuk menempuh jalan Allah.

Faidah lainnya adalah berkenaan dengan keterangan yang menjelaskan hal-hal yang tercakup dalam kejahatan, seperti kemadharatan dan kerusakan yang mengundang kemurkaan Allah dan kewajiban meninggalkannya, dan meniggalkannya merupakan jalan yang harus ditempuh oleh kaum mukminin.

Faidah lainnya, bahwa firman Allah SWT, “Orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata, “Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan di atasnya.” (Al-Kahfi: 21) menunjukkan bahwa orang-orang yang berkuasa yang dimaksud ialah para penguasa ketika mereka dibangunkan dari tidur mereka yaitu para penguasa yang telah beragama dengan agama yang benar, karena para penguasa itu mengagungkan dan memuliakan mereka, sehingga para penguasa tersebut berniat membangun sebuah rumah peribadatan di atas gua mereka.

Meski hal itu dilarang khususnya dalam syari’at agama, maka yang dimaksud ialah menjelaskan tentang ketakutan luar biasa yang dirasakan Ashhabul Kahfi ketika membela dan mempertahankan keimanan mereka sehingga harus berlindung di sebuah gua dan setelah itu Allah membelas perjuangan mereka dengan penghormatan dan pengagungan dari mahluk (manusia). Hal itu merupakan kebiasaan Allah dalam membalas seseorang yang telah memikul penderitaan karena-Nya serta menetapkan baginya balasan yang terpuji.

Faidah lainnya, bahwa pembahasan yang panjang lebar dan bertele-tele dalam masalah-masalah yang tidak penting; maka hal itu tidak perlu mendapatkan perhatian yang serius. Hal itu merujuk firman Allah Ta’ala, “Karena itu janganlah kamu (Muhammad) bertengkar tentang hal mereka, kecuali pertengkaran lahir saja dan jangan kamu menanyakan tentang mereka (pemuda-pemuda itu) kepada seorangpun di antara mereka.” (Al-Kahfi: 22).

Faidah lainnya, bahwa bertanya kepada seseorang yang tidak berilmu dalam masalah yang akan dimintai pertanggungan jawab di dalamnya atau orang yang tidak dapat dipercaya adalah terlarang. Hal itu merujuk firman Allah Ta’ala, “… dan jangan kamu menanyakan tentang mereka (pemuda-pemuda itu) kepada seorangpun di antara mereka.” (Al-Kahfi: 22).

KISAH NABI MUSA DAN NABI KHIDHIR

KISAH HIDHIR AS DAN NABI MUSA AS
Senin, 18 Februari 08

Kisah ini berkaitan dengan Nabi Musa AS yang ketika itu memiliki kedudukan yang agung di kalangan Bani Israil, dimana ia mengajari mereka sejumlah ilmu dan masyarakat pun merasa kagum dengan kesempurnaan ilmunya.

Pada suatu hari seseorang bertanya kepadanya: “Wahai nabi Allah, apakah ada atau engkau mengetahui seseorang di bumi ini yang lebih pintar darimu?”
Nabi Musa AS menjawab, “Tidak ada.”

Jawaban tersebut dilontarkan Nabi Musa AS berdasarkan kenyataan yang diketahuinya dan dimaksudkan untuk mendorong semangat mereka dalam menimba ilmu darinya. Kemudian Allah mengabarinya bahwa Dia memiliki seorang hamba yang tinggal di tempat pertemuan dua buah lautan; yang memiliki sejumlah ilmu yang tidak dimiliki Nabi Musa AS dan menerima wahyu di luar kebiasaan. Nabi Musa AS ingin sekali menemuinya karena ingin menambah ilmunya. Kemudian ia memohon kepada Rabbnya supaya mengizinkannya untuk menemuinya serta memberitahukan tempatnya. Mereka (Nabi Musa AS dan muridnya) membawa ikan sebagai bekal dalam perjalanan, seraya Dikatakan kepadanya, “Jika ikan itu hilang, maka di situlah hamba-Ku tinggal.” Nabi Musa AS pergi dan berhasil menemukannya. Allah Ta’ala telah menceritakan kisah keduanya di dalam surat Al-Kahfi, “Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada (muridnya):”Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun.” (Al-Kahfi: 60) hingga firman Allah, “Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.” (Al-Kahfi: 82).

Dalam kisah ini terkandung sejumlah faidah, hukum dan kaidah yang terkait dengan pertolongan Allah, dan kami akan mengemukakan hal-hal yang penting darinya:

Di antara faidah yang dapat diambil dari kisah di atas adalah keutamaan serta kemuliaan ilmu yang terkandung dalam kisah tersebut. Juga disyari’atkannya melakukan perjalanan untuk menuntutnya dan menggolongkannya sebagai sesuatu yang sangat penting. Nabi Musa AS pun telah melakukan perjalanan yang jauh untuk menuntutnya serta merasakan kelelahan dalam melakukannya. Saat itu Nabi Musa AS meninggalkan tugas yang diembannya pada Bani Israil, yaitu mengajari dan membimbing mereka, dan ia memilih melakukan perjalanan untuk menambah ilmunya.

Faidah lainnya, bahwa dalam menuntut ilmu, hendaklah dimulai dari ilmu yang sangat penting dan diikuti oleh ilmu penting berikutnya. Menambah ilmu untuk dirinya adalah lebih penting daripada meninggalkannya karena alasan sibuk mengajar bahkan dia harus belajar untuk mengajarkan kepada yang lain.

Faidah lainnya, bahwa diperbolehkan mengambil pembantu ketika melakukan perjalanan dan saat berada di tempat untuk mempersiapkan makanan dan mendapatkan istirahat yang cukup, sebagaimana yang dilakukan Nabi Musa AS.

Faidah lainnya, bahwa orang yang melakukan perjalanan untuk menuntut ilmu, berjihad serta perjalanan lainnya yang termasuk perjalanan dalam melakukan ketaatan kepada Allah, jika kemaslahatan menghendakinya supaya memberitahukan ilmu yang dituntutnya dan tempat yang ditujunya, niscaya hal itu dipandang lebih sempurna daripada menyembunyikannya. Karena dengan memberitahukannya maka di dalamnya terdapat sejumlah faidah, seperti: menyiapkan segala sesuatu (bekal) yang diperlukannya, melaksanakan perbuatan tersebut dengan seksama dan memberitahukan agar bersemangat dalam melakukan ibadah yang utama tersebut. Hal tersebut didasarkan kepada perkataan Nabi Musa AS, “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun.” (Al-Kahfi: 60).

Ketika Nabi SAW bermaksud melakukan perang Tabuk, maka beliau memberitahukan maksudnya itu kepada kaum muslimin, padahal pada umumnya ketika beliau hendak berperang niscaya akan menutupi maksudnya itu dengan perbuatan yang lainnya.* Perbedaan sikap Rasulullah SAW itu karena adanya perbedaan maslahat yang ada dalam keduanya.

Faidah lainnya, bahwa kejahatan dan sebab-sebabnya disandarkan kepada syetan, demikian juga halnya dengan kekurangan. Hal itu merujuk perkataan seorang pemuda yang ditujukan kepada Nabi Musa AS, “…dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali setan ….” (Al-Kahfi: 63).

Faidah lainnya, bahwa diperbolehkannya seseorang untuk memberitahukan hal yang dirasakannya menjadi tuntutan tabiat alami mamusia, misalnya: merasa letih, lapar, atau dahaga, jika tidak dimaksudkan untuk menunjukkan kebencian dan dikatakan dengan jujur, sebagaimana perkataan Nabi Musa AS, “Bawalah ke mari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.” (Al-Kahfi: 62).

Faidah lainnya, bahwa seseorang hendaklah mengambil pembantu yang cerdas dan pintar supaya dapat membantu dalam mencapai tujuan yang dikehendakinya dengan sempurna.

Faidah lainnya, bahwa dianjurkan bagi seseorang untuk memberikan makanan kepada pembantunya dari makanannya serta keduanya makan bersama-sama. Karena Dzahir perkataan Nabi Musa AS, “Bawalah ke mari makanan kita.” (Al-Kahfi: 62). Untuk dimakan bersama-sama.

Faidah lainnya, bahwa pertolongan Allah akan diberikan (diturunkan) kepada seorang hamba sesuai dengan ketaatannya dalam menunaikan perintah syara’ (agama), sedangkan suatu perbuatan yang sesuai dengan keridhaan Allah niscaya akan mendatangkan pertolongan Allah kepada pelakunya yang tidak didatangkan kepada selainnya. Hal itu merujuk perkataan Nabi Musa AS, “Sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.” (Al-Kahfi: 62). Isyarat ini ditujukan kepada perjalanan yang telah melewati tempat pertemuan dua buah lautan. Sedangkan dalam perjalanan melewati laut yang pertama, maka Nabi Musa AS tidak mengeluhkannya meskipun jauh.

Faidah lainnya, bahwa seorang hamba yang ditemui Nabi Musa AS bukanlah seorang nabi, melainkan seorang hamba yang shalih yang berilmu dan mendapat ilham. Karena Allah Ta’ala menceritakannya dengan menyebutkan ilmu, ibadah yang khusus dan sifat-sifat terpuji, tanpa dibarengi dengan penyebutan nabi atau rasul.

Sedangkan firman Allah Ta’ala dalam akhir kisah ini, “… dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri.” (Al-Kahfi: 82) tidak menunjukkan bahwa hamba yang dimaksud ialah seorang nabi, akan tetapi menunjukkan kepada ilham dan pemberitahuan, dimana semua itu ditujukan kepada selain para nabi. Allah Ta’ala berfirman, “Dan Rabbmu mewahyukan kepada lebah.” (An-Nahl: 68). Sedang dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman, “Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa.” (Al-Qashash: 7).

Faidah lainnya, bahwa ilmu yang diajarkan Allah kepada seorang hamba terdiri dari dua macam, yaitu:
1. Ilmu yang diperoleh seorang hamba melalui pencarian dan kesungguhannya.
2. Ilmu Ilahi dan bersifat pemberian Allah, yaitu ilmu yang diberikan Allah kepada seseorang yang dikehendakinya dari hamba-hamba-Nya, seperti dijelaskan dalam firman Allah Ta’ala, “Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (Al-Kahfi: 65). Jadi Hidhir AS ialah orang yang telah dikaruniai ilmu tersebut.

Faidah lainnya adalah keharusan berlaku sopan santun serta lemah-lembut dalam bertutur kata terhadap guru. Hal tersebut merujuk perkataan Nabi Musa AS, “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu.” (Al-Kahfi: 66). Nabi Musa AS melontarkan perkataan tersebut dengan sikap yang sopan serta mengajak musyawarah. Seakan-akan ia berkata, “Apakah engkau mengizinkanku atau tidak.” Nabi Musa AS memperlihatkan kebutuhannya kepada guru (yakni Hidhir AS), keinginannya untuk menimba ilmu darinya serta kerinduannya kepada ilmu yang ada padanya. Berbeda sekali dengan orang-orang yang sombong dan bertabiat buruk, dimana mereka tidak akan memperlihatkan kebutuhan mereka terhadap guru Bagi seorang pelajar yang tidak memperlihatkan sikap yang sopan dan kebutuhannya terhadap ilmu guru serta rasa syukurnya atas ilmu yang diajarkannya niscaya ia tidak akan mendapatkan ilmu yang bermanfaat.

Faidah lainnya adalah keharusan bersikap tawadhu’ dari seseorang yang memiliki kedudukan yang mulia; untuk belajar kepada orang yang kedudukannya lebih rendah darinya. Tidak diragukan lagi bahwa kedudukan Nabi Musa AS adalah lebih utama daripada Hidhir AS.

Faidah lainnya adalah kemestian bagi seorang guru yang memiliki kedudukan yang mulia untuk mempelajari ilmu yang belum dikuasainya kepada seseorang yang telah menguasainya, meskipun kedudukan gurunya lebih rendah dalam sejumlah ilmu daripadanya. Nabi Musa AS termasuk salah seorang ulul ‘azmi yang besar dari para rasul yang dikaruniai sejumlah ilmu oleh Allah Ta’ala yang tidak dikaruniakan kepada selain mereka, akan tetapi dalam kaitannya dengan ilmu khusus yang dimiliki Hidhir AS, dimana Nabi Musa AS tidak memilikinya, maka ia ingin sekali belajar darinya.

Faidah lainnya, harus menyandarkan ilmu serta keutamaan lainnya, kepada kemurahan Allah dan rahmat-Nya, mengakui hal tersebut dan bersyukur kepada Allah atas karunia yang diberikan kepadanya. Hal itu merujuk perkataan Nabi Musa AS, “… supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu.” (Al-Kahfi: 66).

Faidah lainnya, bahwa ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang membimbing serta menunjukan kepada kebaikan. Setiap ilmu yang di dalamnya mengandung petunjuk kepada kebaikan dan peringatan dari kejahatan atau hal-hal yang menyebabkan terjerumus kepadanya niscaya termasuk ilmu yang bermanfaat. Sedangkan ilmu selainnya baik yang menimbulkan kemadharatan atau di dalamnya tidak mengandung faidah termasuk ilmu yang tidak bermanfaat. Hal itu merujuk perkataan Nabi Musa AS, “… supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu.” (Al-Kahfi: 66).

Faidah lainnya, bahwa seseorang yang tidak sabar dalam menemani gurunya dan tidak memiliki keteguhan hati di dalam menempuh pelajaran niscaya ia akan menjadi orang yang picik dan tidak akan memperoleh ilmu. Jadi orang yang tidak sabar niscaya tidak akan memperoleh ilmu, sedang orang yang sabar dan membiasakannya niscaya akan memperolehnya, karena semua usaha akan diarahkan untuk memperolehnya. Karena itu Hidhir AS memberikan alasan bahwa Nabi Musa AS tidak akan bersabar dalam mempelajari ilmunya yang khusus tersebut.

Faidah lainnya, bahwa di antara hal yang akan membantu seseorang bersabar dalam melakukan segala pekerjaan; ia harus menyadari; bahwa dengan mengerjakannya, niscaya ia akan mendapatkan suatu ilmu, manfaat dan hasil darinya, dan orang yang tidak menyadari hal tersebut, niscaya akan sulit baginya untuk bersabar. Hal itu merujuk perkataan Hidhir: “Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu.” (Al-Kahfi: 68).

Faidah lainnya adalah keharusan bersikap hati-hati, berketetapan hati dan tidak terburu-buru dalam mempelajari hukum segala sesuatu; sehingga benar-benar mengetahui hukum yang dikehendaki dan dimaksud.

Faidah lainnya adalah disyari’atkannya menggantungkan kejadian segala sesuatu di masa mendatang kepada kehendak Allah. Hal itu merujuk perkataan Nabi Musa AS, “Insya Allah kamu akan mendapatkanku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun.” (Al-Kahfi: 69). Meniatkan sesuatu bukanlah berarti telah melakukannya, dimana Nabi Musa AS telah meniatkan untuk bersabar, tetapi ia tidak dapat melakukannya.

Faidah lainnya, bahwa seorang guru jika melihat suatu kemaslahatan, hendaklah memberitahukannya kepada muridnya, agar muridnya tidak mengawali belajarnya dengan pertanyaan mengenai sebagian hal, tetapi gurunya yang menjelaskannya. Karena kemaslahatan itu bersifat menyertai, misalnya: jika pemahaman muridnya sempit, atau tidak menjelaskannya secara menjelimet, atau mengajukan sejumlah pertanyaan yang tidak ada hubungannya dengan materi yang dipelajari.

Faidah lainnya, bahwa diperbolehkan mengarungi lautan, jika tidak ada sesuatu yang mengkhawatirkan.

Faidah lainnya, bahwa seseorang yang lupa tidak akan disiksa; tidak pada hak Allah SWT serta tidak pula pada hak manusia, kecuali jika hal itu berkaitan dengan perusakan harta orang lain, maka dalam kasus itu terdapat pertanggung jawaban, tanpa kecuali kepada orang yang lupa. Hal tersebut merujuk perkataan Nabi Musa AS, “Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku.” (Al-Kahfi: 73).

Faidah lainnya, bahwa dalam menyikapi perilaku manusia (masyarakat) dan bergaul dengan mereka, hendaklah seseorang bersikap pemaaf terhadap perilaku mereka dan juga toleran terhadap diri mereka dan tidak semestinya dia membebani mereka dengan urusan yang tidak mampu mereka kerjakan, atau mendatangkan kesulitan terhadap mereka, atau berbuat zhalim kepada mereka, karena perbuatan itu akan menyebabkan mereka lari dari sisinya, tetapi ia harus membebani mereka dengan urusan yang mudah yang mampu mereka kerjakan.

Faidah lainnya, bahwa segala sesuatu berjalan menurut lahirnya serta terkait dengannya ketentuan-ketentuan hukum dunia dalam segala sesuatu. Nabi Musa AS menentang Hidhir AS ketika merusakkan bahtera dan membunuh seorang anak berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum yang bersifat umum, dan ia tidak melihat sumber yang mendasarinya, dan Hidhir AS pun tidak bertanya kepada Allah dan tidak pula menentang-Nya, tetapi Hidhir AS langsung melakukannya.

Faidah lainnya, bahwa dalam kisah tersebut terkandung suatu kaidah besar yang masyhur, yaitu: “Menolak keburukan yang lebih besar dengan mengerjakan keburukan yang ringan akibatnya, dan menjaga kemaslahatan yang lebih besar dengan meninggalkan kemaslahatan di bawahnya (yang lebih kecil).” Membunuh seorang anak kecil termasuk suatu kejahatan, tetapi membiarkannya tetap hidup hingga dewasa dan menjadi fitnah bagi kedua orang tuanya dalam urusan agama adalah kejahatan yang sangat besar. Membiarkan anak tersebut tetap hidup dan tidak membunuhnya, meskipun secara lahir termasuk kebaikan, tetapi membiarkan kedua orang tuanya tetap hidup dan berpegang teguh kepada agama keduanya adalah lebih baik daripada membiarkannya (anak itu) tetap hidup. Karena itu, maka Hidhir AS membunuhnya setelah Allah memberinya ilham mengenai hakikat yang sesungguhnya, karena kedudukan ilham yang bersifat bathin adalah setara dengan bukti nyata dalam pandangan orang selainnya.

Faidah lainnya, bahwa kaidah besar yang lainnya, bahwa perbuatan seseorang yang berkaitan dengan harta milik orang lain, jika ia bertujuan memelihara kemaslahatan dan menolak kemadharatan maka diperbolehkan baginya melakukan perbuatan tersebut tanpa meminta izin lebih dahulu kepada pemiliknya, meski harus menghilangkan sebagian harta tersebut, seperti yang dilakukan Hidhir AS yang merusak bahtera hingga tampak jelek dengan maksud supaya selamat dari perampasan seorang raja yang zhalim. Di bawah kedua kaidah besar tersebut, terdapat sejumlah faidah yang tidak terhingga.

Faidah lainnya, bahwa suatu amal boleh dikerjakan di lautan sebagaimana diperbolehkan mengerjakannya di daratan. Hal tersebut merujuk perkataan Hidhir AS, “Adapun bahtera itu kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut.” (Al-Kahfi: 79).

Faidah lainnya, bahwa membunuh termasuk dosa besar.
Faidah lainnya, bahwa sesungguhnya seorang hamba yang shalih, niscaya Allah akan memelihara dirinya, keturunannya dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Hal tersebut merujuk perkataan Hidhir AS, “… sedang ayahnya adalah seorang yang shalih.” (Al-Kahfi: 82).

Pengabdian serta amal baik orang-orang shalih, niscaya lebih utama dari pengabdian serta amal baik selain mereka, karena alasan pengerjaan amal-amal mereka adalah kepatutan. Hal tersebut merujuk perkataan Hidhir AS, “… sedang ayahnya adalah seorang yang shalih.” (Al-Kahfi: 82).

Faidah lainnya adalah keharusan memperhatikan etika di dalam menjalin komunikasi dengan Allah Ta’ala hingga dalam perkataan, dimana Hidhir AS menyandarkan perusakan bahtera kepada dirinya, seperti tertera dalam perkataannya, “… dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu.” (Al-Kahfi: 79). Sedang dalam kebaikan maka ia menyandarkannya kepada Allah seperti dalam perkataannya, “… maka Rabbmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanan itu, sebagai rahmat dari Rabbmu.” (Al-Kahfi: 82). Contoh lainnya, Nabi Ibrahim AS berkata, “Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku.” (Asy-Syu’ara: 80). Contoh lainnya, jin berkata, “Dan sesungguhnya kami tidak mengetahui (dengan adanya penjagaan itu) apakah keburukan yang dikehendaki bagi orang yang di bumi ataukah Rabb mereka menghendaki kebaikan bagi mereka.” (Al-Jin: 10). Padahal segala sesuatu ditetapkan menurut qadha’ dan qadar Allah.

Faidah lainnya, bahwa seseorang tidak patut membiarkan sahabatnya dalam suatu keadaan dan mengabaikan persahabatan yang telah dijalinnya, tetapi ia harus tetap memeliharanya sehingga tidak ada lagi tempat bagi kesabaran (kesabarannya telah habis). Kecocokan antara seseorang dengan sahabatnya dalam urusan-urusan yang tidak menimbulkan bahaya merupakan motifasi atau sebab pendorong kekalnya persahabatan mereka, dan sebagai lem perekat hubungan mereka, sebagaimana tidak adanya kecocokan menjadi sebab putusnya persahabatan.

CATATAN KAKI:

* HR. Al-Bukhari (2948) dari hadits Ka’ab bin Malik RA, dan untuk lebih jelasnya lihat kitab Fathul Al-Bârî (6/131).

PENGERTIAN AL-QUR'AN

Pengertian al-Qur'an
Jumat, 24 Maret 06

Secara Bahasa (Etimologi)

Merupakan mashdar (kata benda) dari kata kerja Qoro-’a (قرأ) yang bermakna Talaa (تلا) [keduanya berarti: membaca], atau bermakna Jama’a (mengumpulkan, mengoleksi). Anda dapat menuturkan, Qoro-’a Qor’an Wa Qur’aanan (قرأ قرءا وقرآنا) sama seperti anda menuturkan, Ghofaro Ghafran Wa Qhufroonan (غفر غفرا وغفرانا). Berdasarkan makna pertama (Yakni: Talaa) maka ia adalah mashdar (kata benda) yang semakna dengan Ism Maf’uul, artinya Matluw (yang dibaca). Sedangkan berdasarkan makna kedua (Yakni: Jama’a) maka ia adalah mashdar dari Ism Faa’il, artinya Jaami’ (Pengumpul, Pengoleksi) karena ia mengumpulkan/mengoleksi berita-berita dan hukum-hukum.*

Secara Syari’at (Terminologi)

Adalah Kalam Allah SWT yang diturunkan kepada Rasul dan penutup para Nabi-Nya, Muhammad SAW, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas.

Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Qur’an kepadamu (hai Muhammad) dengan berangsur-angsur.” (al-Insaan:23)

Dan firman-Nya, “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa al-Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.” (Yusuf:2)

Allah SWT telah menjaga al-Qur’an yang agung ini dari upaya merubah, menambah, mengurangi atau pun menggantikannya. Dia SWT telah menjamin akan menjaganya sebagaimana dalam firman-Nya, “Sesunggunya Kami-lah yang menunkan al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benr-benar memeliharanya.” (al-Hijr:9)

Oleh karena itu, selama berabad-abad telah berlangsung namun tidak satu pun musuh-musuh Allah yang berupaya untuk merubah isinya, menambah, mengurangi atau pun menggantinya. Allah SWT pasti menghancurkan tabirnya dan membuka kedoknya.

Allah SWT menyebut al-Qur’an dengan sebutan yang banyak sekali, yang menunjukkan keagungan, keberkahan, pengaruhnya dan universalitasnya serta menunjukkan bahwa ia adalah pemutus bagi kitab-kitab terdahulu sebelumnya.

Allah SWT berfirman, “Dan sesunguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan al-Qur’an yang agung.” (al-Hijr:87)

Dan firman-Nya, “Qaaf, Demi al-Quran yang sangat mulia.” (Qaaf:1)

Dan firman-Nya, “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (Shaad:29)

Dan firman-Nya, “Dan al-Qur’an itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka iktuilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat.” (al-An’am:155)

Dan firman-Nya, “Sesungguhnya al-Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia.” (al-Waqi’ah:77)

Dan firman-Nya, “Sesungguhnya al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan ) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu’min yang menjajakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang benar.” (al-Isra’:9)

Dan firman-Nya, “Kalau sekiranya kami menurunkan al-Qur’an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu kaan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir.” (al-Hasyr:21)

Dan firman-Nya, “Dan apabila diturunkan suatu surat, mka di antara mereak (orang-orang munafik) ada yang berkata, ‘Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini.? ‘ Adapun orang-orang yang berimana, maka surat ini menambah imannya sedang mereka merasa gembira # Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat ini bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir.” (at-Taubah:124-125)

Dan firman-Nya, “Dan al-Qur’an ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai al-Qur’an (kepadanya)…” (al-An’am:19)

Dan firman-Nya, “Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan al-Qur’an dengan jihad yang benar.” (al-Furqan:52)

Dan firman-Nya, “Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (an-Nahl:89)

Dan firman-Nya, “Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian* terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan…” (al-Maa’idah:48)

Al-Qur’an al-Karim merupakan sumber syari’at Islam yang karenanya Muhammad SAW diutus kepada seluruh umat manusia. Allah SWT berfirman,

Dan firman-Nya, “Maha suci Allah yang telah menurunkan al-Furqaan (al-Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam (jin dan manusia).” (al-Furqaan:1)

Sedangkan Sunnah Nabi SAW juga merupakan sumber Tasyri’ (legislasi hukum Islam) sebagaimana yang dikukuhkan oleh al-Qur’an. Allah SWT berfirman, “Barangsiapa yang menta’ati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menta’ati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari keta’atan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (an-Nisa’:80)

Dan firman-Nya, “Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (al-Ahzab:36)

Dan firman-Nya, “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah…” (al-Hasyr:7)

Dan firman-Nya, “Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran:31)


CATATAN KAKI:

* Maksudnya, al-Qur’an adalah ukuran untuk menentukan benar tidaknya ayat-ayat yang diturunkan dalam kitab-kitab yang sebelumnya. (al-Qur’an dan terjemahannya, DEPAG RI)

(SUMBER: Ushuul Fii at-Tafsiir karya Syaikh Muhammad bin ‘Utsaimin, hal.9-11)

HAJI DAN UMRAH

Tata Cara Haji, Umrah dan Hukum Shalat
di Masjid Nabawi
oleh : Yusuf bin Abdullah bin Ahmad Al-Ahmad

Segala sanjung puji kita haturkan ke hadirat Allah, Rabb yang kepadaNya kita senantiasa menyembah dan meminta pertolongan. Shalawat dan salam semoga selalu dilimpahkan kepada kekasih kita, Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga dan segenap sahabatnya. Amin.
Menunaikan ibadah haji adalah sesuatu yang amat dirindukan oleh setiap umat Islam, bahkan oleh yang telah menunaikannya berkali-kali sekalipun.Karena itu, bagi yang dimudahkan Allah untuk bisa menunaikan ibadah haji tahun ini agar meng-gunakan kesempatan emas itu dengan sebaik-baiknya. Sebab, belum tentu kesempatan menunaikan ibadah haji itu datang kembali.
Agar bisa beribadah haji dengan sebaik-baiknya, sekhusyu'-khusyu'nya dan menjadi haji mabrur, di samping harus ikhlas kita harus memiliki ilmu yang cukup seputar bagaimana menjalankan ibadah haji sesuai dengan tuntunan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Rubrik ini memberikan pedoman bagaimana menunaikan haji sesuai tuntunan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dengan kata lain, semuanya berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang shahih, sesuai pemahaman Salaf (sahabat, tabi'in dan tabi'it tabi'in), pemahaman yang dengannya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan kita dalam memahami agama.
Tulisan ini pada awalnya adalah tulisan harian yang dibuat secara berseri sesuai dengan apa yang harus dilakukan oleh jamaah haji pada hari itu. Tulisan-tulisan tersebut kemudian dibagikan kepada jamaah haji di sana dan mendapat tanggapan yang sangat baik dari jamaah haji.
Di samping memberikan tuntunan manasik haji yang benar, rubrik ini juga memperingatkan kita untuk menghindari pekerjaan-pekerjaan yang bisa merusak ibadah haji, yang ironinya banyak dilakukan jamaah haji.
Sungguh, banyak orang yang menyesal setelah menunaikan ibadah haji. Menyesal karena menunaikan ibadah haji tanpa ilmu, atau menyesal karena kurang bersungguh-sungguh dalam beribadah di tempat yang amat mulia tersebut, menyesal karena kurang memperhatikan sunnah dsb. Maka, sebelum hal itu terjadi pada diri Anda, bacalah rubrik ini. Insya Allah , dengan demikian Anda akan memiliki bekal sebaik-baiknya dalam menunaikan ibadah haji.
Sebagai catatan, hingga saat ini, hampir setiap umat Islam memiliki gambaran bahwa haji adalah ibadah yang sulit dan rumit. Gambaran itu tak lepas dari cara penyajian dan sistimatika pembahasan buku-buku tentang haji yang beredar selama ini. Belum lagi kesulitan-kesulitan itu memang ada yang sengaja dibuat, misalnya masalah do'a-do'a khusus pada setiap amalan, padahal Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengajarkannya. Juga amalan-amalan tertentu yang tidak ada dasarnya, baik dari Al-Qur'an maupun As-Sunnah yang shahih.
Insya Allah gambaran bahwa haji itu sulit akan hilang dari benak Anda setelah membaca rubrik ini. Rubrik ini tentu sangat membantu, karena menuntun Anda secara runut apa yang harus Anda lakukan pada hari-hari haji. Misalnya, ketika hari Tarwiyah, Arafah, hari Raya, apa saja yang harus Anda lakukan, Anda bisa baca dalam buku ini, dan demikian seterusnya.
Lebih dari itu, rubrik ini akan menuntun Anda menunaikan haji sesuai dengan tuntunan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam . Maka tak berlebihan jika dikatakan, rubrik ini adalah rubrik pedoman haji yang sangat sistimatis, mudah, praktis dan lengkap.
Akhir kata, semoga haji kita diterima Allah Subhannahu wa Ta'ala. Semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan segenap sahabatnya. Amin.
MUQADDIMAH

Pertama: Haji adalah salah satu dari lima rukun Islam. Ia wajib dilakukan sekali seumur hidup, berdasarkan firman Allah:
"Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji) maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam." (Ali Imran: 97).
Dan berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:

"Islam itu dibangun di atas lima perkara; bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq melainkan Allah dan (bersaksi) bahwa Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa (di bulan) Ramadhan dan menunaikan haji ke Baitullah." (Muttafaq Alaih).
Haji diwajibkan dengan lima syarat:
1.Islam.
2.Berakal.
3.Baligh.
4.Merdeka.
5.Mampu.
6.Dan bagi perempuan ditambah dengan satu syarat yaitu adanya mahram yang pergi bersamanya. Sebab haram hukumnya jika ia pergi haji atau safar (bepergian) lainnya tanpa mahram, berdasarkan sabda Nabi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:

"Tidak (dibenarkan seorang) wanita bepergian kecuali dengan mahramnya." (Muttafaq Alaih).
Jika seorang wanita pergi haji tanpa mahram maka ia berdosa tetapi hajinya tetap sah.
Syarat kelima yakni mampu, meliputi kemampuan materi dan fisik. Barangsiapa tidak mampu dengan hartanya untuk memenuhi biaya perjalanan, nafkah haji dan sejenisnya maka ia tidak berkewajiban haji. Adapun orang yang mampu secara materil, tetapi tidak mampu secara fisik dan jauh harapan sembuhnya, seperti orang yang sakit menahun, orang yang cacat atau tua renta maka ia harus mewakilkan hajinya kepada orang lain. Dan disyaratkan orang yang mewakilinya sudah haji untuk dirinya sendiri.
Kedua: Allah berfirman:
"(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimak-lumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan." (Al-Baqarah: 197).
Rafats adalah bersetubuh atau yang merangsang kepadanya, berbuat fasik artinya berbuat maksiat, sedang yang dimaksud berbantah-bantahan adalah berbantah-bantahan secara batil atau berbantah-bantahan yang tidak ada manfaatnya, atau yang bahayanya lebih besar dari manfaatnya.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Barangsiapa menunaikan haji sedang ia tidak melakukan rafats dan perbuatan fasik maka ia pulang (haji) sebagaimana hari ketika ia dilahirkan ibunya." (Muttafaq Alaih).

"Umrah ke umrah lainnya adalah kaffarah (peng-hapus dosa) antara keduanya, dan haji mabrur tiada lain balasannya selain Surga." (Muttafaq Alaih).
Karena itu wahai Saudara Haji, waspadalah dari terperosok ke dalam maksiat, baik yang besar maupun yang kecil. Seperti mengakhirkan shalat dari waktunya, ghibah (menggunjing), namimah (mengadu domba), mencaci dan menghina, mendengarkan nyanyian, men-cukur jenggot, isbal (menurunkan atau memanjangkan pakaian/kain hingga di bawah mata kaki), merokok, melihat kepada yang haram di jalan atau di telivisi. Kemudian bagi wanita, hendaknya menutupi semua tubuhnya dengan hijab syar'i (kain penutup yang di-syari'atkan) serta menjauhkan diri dari memperlihatkan aurat.
Dengan banyaknya manusia, desak-desakan dan lelah, terkadang seseorang diuji dengan berbantah-bantahan yang dilarang dalam haji. Misalnya dengan petugas lalu lintas atau sopir mobil umum; ketika berdesak-desakan saat thawaf atau ketika melempar jumrah. Waspadalah dari godaan dan tipu daya setan. Berusahalah untuk selalu bersikap lembut, sabar dan berpaling dari orang-orang bodoh. Usahakan untuk tidak keluar dari lisanmu kecuali ucapan-ucapan yang baik.
Ketiga: Ketika haji, sebagian wanita tidak mengenakan jubah wanita dan ia berjalan di antara laki-laki dengan pakaiannya. Terkadang pula ia memakai celana panjang. Ia mengira bahwa hijab itu hanyalah sebatas meletakkan kerudung di atas kepala. Ini adalah pemahaman yang keliru. Lebih parah lagi, sebagian wanita pada hari Raya berhias dan berjalan di depan laki-laki dengan mengenakan pakaian yang indah. Ia mengira bahwa itu adalah bagian dari kegembiraan hari Raya. Ia tidak memahami bahwa perbuatannya itu termasuk kefasikan yang besar dalam ibadah haji. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Aku tidak meninggalkan fitnah setelahku yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada (fitnah) wanita." (Muttafaq Alaih).
Sebagian wanita ada juga yang menganggap remeh masalah tidur di tempat-tempat umum yang membuat laki-laki bisa melihat mereka.
Adalah wajib bagi wanita muslimah untuk bertaq-wa kepada Allah dan membatasi diri dari laki-laki asing (bukan mahram) dengan mengenakan baju kurung lebar yang tidak ada perhiasannya, sehingga tak kelihatan sesuatu pun dari (anggota badan)nya, baik wajah, tangan atau kakinya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Wanita adalah aurat. Jika ia keluar maka setan mengawasi/mengincarnya." (HR. At-Tirmidzi dengan sanad shahih).
Pada asalnya, istisyraf (mengincar) berarti meletakkan telapak tangan di atas alis mata serta mendongakkan kepala untuk melihat. Maknanya sesuai konteks hadits di atas- adalah jika wanita keluar rumah maka setan mengincarnya untuk menggodanya atau menggoda (laki-laki) dengan dirinya.
Keempat: Jika seorang muslim melakukan ihram haji atau umrah maka haram atasnya sebelas perkara sampai ia keluar dari ihramnya (tahallul):
1.Mencabut rambut.
2.Menggunting kuku.
3.Memakai wangi-wangian.
4.Membunuh binatang buruan (darat, adapun bina-tang laut maka dibolehkan).
5.Mengenakan pakaian berjahit (bagi laki-laki dan tidak mengapa bagi wanita). Pakaian berjahit adalah pakaian yang membentuk badan, seperti baju, kaos, celana pendek, gamis, celana panjang, kaos tangan dan kaos kaki. Adapun sesuatu yang ada jahitannya tetapi tidak membentuk badan maka hal itu tidak membahayakan muhrim (orang yang sedang ihram), seperti sabuk, jam tangan, sepatu yang ada jahitan-nya dsb.
6.Menutupi kepala atau wajah dengan sesuatu yang menempel (bagi laki-laki), seperti peci, penutup kepala, surban, topi dan yang sejenisnya. Tetapi dibolehkan berteduh di bawah payung, di dalam kemah dan mobil. Juga dibolehkan membawa barang di atas kepala jika tidak dimaksudkan untuk menutupinya.
7.Memakai tutup muka dan kaos tangan (bagi wanita). Tetapi jika di depan laki-laki asing (bukan mahram) maka ia wajib menutupi wajah dan kedua tangannya, namun dengan selain tutup muka (cadar), misalnya dengan menurunkan kerudung ke wajah dan memasukkan tangan ke dalam baju kurung.
8.Melangsungkan pernikahan.
9.Bersetubuh.
10.Bercumbu (bermesraan) dengan syahwat.
11.Mengeluarkan mani dengan onani atau bercumbu.
Orang Yang Melakukan Hal-hal Yang Dilarang Memiliki Tiga Keadaan:
1.Ia melakukannya tanpa udzur (alasan), maka ia berdosa dan wajib membayar fidyah (tebusan).
2.Ia melakukannya untuk suatu keperluan, seperti memotong rambut karena sakit. Perbuatannya ter-sebut dibolehkan, tetapi ia wajib membayar fidyah.
3.Ia melakukannya dalam keadaan tidur, lupa, tidak tahu atau dipaksa. Dalam keadaan seperti itu ia tidak berdosa dan tidak wajib membayar fidyah.
Jika yang dilanggar itu berupa mencabut rambut, menggunting kuku, memakai wangi-wangian, bercumbu karena syahwat, laki-laki mengenakan kain yang berjahit atau menutupi kepalanya, atau wanita memakai tutup muka (cadar) atau kaos tangan maka fidyah-nya antara tiga hal. Orang yang melakukan pelanggaran itu boleh memilih salah satu daripadanya:
1.Menyembelih kambing (untuk dibagikan kepada orang-orang fakir miskin dan ia tidak boleh memakan sesuatu pun daripadanya).
2.Memberi makan enam orang miskin, masing-masing setengah sha' makanan. (setengah sha' lebih kurang sama dengan 1,25 kg.).
3.Berpuasa selama tiga hari.
Dari larangan-larangan di atas, dikecualikan hal-hal berikut ini:
1.Melangsungkan pernikahan, sebab ia hukumnya haram, maka tidak ada fidyah karenanya.
2.Membunuh binatang buruan (darat), sebab ia hukumnya haram, dan terdapat denda jika ia membunuhnya secara sengaja.
3.Bersetubuh (dan ia adalah larangan yang paling besar). Jika ia melakukannya secara sengaja sebelum tahallul pertama, maka ada lima konsekuensi:
a.Berdosa
b.Hajinya batal.
c.Ia wajib menyempurnakan hajinya.
d.Ia wajib mengulangi (men-qadha') hajinya pada tahun depan.
e.Ia wajib membayar fidyah berupa seekor unta yang disembelih ketika melakukan haji qadha'.
Kelima: Haji ada tiga jenis; tamattu', qiran dan ifrad. Yang paling utama adalah haji tamattu', karena perintah Nabi J terhadapnya. Haji tamattu' yaitu ia melakukan ihram dengan niat umrah saja pada bulan haji, setelah selesai melakukannya ia lalu melakukan ihram dengan niat haji pada hari Tarwiyah (tanggal 8 Dzul Hijjah, pen.).
Haji ifrad yaitu ia melakukan ihram dengan niat haji saja, ketika sampai di Makkah ia melakukan thawaf qudum, kemudian langsung melakukan sa'i haji setelah thawaf qudum .
Haji qiran yaitu ia melakukan ihram dengan niat umrah dan haji sekaligus. Pekerjaan orang yang menunaikan haji qiran sama dengan pekerjaan haji ifrad , kecuali dalam dua hal:
1. Niat. Orang yang melakukan haji ifrad hanya meniatkan haji saja, sedangkan orang yang menunaikan haji qiran meniatkan untuk umrah dan haji (secara bersamaan).
2. Hadyu (menyembelih kurban). Orang yang menunaikan haji qiran wajib menyembelih kurban, sedangkan orang yang menunaikan haji ifrad tidak wajib hadyu (menyembelih kurban
TATA CARA UMRAH

Pertama: Ihram dari miqat.
Mandilah lalu usapkanlah minyak wangi ke bagian tubuhmu, misalnya ke rambut dan jenggot. Jangan mengusapkan minyak wangi ke pakaian ihram. Jika pakaian ihram terkena minyak wangi maka cucilah. Hindarilah pakaian yang berjahit. Kenakan selendang dan kain putih, juga sandal. (Payung, kaca mata, cincin dan sabuk boleh dikenakan oleh orang yang sedang ihram).
Adapun bagi wanita, maka ia mandi meskipun haid, lalu mengenakan pakaian yang ia kehendaki, tetapi harus memenuhi syarat hijab, sehingga tidak tampak sesuatu pun dari bagian tubuhnya. Juga tidak berhias dengan perhiasan dan tidak memakai minyak wangi serta tidak menyerupai laki-laki.
Jika Anda tidak mampu berhenti di miqat seperti yang melakukan perjalanan dengan pesawat terbang maka mandilah sejak di rumah, lalu jika telah mendekati miqat mulailah ihram dan ucapkanlah:

"Labbaika 'Umratan" artinya :
"Aku penuhi panggilanMu untuk menunaikan ibadah umrah."
Jika Anda khawatir tidak bisa menyempurnakan ibadah haji karena sakit atau lainnya maka ucapkan:

"Fa in habasanii haabisun famahallii haitsu habastanii" artinya :
"Jika aku terhalang oleh suatu halangan maka tempat (tahallul)ku adalah di mana Engkau menahanku."
Lalu mulailah mengucapkan talbiyah hingga sampai ke Makkah. Talbiyah hukumnya sunnah mu'akkadah (ditekankan), baik untuk laki-laki maupun wanita. Bagi laki-laki disunnahkan untuk mengeraskan suara talbiyah, dan tidak bagi wanita. Talbiyah yang dimaksud adalah ucapan:

"Labbaika Allahumma labbaika, Labbaika Laa Syariika laka labbaika, innal hamda wanni'mata laka wal mulka, laa syariika laka"
"Aku penuhi panggilanMu ya Allah, aku penuhi panggilanMu. Aku penuhi panggilanMu, tidak ada sekutu bagiMu, aku penuhi panggilanMu. Sesungguh-nya segala pujian dan nikmat serta kerajaan adalah milikMu, tidak ada sekutu bagiMu."
Disunnahkan mandi sebelum masuk Makkah, jika hal itu memungkinkan.
Peringatan:
1.Sebagian orang mempercayai bahwa pakaian yang dikenakan wanita haruslah berwarna tertentu, misalnya hijau, hitam atau putih. Ini adalah tidak benar! Sungguh tidak ada ketentuan sedikit pun tentang warna pakaian yang harus dikenakan.
2.Talbiyah yang dilakukan secara bersama-sama dengan satu suara -di mana hal ini dilakukan oleh sebagian jamaah haji adalah bid'ah. Perbuatan tersebut tidak ada contohnya dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, juga tidak dari salah seorang sahabatnya. Yang benar adalah hendaknya setiap Haji mengucapkan talbiyah sendiri-sendiri.
3.Tidak diharuskan seorang yang sedang ihram, baik laki-laki maupun wanita mengenakan terus pakaian yang ia kenakan ketika ihram sepanjang ibadahnya, tetapi dibolehkan ia menggantinya kapan dia suka.
4.Hendaknya setiap Haji benar-benar memper-hatikan masalah menutup aurat, sebab sebagian laki-laki terkadang auratnya terbuka di depan orang lain, misalnya ketika duduk atau tidur, sedang dia tidak merasa.
5.Sebagian wanita mempercayai dibolehkannya membuka wajah di depan laki-laki selama masih dalam keadaan ihram. Ini adalah keliru! Ia wajib menutupi wajahnya. Di antara dalil masalah ini adalah ucapan Aisyah radhiallahu anha:

"Dahulu ada kafilah yang melewati kami, sedang kami dalam keadaan ihram bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika mereka telah dekat dengan kami, salah seorang dari kami mengulurkan jilbabnya ke wajahnya, dan ketika mereka telah lewat, kami membukanya kembali." (HR. Ahmad dan Abu Daud dengan sanad hasan).
Dan dari Asma' binti Abi Bakar radhiallahu anha, ia berkata:

"Kami menutupi wajah kami dari (penglihatan) laki-laki dan sebelumnya kami menyisir rambut ketika ihram." (Dikeluarkan Al-Hakim dan lainnya, atsar ini shahih).
Kedua: Jika Anda telah sampai di Masjidil Haram, dahulukanlah kaki kananmu dan ucapkan (do'a):

'Dengan nama Allah, semoga shalawat dan salam dicurahkan kepada Rasulullah. Ya Allah, bukakanlah untukku pintu-pintu rahmatMu'. 'Aku berlindung kepada Allah Yang Mahaagung dan dengan WajahNya Yang Mahamulia serta KekuasaanNya Yang Mahaazali dari setan yang terkutuk'." Do'a ini juga diucapkan ketika memasuki masjid-masjid yang lain.
Ketiga: Lalu mulailah melakukan thawaf dari hajar aswad (dan atau dari tempat yang searah dengannya, pen.), kemudian menghadaplah kepadanya dan ucap-kan, 'Allahu Akbar' (Allah Mahabesar), lalu usaplah hajar aswad itu dengan tangan kananmu kemudian ciumlah. Jika Anda tidak mampu menciumnya maka usaplah hajar aswad itu dengan tanganmu atau dengan lainnya, lalu ciumlah sesuatu yang dengannya Anda mengusap hajar aswad. Jika Anda tidak mampu melaku-kannya, maka jangan mendesak orang-orang (untuk mencapainya), tetapi berilah isyarat kepada hajar aswad dengan tanganmu sekali isyarat (dan jangan Anda cium tanganmu). Lakukan hal itu dalam memulai setiap putaran thawaf.
Berthawaflah tujuh kali putaran dengan menjadi-kan Ka'bah di sebelah kirimu. Lakukan raml (jalan cepat dengan memendekkan langkah) pada tiga putaran pertama dan berjalanlah (biasa) pada putaran berikut-nya. Dalam semua putaran thawaf tersebut lakukanlah idhthiba' (meletakkan pertengahan kain selendang di bawah pundak kanan, dan kedua ujungnya di atas pundak kiri). Raml dan idhthiba' tersebut khusus bagi laki-laki dan hanya dilakukan pada thawaf yang pertama. Atau thawaf umrah bagi orang yang menger-jakan haji tamattu' dan thawaf qudum bagi orang yang melakukan haji qiran dan ifrad.
Jika Anda telah sampai ke Rukun Yamani maka usaplah dengan tanganmu jika hal itu memungkinkan-, tetapi jangan menciumnya. Jika tidak bisa mengusapnya maka jangan memberi isyarat kepadanya. Dan disunnahkan ketika Anda berada di antara Rukun Yamani dan hajar aswad membaca do'a:

"Wahai Rabb kami, berikanlah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan jagalah kami dari siksa api Neraka."
Dalam thawaf, tidak ada do'a-do'a khusus dari tuntunan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam selain do'a di atas, tetapi memang disunnahkan memperbanyak dzikir dan do'a ketika thawaf (do'a apa saja yang dikehendaki, pen.). Jika Anda membaca ayat-ayat Al-Qur'an ketika thawaf, maka itu adalah baik.
Peringatan:
1.Bersuci adalah syarat sahnya thawaf. Jika wudhu Anda batal di tengah-tengah melakukan thawaf, maka keluar dan berwudhulah, lalu ulangilah thawaf Anda dari awal.
2.Jika di tengah-tengah Anda melakukan thawaf didirikan shalat, atau Anda mengikuti shalat jenazah, maka shalatlah bersama mereka lalu sempurnakanlah thawaf Anda dari tempat mana Anda berhenti. Jangan lupa menutupi kedua pundak Anda, sebab menutupi keduanya dalam shalat adalah wajib.
3.Jika Anda perlu duduk sebentar, atau minum air atau berpindah dari lantai bawah ke lantai atas atau sebaliknya di tengah-tengah thawaf, maka hal itu tidak mengapa.
4.Jika Anda ragu-ragu tentang bilangan putaran, maka pakailah bilangan yang Anda yakini; yaitu yang lebih sedikit. Jika Anda ragu-ragu apakah Anda telah melakukan thawaf tiga atau empat kali maka tetapkan-lah tiga kali, tetapi jika Anda lebih mengira bilangan tertentu maka tetapkanlah bilangan tersebut.
Sebagian Haji melakukan idhthiba' sejak awal me-makai pakaian ihram dan tetap seperti itu dalam seluruh manasik haji. Ini adalah keliru. Yang disyari'atkan adalah hendaknya ia menutupi kedua pundaknya, dan tidak melakukan idhthiba' kecuali ketika thawaf yang pertama, sebagaimana telah disinggung di muka.
Keempat: Jika Anda selesai dari putaran ketujuh, saat mendekati hajar aswad, tutuplah pundakmu yang kanan, kemudian pergilah menuju maqam Ibrahim, jika hal itu memungkinkan, lalu ucapkanlah firman Allah:
"Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat shalat." (Al-Baqarah: 125).
Jadikanlah posisi maqam itu antara dirimu dengan Ka'bah, jika memungkinkan, lalu shalatlah dua rakaat. Pada raka'at pertama Anda membaca, setelah Al-Fatihah- surat Al-Kafirun dan pada raka'at kedua surat Al-Ikhlash .
Peringatan:
Shalat dua raka'at thawaf hukumnya sunnah dikerjakan di belakang maqam Ibrahim, tetapi melaku-kannya di tempat mana saja dari Masjidil Haram juga dibolehkan.
Termasuk kesalahan yang dilakukan oleh sebagian jamaah haji adalah shalat di belakang maqam Ibrahim pada saat orang penuh sesak, sehingga dengan demikian menyakiti orang lain yang sedang thawaf. Yang benar, hendaknya ia mundur ke belakang sehingga jauh dari orang-orang yang thawaf, dan hendaknya ia menjadikan posisi maqam Ibrahim antara dirinya dengan Ka'bah, atau bahkan boleh melakukan shalat di mana saja di Masjidil Haram.
Kelima: Selanjutnya pergilah ke zam-zam dan minumlah airnya. Lalu berdo'alah kepada Allah dan tuangkan air zam-zam di atas kepalamu. Jika memung-kinkan, pergilah ke hajar aswad dan usaplah.
Keenam: Lalu pergilah menuju Shafa, dan ketika telah dekat bacalah firman Allah Ta'ala:
"Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syi'ar Allah." (Al-Baqarah: 158).Kemudian ucapkanlah:

"Kami memulai dengan apa yang dengannya Allah memulai."
Kemudian naiklah ke (bukit) Shafa dan menghadaplah ke Ka'bah lalu bertakbirlah tiga kali dan ucapkan:

"Tiada sesembahan yang haq melainkan Allah semata, tiada sekutu bagiNya, hanya bagiNya segala kerajaan dan hanya bagiNya segala puji dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Tiada sesembahan yang haq melainkan Dia, tiada sekutu bagiNya, yang menepati janjiNya, yang memenangkan hambaNya dan yang menghancurkan golongan-golongan (kafir) dengan tanpa dibantu siapa pun."
Ulangilah dzikir tersebut sebanyak tiga kali dan berdo'alah pada tiap-tiap selesai membacanya dengan do'a-do'a yang Anda kehendaki.
Ketujuh: Kemudian turunlah untuk melakukan sa'i antara Shafa dan Marwah. Bila Anda berada di antara dua tanda hijau, lakukanlah sa'i dengan berlari kecil (khusus untuk laki-laki dan tidak bagi wanita). Jika Anda telah sampai di Marwah, naiklah ke atasnya dan menghadaplah ke Ka'bah, kemudian ucapkan sebagaimana yang Anda ucapkan di Shafa. Demikian hendaknya yang Anda lakukan pada putaran berikut-nya. Pergi (dari Shafa ke Marwah) dihitung satu kali putaran dan kembali (dari Marwah ke Shafa) juga dihitung satu kali putaran hingga sempurna menjadi tujuh kali putaran. Karena itu, putaran sa'i yang ke tujuh berakhir di Marwah. Tidak ada dzikir (do'a) khusus untuk sa'i, karena itu perbanyaklah dzikir dan do'a serta membaca Al-Qur'an.
Peringatan:
Ada dua bid'ah saat thawaf dan sa'i yang tersebar di sebagian orang:
1.Terpaku dengan do'a-do'a tertentu pada setiap putaran, sebagaimana ditemukan dalam buku-buku kecil.
2.Jama'ah haji berdo'a bersama-sama dengan di-komando oleh seorang pemimpin (rombongan) dengan koor (satu suara) dan keras.
Para Haji hendaknya mewaspadai kedua bid'ah di atas, sebab tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, juga tidak dari salah seorang sahabatnya .
Kedelapan: Jika selesai mengerjakan sa'i cukurlah rambut Anda (sampai bersih) atau pendekkanlah. Bagi orang yang menunaikan umrah, mencukur (gundul) rambut adalah lebih utama, kecuali jika waktu haji sudah dekat, maka memendekkan rambut lebih utama, sehing-ga mencukur (gundul) rambut dilakukan pada waktu haji. Dan tidak cukup memendekkan rambut hanya beberapa helai pada bagian depan kepala dan bela-kangnya sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian jama'ah Haji, tetapi hendaknya memendekkan tersebut dilakukan pada seluruh rambut atau pada sebagian besarnya. Adapun bagi wanita, maka hendaknya ia mengumpulkan rambutnya dan mengambil daripadanya kira-kira seujung jari. Jika rambutnya keriting (tidak sama panjang ujungnya) maka harus diambil dari tiap-tiap kepangan (genggaman).
Jika hal di atas telah Anda lakukan, berarti Anda telah menyelesaikan umrah. Dan segala puji adalah milik Allah semata.
Peringatan:
Termasuk kesalahan yang dilakukan oleh sebagian jama'ah Haji adalah mengulang-ulang umrah ketika sampai di Makkah. Yang demikian itu bukanlah tun-tunan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, juga bukan tuntunan para sahabatnya . Seandainya pun di dalamnya ada keutamaan, tentu mereka telah melakukannya mendahului kita.
HARI TARWIYAH
Hari tarwiyah adalah hari kedelapan dari bulan Dzul Hijjah. Disebut demikian karena pada hari itu orang-orang mengenyangkan diri dengan minum air untuk (persiapan ibadah) selanjutnya.
Pekerjaan-pekerjaan pada hari tarwiyah:
Disunnahkan bagi orang yang menunaikan haji tamattu' untuk melakukan ihram haji pada hari tersebut, yakni dari tempat di mana ia singgah. Maka, hendaknya ia mandi dan mengusapkan wewangian di tubuhnya, tidak mengenakan kain yang berjahit, dan ia ihram dengan selendang, kain dan sandal.
Adapun bagi wanita, maka hendaknya ia mandi dan menggunakan pakaian apa saja yang dikehendakinya dengan syarat tidak menampakkan perhiasannya, tidak memakai penutup muka, juga tidak memakai kaos tangan.
Selanjutnya Anda mengucapkan: (Aku penuhi panggilanMu untuk menunaikan ibadah haji). Jika ditakutkan ada halangan maka Anda disunnahkan memberi syarat dengan mengucapkan:

"Jika aku terhalang oleh suatu halangan maka tempat (tahallul)ku adalah di mana Engkau menahanku."
Selanjutnya ucapkanlah talbiyah:

"Aku penuhi panggilanMu ya Allah, aku penuhi panggilanMu, aku penuhi panggilanMu, tidak ada sekutu bagiMu, aku penuhi panggilanMu. Sesungguh-nya segala puji, kenikmatan dan kerajaan adalah milikMu, tidak ada sekutu bagiMu."

Demikian Anda terus mengumandangkan talbiyah dengan mengeraskan suara, sampai Anda melempar jumrah aqabah pada hari Nahar (kurban).
Pada malam ini Anda disunnahkan bermalam di Mina.
Dan di Mina, Anda disunnahkan menunaikan shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya' dan Shubuh pada hari Arafah, semuanya dilakukan dengan qashar, tanpa jama'.
Setiap Haji hendaknya memanfaatkan waktu-waktu luangnya untuk sesuatu yang bermanfaat. Seperti mendengarkan ceramah agama, membaca Al-Qur'an, membaca buku tentang manasik haji dsb.
HARI ARAFAH
Jika matahari terbit pada hari Arafah (hari kesembilan dari bulan Dzul Hijjah), maka setiap Haji berangkat dari Mina ke Arafah, seraya mengumandang-kan talbiyah atau takbir. Hal itu sebagaimana telah dilakukan oleh para sahabat , sedang mereka bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ; ada yang mengumandangkan talbiyah dan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengingkarinya, ada yang bertakbir dan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga tidak mengingkarinya.
Jika matahari telah tergelincir, maka ia shalat Zhuhur dan Ashar secara jama' qashar dengan satu adzan dan dua iqamat. Sebelum shalat, imam menyam-paikan khutbah yang materinya sesuai dengan keadaan (ibadah haji, pen.).
Setelah shalat, setiap Haji menyibukkan diri dengan dzikir, do'a dan merendahkan diri kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala. Sebaiknya berdo'a dengan mengangkat kedua tangan dan menghadap kiblat hingga terbenamnya matahari. Demikian seperti yang dilakukan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Karena itu, setiap Haji hendaknya tidak menyia-nyiakan kesempatan yang agung ini. Hendaknya ia mengulang-ulang serta memperbanyak do'a, juga hendaknya ia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sejujur-jujurnya.
Para Haji, di bawah ini beberapa nash yang menunjukkan keutamaan hari Arafah:
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Haji adalah Arafah." (HR. Ahmad dan para penulis kitab Sunan, shahih).
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Tidak ada hari yang ketika itu Allah lebih banyak membebaskan hamba dari (siksa) Neraka selain hari Arafah. Dan sungguh ia telah dekat, kemudian Allah membanggakan mereka di hadapan para malaikat, seraya berfirman, 'Apa yang mereka kehendaki?'" (HR. Muslim).
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Yang paling utama aku ucapkan, juga yang diucapkan oleh para nabi pada sore hari Arafah adalah, 'Tidak ada sesembahan yang haq melainkan Allah semata, tidak ada sekutu bagiNya, bagiNya kerajaan dan segala puji, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu'." (HR. Malik dan lainnya, shahih).
Peringatan:
1.Hendaknya setiap Haji yakin bahwa dirinya benar-benar berada di wilayah Arafah. Batasan-batasan Arafah itu dapat diketahui dengan spanduk-spanduk besar yang ada di sekeliling Arafah.
2.Masjid Namirah tidak semuanya berada di wilayah Arafah, tetapi sebagiannya berada di wilayah Arafah (bagian belakang masjid), dan sebagian lain berada di luar Arafah (bagian depan masjid).
3.Sebagian orang mengira jika jabal (bukit) Arafah (biasa disebut jabal Rahmah, pen.) memiliki keutamaan. Ini adalah tidak benar.
4.Sebagian Haji tergesa-gesa, sehingga keluar dari Arafah menuju Muzdalifah sebelum tenggelamnya matahari. Ini adalah salah. Yang wajib adalah tinggal di Arafah hingga tenggelamnya matahari.
BERMALAM DI MUZDALIFAH
Jika matahari telah tenggelam pada hari Arafah maka para Haji berduyun-duyun (meninggalkan) Arafah menuju Muzdalifah dengan tenang, diam dan tidak berdesak-desakan. Jika telah sampai Muzdalifah ia shalat Maghrib dan Isya' secara jama' qashar dengan satu adzan dan dua iqamat.
Diharamkan mengakhirkan shalat Isya' hingga lewat pertengahan malam, berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:

"Waktu Isya' adalah sampai pertengahan malam." (HR. Muslim).
Jika ia takut akan lewatnya waktu, hendaknya ia shalat Maghrib dan Isya' di tempat mana saja, meskipun di Arafah.
Lalu ia bermalam di Muzdalifah hingga terbit fajar. Kemudian ia shalat Shubuh di awal waktunya, lalu menuju Masy'aril Haram, yaitu bukit yang berada di Muzdalifah, jika hal itu memungkinkan baginya. Jika tidak, maka seluruh Muzdalifah adalah mauqif (tempat berhenti yang disyari'atkan). Di sana hendaknya ia menghadap kiblat dan memanjatkan pujian kepada Allah, bertakbir, mengesakan dan berdo'a kepadaNya. Jika pagi telah tampak sangat menguning, sebelum terbit matahari, para Haji berangkat menuju Mina dengan mengumandangkan talbiyah , demikian ia terus ber-talbiyah hingga sampai melempar jumrah aqabah.
Adapun bagi orang-orang yang lemah dan para wanita maka mereka dibolehkan langsung menuju Mina pada akhir malam. Hal itu berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu anhu, ia berkata:

"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengutusku ketika akhir waktu malam dari rombongan orang-orang (di Muzdalifah) dengan membawa perbekalan Nabiullah shallallahu 'alaihi wa sallam." (HR. Muslim).
Dan adalah Asma' binti Abi Bakar radhiyallahu anhuma berangkat dari Muzdalifah setelah tenggelamnya bulan. Sedangkan tenggelamnya bulan adalah terjadi kira-kira setelah berlalunya dua pertiga malam.
Peringatan:
1.Sebagian orang mempercayai bahwa batu-batu kerikil untuk melempar jumrah diambil dari sejak kedatangan mereka di Muzdalifah. Ini adalah kepercayaan yang salah dan tidak pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Batu-batu kerikil itu boleh diambil dari tempat mana saja.
2.Sebagian orang mengira bahwa pertengahan malam adalah pukul dua belas malam. Ini adalah keliru. Yang benar, pertengahan malam adalah separuh dari seluruh jam yang ada pada malam hari. Kalau dihitung secara matematika adalah sebagai berikut: (Keseluruhan jam yang ada pada malam hari : 2 + waktu tenggelamnya matahari = pertengahan malam ). Jika matahari tenggelam pada pukul enam sore misalnya, sedangkan terbitnya fajar pada pukul lima pagi maka pertengahan malamnya adalah pukul sebelas lebih tiga puluh menit. (Keseluruhan jam yang ada pada malam hari, yakni 11 jam : 2 + waktu tenggelamnya matahari, yakni pukul 6 = 11, 30 menit).
3.Di antara penyimpangan yang menyedihkan pada malam tersebut adalah bahwa sebagian Hujjaj mendirikan shalat Shubuh sebelum tiba waktunya, padahal shalat itu tidak sah jika dilakukan sebelum masuk waktunya.
4.Hendaknya setiap Haji meyakini benar bahwa ia berada di wilayah Muzdalifah. Hal itu bisa diketahui melalui spanduk-spanduk besar yang ada di sekeliling Muzdalifah.
HARI RAYA KURBAN
Beberapa amalan pada hari Raya Kurban adalah:
1.Melempar jumrah aqabah.
2.Menyembelih hadyu (bagi orang yang melakukan haji tamattu' dan qiran).
3.Mencukur (gundul) rambut kepala atau memendekkannya, tetapi mencukur (gundul) adalah lebih utama.
4.Thawaf ifadhah dan sa'i untuk haji.
Peringatan Penting:
a.Tertib di atas adalah sunnah, dan kalau tidak dikerjakan secara tertib juga tidak mengapa. Seperti orang yang mendahulukan thawaf daripada mencukur rambut, atau mendahulukan mencukur rambut dari-pada melempar jumrah, atau mendahulukan sa'i daripada thawaf, atau lainnya.
b.Melempar jumrah aqabah adalah dengan tujuh batu kerikil dengan secara berurutan. Ia mengangkat tangannya dan mengucapkan takbir setiap kali melempar batu kerikil. Disunnahkan ia menghadap ke jumrah dan menjadikan Makkah berada di sebelah kirinya dan Mina berada di sebelah kanannya.
c.Waktu melempar jumrah aqabah ba
i mereka yang kuat (fisiknya) adalah dimulai dari setelah terbitnya matahari. Hal itu berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu anhu ia berkata:

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mendahulukan kami anak-anak Bani Abdul Muththalib pada malam Muzdalifah dengan mengendarai keledai, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menepuk paha-paha kami seraya bersabda: "Wahai anak-anakku, jangan kalian melempar jumrah sehingga matahari terbit." (HR. Abu Daud , Shahih Sunan Abi Daud).
Adapun para wanita dan mereka yang lemah maka dibolehkan melempar sejak kedatangan mereka di Mina pada akhir malam. Hal itu berdasarkan hadits Asma' radhiyallahu anha, dari Abdullah pelayan Asma' dari Asma':

"Bahwasanya ia singgah pada malam perkumpulan di Muzdalifah, lalu ia berdiri menegakkan shalat, ia shalat sejenak kemudian bertanya, 'Wahai anakku, apakah bulan telah tenggelam?' 'Belum', jawabku. Ia lalu shalat sejenak kemudian bertanya, 'Apakah bulan telah tenggelam?' 'Sudah', jawabku. Ia berkata, 'Kalau begitu berangkatlah.' Maka kami berangkat dan pergi hingga ia melempar jumrah. Kemudian ia pulang dan shalat Shubuh di rumahnya. Maka kutanyakan padanya, 'Sungguh, kami tidak mengira kecuali bahwa kita telah melempar (jumrah) pada malam hari'. Ia menjawab, 'Wahai anakku, sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengizin-kannya untuk kaum wanita'." (Muttafaq Alaih).
d.Waktu melempar jumrah aqabah berlanjut hingga zawal(waktu tergelincirnya matahari dari pertengahan langit,dan itulah waktu permulaan shalat zhuhur). Dan dibolehkan melempar setelahzawalmeskipun meskipun di malam hari, jika menemui kesulitan untuk melemparnya sebelum zawal.
e.Jumrah aqabah, penampungan (batu kerikil)nya adalah separuh penampungan. Karena itu ia harus yakin bahwa batu-batu kerikilnya masuk ke dalam penampungan tsb., tetapi jika setelah itu tergelincir (keluar) maka tidak mengapa.
f.Disunnahkan untuk segera menyembelih hadyu, mencukur rambut, thawaf dan sa'i, tetapi jika diakhirkan hingga setelah hari Raya Kurban maka tidak mengapa.
g.Menyembelih hadyu adalah wajib bagi yang melakukan haji tamattu' dan qiran. Adapun yang melakukan haji ifrad maka tidak wajib menyembelih hadyu . Orang yang tidak bisa menyembelih hadyu diwajibkan puasa tiga hari pada waktu haji dan tujuh hari ketika mereka pulang kepada keluarganya.
Penyembelihan itu tidak harus dilakukan di Mina, tetapi boleh dilakukan di Makkah atau tanah suci lainnya (Madinah, pen.). Dibolehkan pula bagi tujuh orang untuk berserikat dalam satu ekor unta atau sapi. Disunnahkan untuk menyembelih sendiri dengan tangannya, tetapi jika diwakilkan kepada yang lain maka hal itu dibolehkan.
Disunnahkan pula untuk menelentangkan hadyu (sapi atau kambing) pada sisi kirinya dan menghadap-kannya ke kiblat, sedang telapak kaki (orang yang menyembelih) diletakkan di atas leher hewan tersebut. Adapun unta, maka disunnahkan ketika menyembelihnya dalam keadaan berdiri, tangan kirinya diikat serta dihadapkan ke kiblat.
Ketika menyembelih, disyaratkan menyebut nama Allah, dan disunnahkan untuk menambahkannya dengan bacaan:

"Dengan nama Allah, Allah Mahabesar, ya Allah, sesungguhnya ini adalah dariMu dan milikMu, ya Allah kabulkanlah (kurban) dari kami (ini)."
Waktu penyembelihan masih terus berlangsung hingga tenggelamnya matahari dari akhir hari tasyriq, yaitu tanggal 13 Dzul Hijjah.
Thawaf di Ka'bah adalah tujuh kali, sebagaimana thawaf ketika umrah, tetapi tidak dengan raml (jalan cepat) dan idhthiba' (menyelempangkan selen-dang). Lalu disunnahkan untuk melakukan shalat dua rakaat di belakang maqam Ibrahim, jika hal itu memungkinkan. Jika tidak, maka boleh melakukan shalat di tempat mana saja dari Masjidil Haram.
h.Sa'i antara Shafa dan Marwah adalah tujuh putaran, tata caranya sebagaimana yang ada pada sa'i untuk umrah. Adapun orang yang melakukan haji qiran dan ifrad maka cukup baginya sa'i yang pertama, jika mereka telah melakukan sa'i pada thawaf qudum.
i.Mencukur harus mengenai semua rambut. Adapun bagi wanita, maka ia cukup menghimpun semua rambutnya lalu memotong ujungnya kira-kira seujung jari. Jika ujung rambutnya tidak sama pan-jangnya maka bisa dipotong dari setiap kepangan (genggaman) rambut.
j.Jika seorang Haji telah melempar jumrah aqabah dan mencukur atau menggunting rambut maka ia telah tahallul awal. Artinya, boleh baginya melakukan segala sesuatu dari yang dilarang ketika ihram kecuali masalah wanita. Dan disunnahkan baginya untuk membersihkan diri dan memakai wangi-wangian sebelum thawaf.
Kemudian, jika ia telah melempar, mencukur atau menggunting rambut, thawaf dan sa'i berarti ia telah tahallul tsani , yang dengan demikian dihalalkan baginya segala sesuatu hingga masalah wanita (hubungan suami isteri).
HARI-HARI TASYRIQ
1.Wajib bermalam di Mina pada malam-malam hari tasyriq, yakni malam ke-11 dan ke-12 (bagi yang terburu-buru) serta malam ke-13 (bagi yang meng-akhirkan/tetap tinggal).
2.Wajib melempar jumrah pada hari-hari tasyriq, caranya adalah sebagai berikut:
Setiap Haji melempar ketiga jumrah (ula, wustha, aqabah) pada setiap hari dari hari-hari tasyriq setelah tergelincirnya matahari. Yakni dengan tujuh batu kerikil secara berurutan untuk masing-masing jumrah, dan hendaknya ia bertakbir setiap kali melempar. Dengan demikian jumlah batu kerikil yang wajib ia lemparkan setiap harinya adalah 21 batu kerikil. (Ukuran batu kerikil tersebut lebih besar sedikit dari biji kacang).
Jama'ah haji memulai dengan melempar jumrah ula, yakni jumrah yang letaknya dekat masjid Al-Khaif, kemudian hendaknya ia maju ke sebelah kanan seraya berdiri dengan menghadap kiblat. Di sana hendaknya ia berdiri lama untuk berdo'a dengan mengangkat tangan. Lalu ia melempar jumrah wustha , kemudian mencari posisi di sebelah kiri dan berdiri menghadap kiblat. Di sana hendaknya ia berdiri lama untuk berdo'a seraya mengangkat tangan. Selanjutnya ia melempar jumrah aqabah dengan menghadap kepadanya serta menjadikan kota Makkah berada di sebelah kirinya dan Mina di sebelah kanannya. Di sana ia tidak berhenti (untuk berdo'a). Demikianlah, hal yang sama hendaknya ia lakukan pada tanggal 12 dan 13 Dzul Hijjah.
Peringatan:
1.Adalah salah, membasuh batu-batu kerikil (sebelum melemparkannya), sebab yang demikian itu tidak ada keterangannya dari Nabi J, juga tidak dari para sahabatnya.
2.Yang menjadi ukuran (benarnya lemparan) adalah jatuhnya batu kerikil ke dalam penampungan, dan bukan melempar tiang yang ada di tengah-tengah penampungan (batu kerikil).
3.Waktu melempar jumrah adalah dimulai dari sejak tergelincirnya matahari hingga terbenamnya, tetapi tidak mengapa melemparnya hingga malam hari, jika hal itu memang diperlukan. Hal itu berdasar-kan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam :

"Penggembala melempar (jumrah) pada malam hari dan menggembala (ternaknya) di siang hari." (Hadits hasan, As-Silsilah Ash-Shahihah, 2477).
4.Tidak boleh mewakilkan dalam melempar jumrah kecuali ketika dalam keadaan lemah (tak mampu) atau takut akan bahaya karena telah lanjut usia, sakit, masih kecil atau sejenisnya. Dan ketika mewakili, hendaknya ia melempar jumrah ula sebanyak tujuh kali untuk dirinya sendiri terlebih dahulu, lalu melemparkan untuk orang yang diwakilinya. Demikian pula hendaknya yang ia lakukan dalam jumrah wustha dan aqabah (jika mewakili orang lain).
Adapun sebagian orang pada saat ini yang dengan mudahnya mewakilkan melempar jumrah adalah hal keliru. Orang yang takut berdesak-desakan dengan laki-laki dan perempuan maka hendaknya ia pergi melempar pada saat-saat yang sepi, misalnya ketika malam hari.
5.Hendaknya melempar ketiga jumrah tersebut secara tertib, yakni shughra kemudian wustha lalu aqabah.
6.Sungguh keliru orang yang mencaci dan men-cerca ketika melempar jumrah, atau melempar dengan sepatu, payung dan batu besar, serta kepercayaan sebagian orang bahwa setan diikat pada tiang yang ada di tengah penampungan batu kerikil.
7.Bermalam yang wajib dilakukan di Mina adalah dengan tinggal di sana pada sebagian besar waktu malam. Misalnya, jika seluruh waktu malam adalah sebelas jam maka ia wajib tinggal di Mina lebih dari lima jam 30 menit.
8.Diperbolehkan bagi orang yang tergesa-gesa untuk meninggalkan Mina pada tanggal 12 Dzul Hijjah, yakni setelah melempar jumrah dan hendaknya ia keluar dari Mina sebelum tenggelamnya matahari. Jika matahari telah tenggelam dan ia masih berada di Mina maka ia wajib bermalam dan melempar lagi keesokan harinya, kecuali jika ia telah bersiap-siap meninggalkan Mina lalu matahari tenggelam karena jalan macet atau sejenisnya maka ia dibolehkan tetap pergi dan hal itu tidak mengapa baginya.
TANGGAL 12 DZUL HIJJAH
1.Jika Anda telah selesai melempar jumrah pada tanggal 12 Dzul Hijjah, lalu Anda ingin bersegera maka Anda dibolehkan keluar dari Mina sebelum matahari tenggelam, tetapi jika Anda ingin tetap tinggal maka hal itu lebih utama. Bermalamlah (sehari lagi) di Mina pada tanggal 13 Dzul Hijjah, dan lemparlah ketiga jumrah (ula, wustha, aqabah ) setelah tergelincir-nya matahari dan sebelum matahari tenggelam, sebab hari-hari tasyriq berakhir dengan tenggelamnya matahari.
2.Jika matahari telah tenggelam pada tanggal 12 Dzul Hijjah (hari kedua dari hari-hari tasyriq) dan Anda masih berada di Mina maka Anda wajib bermalam kembali di Mina pada malam itu kemudian melempar jumrah keesokan harinya, kecuali jika Anda telah bersiap-siap berangkat, tetapi jalan macet misalnya sehingga matahari tenggelam maka Anda dibolehkan keluar dari Mina dan hal itu tidak mengapa bagi Anda.
3.Ketika Anda hendak meninggalkan Makkah, Anda wajib melakukan thawaf wada' sebanyak tujuh kali putaran, setelahnya Anda disunnahkan shalat dua rakaat di belakang maqam Ibrahim.
4.Perempuan yang sedang haid atau nifas tidak diwajibkan melakukan thawaf wada'.
Dengan demikian selesailah pekerjaan-pekerjaan haji.
RINGKASAN RUKUN, WAJIB UMRAH DAN HAJI
Rukun umrah:
1.Ihram (niat masuk atau memulai untuk beribadah).
2.Thawaf.
3.Sa'i.
Wajib umrah:
1.Ihram dari miqat.
2.Mencukur (gundul) rambut atau memendekkannya.
Rukun haji:
1.Ihram.
2.Wukuf di Arafah.
3.Thawaf ifadhah.
4.Sa'i.
Wajib haji:
1.Ihram dari miqat.
2.Wukuf di Arafah hingga tenggelamnya matahari bagi yang wukuf di siang hari.
3.Bermalam di Muzdalifah.
4.Bermalam pada malam-malam tasyriq di Mina.
5.Melempar jumrah (jumrah aqabah pada waktu hari Raya Kurban, dan jumrah ula, wustha serta aqabah pada hari-hari tasyriq secara tertib).
6.Mencukur (gundul) rambut atau memendekkannya.
7.Menyembelih hadyu (bagi yang melakukan haji tamattu' dan qiran, tidak bagi yang melakukan haji ifrad).
8.Thawaf wada'.
Peringatan:
Di muka telah disebutkan bahwa di antara wajib umrah dan haji adalah ihram dari miqat . Ketentuan ini adalah bagi mereka yang datang dari wilayah yang berada di belakang miqat. Adapun bagi yang datang dari sebelumnya maka ia berihram dari tempatnya, bahkan hingga penduduk Makkah, mereka berihram dari Makkah, kecuali dalam umrah. Orang yang berada di Makkah dan hendak melakukan umrah maka ia keluar dari Makkah (tanah haram) kemudian berihram dari tempat tersebut.
PERTANYAAN-PERTANYAAN PENTING
YANG BANYAK DITANYAKAN ORANG
1.Apa hukum orang yang memakai wangi-wangian atau menutup kepalanya atau mengenakan pakaian berjahit atau mencabut rambutnya karena lupa atau tidak mengerti (hukumnya) sedang dia dalam keadaan ihram?

Barangsiapa melakukan suatu larangan dari larangan-larangan ihram karena lupa atau tidak mengerti (hukumnya) maka ia tidak diwajibkan apa-apa karenanya. Hal itu berdasarkan firman Allah:
"Wahai Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah", Ibnu Abbas berkata, 'Ketika ayat ini turun, Allah berfirman, 'Aku telah melakukannya'." (HR. Muslim, no. 126).

2.Apakah cukup dalam memendekkan (rambut), baik dalam haji maupun umrah dengan memendekkan bagian depan atau belakang kepala?

Yang demikian itu tidak cukup. Ia wajib mencukur atau memendekkan rambut kepala secara menyeluruh. Hal itu berdasarkan firman Allah:
"Dengan mencukur rambut kepala dan menggun-ting (memendekkannya)." (Al-Fath: 27).

3.Bagaimana tata cara shalat jenazah?

Tata cara shalat jenazah secara ringkas adalah bertakbir empat kali sedang ia dalam keadaan berdiri kemudian salam.
Pada takbir pertama ia mengangkat kedua tangan-nya kemudian membaca Al-Fatihah, kemudian pada takbir kedua ia membaca shalawat atas Nabi n, dan pada takbir ketiga ia mendo'akan jenazah agar diampuni dan diberi rahmat, jika ia berdo'a dengan apa yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam maka hal itu lebih baik, lalu ia bertakbir untuk keempat kalinya dan mengucapkan salam ke sebelah kanannya.

4.Bolehkah berlalu di hadapan orang yang sedang shalat di Masjidil Haram?

Tidak diperbolehkan berlalu di hadapan orang yang sedang shalat, jika ia menjadi imam atau shalat sendirian. Adapun jika sebagai makmum, maka dibo-lehkan berlalu di hadapan mereka atau di antara shaf-shaf.

Hendaknya orang yang akan shalat menghindari tempat-tempat berlalunya orang-orang di Masjidil Haram. Seyogyanya pula ia meletakkan pembatas di depan tempat shalatnya yang dekat dengannya, misalnya dinding, tiang, rak mushaf dan sejenisnya. Dengan demikian tidak berbahaya (berdosa) orang yang berlalu di belakang pembatasnya.

Tidak ada bedanya antara Masjidil Haram dengan masjid-masjid lainnya dalam hal tersebut. Adapun hadits tentang "Berlalunya Para Sahabat Di Hadapan Nabi Saw Padahal Tidak Ada Pembatas Antara Beliau Dengan Ka'bah" maka sanad hadits ini adalah dha'if .(Lihat Fathul Bari, 1/687).