Selasa, 03 Februari 2009

INTI AJARAN ISLAM

Inti Ajaran Islam
Oleh: Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

MUQADDIMAH
Ini adalah buku kecil dan singkat yang akan menerangkan sebagian apa yang harus diketahui oleh kaum muslimin secara umum tentang agama Islam. Saya memberinya judul: "Ad-Durusul Muhimmah li Ammatil Ummah" (Pelajaran-pelajaran Penting Untuk Masyarakat Umum). Saya memohon, semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala akan memberikan manfaat dengan buku ini kepada kaum muslimin serta menerima karya ini (sebagai amal kebaikan) dari saya. Sesungguhnya Dialah yang Maha Pemurah dan Maha Mulia.
PELAJARAN KE-1 :
RUKUN ISLAM
Rukun Islam itu ada lima. Yang pertama dan yang paling besar adalah: Syahadah (persaksian) bahwa tidak ada sesembahan yang haq selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah.
Penjelasan makna dan syarat "Laa Ilaaha Illallah" ( ). " " artinya kita menafikan segala apa yang disembah selain Allah Subhanahu wa Ta'ala, " " artinya kita menetapkan bahwa ibadah itu hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala semata-mata, tidak ada sekutu bagiNya.
Syarat " " adalah; adanya:
1.Ilmu yang menafikan kebodohan (tentang Allah Subhanahu wa Ta'ala).
2.Keyakinan yang menafikan keraguan.
3.Ikhlas (murni dalam beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala) yang menafikan syirik.
4.Kejujuran yang menafikan dusta.
5.Cinta yang menafikan kebencian.
6.Ketundukan yang menafikan pelanggaran (meninggalkan perintah).
7.Menerima tanpa ada penolakan.
8.Mengingkari semua apa yang disembah selain Allah Subhanahu wa Ta'ala.
9.Syarat-syarat di atas telah terangkum dalam dua bait berikut:
"Ilmu, keyakinan, keikhlasan dan kejujuran disertai cinta, tunduk dan menerimanya Ditambah lagi yang kedelapan, yaitu, pengingkaranmu terhadap segala sesuatu yang dipertuhankan selain Allah."
Adapun syahadah/persaksian bahwa Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam adalah utusan Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka konsekwensinya adalah: Membenarkan apa yang dikabarkan oleh beliau, mentaati perintah beliau, meninggalkan apa yang dilarang oleh beliau dan hendaklah dia tidak menyembah Allah Subhanahu wa Ta'ala kecuali dengan cara yang disyariatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala sendiri dan RasulNya.
Kemudian, rukun Islam selanjutnya adalah: Shalat, Zakat, Puasa Ramadhan, Haji ke Baitullah Al-Haram bagi yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. q
PELAJARAN KE-2 :
RUKUN-RUKUN IMAN
Rukun-rukun Iman ada enam: beriman kepada Allah Subha-nahu wa Ta'ala, Malaikat-malaikatNya, Kitab-kitabNya, para Rasul-Nya dan beriman kepada Hari Akhir serta Taqdir yang baik dan yang buruk dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. q
PELAJARAN KE-3 :
PEMBAGIAN TAUHID & SYIRIK
Tauhid dibagi menjadi tiga :
1.Tauhid Rububiyah.
2.Tauhid Uluhiyah.
3.Tauhid Asma' wa Shifat.
Tauhid Rububiyah ialah mengimani bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah pencipta segala sesuatu dan mengurus kese-muanya dan tidak ada sekutu bagiNya dalam hal tersebut.
Adapun Tauhid Uluhiyah ialah mengimani bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala Dialah yang berhak untuk disembah dengan haq, tidak ada sekutu bagiNya dalam hal tersebut. Inilah makna
", artinya tidak ada yang pantas disembah dengan haq kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala. Maka, segala bentuk ibadah seperti shalat, puasa dan yang lainnya, wajib dilaksanakan hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala semata. Tidak boleh ada satu bentuk ibadah pun yang ditujukan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Selanjutnya, Tauhid Asma' wa Shifat ialah mengimani semua apa yang disebutkan dalam Al-Qur'anul Karim dan Hadits-hadits shahih tentang nama-nama Allah Subhanahu wa Ta'ala dan sifat-sifatNya. Lalu menetapkan itu semua untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala tanpa 'tahrif' (mengubah), tanpa ta'thil (meniadakan), takyif (menanyakan bagaimana caranya), dan tanpa tamstil (penye-rupaan), sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
"Katakan, Dialah Allah Yang Mahaesa. Allah tempat bergan-tung. Tidak melahirkan dan tidak dilahirkan. Dan tidak ada yang sebanding denganNya seorang pun." (Al-Ikhlas: 1-4).
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
"Tidak ada yang seperti Dia sesuatu pun dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (Asy-Syura: 11).
Tapi ada sebagian ulama yang membagi tauhid menjadi dua bagian saja dengan menggabungkan Tauhid Asma' wa Shifat pada Tauhid Rububiyah. Dan tidak ada masalah dalam hal ini, karena yang dimaksud oleh dua macam pembagian ini sudah jelas.
PEMBAGIAN SYIRIK
Syirik dibagi menjadi tiga bagian:
1.Syirik Akbar (Besar).
2.Syirik Ashghar (Kecil).
3.Syirik Khofi (Samar).
SYIRIK AKBAR (BESAR)
Syirik akbar akan menghapuskan pahala amal dan akan me-ngekalkan pelakunya di dalam Neraka. Seperti yang difirmankan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala:
"Dan kalau mereka melakukan syirik (menyekutukan Allah dengan sesuatu), pasti akan gugur dari mereka (pahala) apa yang mereka lakukan." (An-An'am: 88).
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan masjid-masjid Allah, sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya, dan mereka kekal di dalam Neraka." (At-Taubah: 17).
Dan barangsiapa yang mati dalam keadaan melakukan syirik akbar, maka dia tidak akan diampuni, dan Surga diharamkan baginya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya." (An-Nisa': 48).
Di dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman:
"Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya Surga, dan tempatnya ialah Neraka, dan tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolong pun." (Al-Maidah: 72).
Yang termasuk syirik akbar, di antaranya adalah berdo'a (meminta) kepada orang mati dan patung (berhala), mohon perlindungan kepada mereka, juga bernadzar dan berkorban (menyembelih binatang) untuk mereka dan lain sebagainya.
SYIRIK ASHGHAR (KECIL)
Syirik kecil ialah beberapa tindakan yang sudah jelas disebut-kan dalam nash-nash Al-Qur'an dan Sunnah sebagai syirik, tetapi tidak termasuk jenis syirik besar. Contohnya adalah riya' (ingin dilihat orang) dalam beramal, bersumpah tidak dengan nama Allah dan mengatakan " " (Sesuatu yang dikehen-daki oleh Allah dan dikehendaki oleh fulan) dan lain sebagainya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Sesuatu yang paling aku takuti terhadap kalian adalah syirik kecil. Lalu beliau ditanya syirik kecil itu. Beliau men-jawab: riya'." (HR. Imam Ahmad, Ath-Thabrany, Al-Baihaqi dari Mahmud bin Labid Al-Anshari radhiallahu 'anhu dengan sebuah sanad yang baik, dan diriwayatkan oleh Ath-Thabrany --dengan beberapa sanad yang baik dari Mahmud bin Labid-- dari Rafi' bin Khudaij dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam).
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:
"Barangsiapa yang bersumpah dengan sesuatu -selain Allah- maka dia telah menyekutukan (Allah)." (HR. Ahmad dengan sanad yang shahih).
Hadits Umar bin Khaththab radhiallahu 'anhu dan diriwayatkan pula oleh Abu Daud dan At-Tirmidzi dengan sanad yang shahih dan hadits Ibnu Umar radhiallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwasanya beliau bersabda:
"Barangsiapa yang bersumpah dengan (menyebut nama) selain Allah, maka dia telah kafir atau syirik."
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Janganlah kalian mengatakan: ('Atas kehendak Allah dan kehendak si fulan'), tapi katakanlah: ('Atas kehendak Allah kemudian atas kehendak si fulan')." (HR. Abu Daud dengan sanad yang shahih dari Hudzaifah bin Al-Yaman radhi-allahu 'anhu).
Syirik kecil ini tidak menyebabkan seseorang keluar dari Islam serta tidak memastikan kekalnya seseorang di dalam Neraka, tetapi menghilangkan kesempurnaan tauhid yang semestinya.
Syirik KHOFI (Samar)
Syirik khofi ini didasarkan pada sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, yang mana beliau bertanya kepada para sahabat:
"Bagaimana sekiranya aku beritahu kalian tentang sesuatu yang lebih aku takuti (terjadi) pada kalian daripada Al-Masih Ad-Dajjal? Mereka menjawab: Ya, wahai Rasulullah! Rasulullah bersabda: "Syirik yang samar (contohnya), sese-orang berdiri lalu dia melakukan shalat maka dia perbagus shalatnya karena dia melihat ada orang lain yang memperhati-kan kepadanya." (HR. Imam Ahmad dalam Musnadnya dari Abi Said Al-Khudri radhiallahu 'anhu).
Bisa juga syirik itu dibagi menjadi dua bagian saja. Syirik besar dan syirik kecil. Adapun syirik khofi, bisa masuk dalam dua jenis syirik tadi. Bisa terjadi pada syirik besar, seperti syiriknya orang-orang munafik. Karena mereka itu menyembunyikan keyakinan sesat mereka dan berpura-pura masuk Islam dengan dasar riya' dan khawatir akan keselamatan diri mereka. Bisa juga terjadi pada syirik kecil seperti yang disebutkan dalam hadits Mahmud bin Labid Al-Anshari yang terdahulu dan hadits Abu Said yang tersebut di atas. q
PELAJARAN KE-4 :
RUKUN IHSAN
Ihsan adalah kamu menyembah Allah Subhanahu wa Ta'ala seolah-olah kamu melihatNya. Bila kamu tidak dapat melihatNya, maka sesungguhnya Dia dapat melihatmu. q
PELAJARAN KE-5 :
SURAT AL-FATIHAH DAN SURAT-SURAT PENDEK
Hendaklah kita mengajarkan surat Al-Fatihah dan surat-surat pendek lainnya yang memungkinkan, seperti dari surat Az-Zalzalah sampai dengan surat An-Nas, diajarkan secara langsung, diperbagus cara bacaannya, disuruh menghafalkan dan dijelaskan hal-hal penting yang harus difahami.
PELAJARAN KE-6 :
SYARAT-SYARAT SHALAT
Syarat-syarat shalat ada 9 (sembilan) :
1.Islam.
2.Berakal.
3.Bisa membedakan (tamyiz).
4.Suci dari hadats.
5.Menghilangkan najis.
6.Menutup aurat.
7.Masuk waktu shalat.
8.Menghadap kiblat
9.Berniat.
PELAJARAN KE-7 :
RUKUN-RUKUN SHALAT
1.Berdiri bila mampu.
2.Takbiratul ihram (membaca Allahu Akbar).
3.Membaca surat Al-Fatihah.
4.Ruku'.
5.Bersujud dengan tujuh anggota (badan).(1)
6.Bangun dari sujud.
7.Duduk di antara dua sujud.
8.Thuma'ninah (tenang) dalam setiap gerakan shalat.
9.Tertib atau berurutan dalam melakukan rukun-rukun di atas.
10.Tasyahhud akhir (membaca At-Tahiyat).
11.Duduk ketika tasyahhud akhir.
12.Membaca shalawat untuk Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
13.Mengucapkan dua salam.
PELAJARAN KE-8 :
WAJIB-WAJIB SHALAT
Wajib-wajib shalat ada 8 :
1.Semua takbir dalam shalat selain takbiratul ihram.
2.Membaca: ("Allah Maha Mendengar hamba yang memujiNya.") bagi imam dan orang yang shalat sendirian (munfarid).
3.Membaca: ("Wahai Rabb kami, bagiMu segala puji.") bagi setiap orang yang shalat (imam, makmum atau munfarid).
4.Membaca: ("Mahasuci Rabbku Yang Mahatinggi.") di saat ruku'.
5.Membaca: ("Mahasuci Rabbku Yang Mahatinggi.") di saat sujud.
6.Membaca: ("Ya Rabb, ampunilah aku.") di saat duduk di antara dua sujud.
7.Tasyahhud pertama.
8.Duduk ketika tasyahhud pertama.
PELAJARAN KE-9 :
KETERANGAN TENTANG TASYAHHUD
Bertasyahhud ialah membaca:
"Segala pengagungan, pengharapan dan kebaikan adalah milik Allah. Semoga keselamatan atasmu wahai Nabi, juga anugerah dan berkahNya. Semoga keselamatan atas kami dan atas segenap hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesem-bahan yang haq selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya."
Kemudian membaca shalawat dan permohonan berkah untuk Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dengan membaca:
"Ya Allah, anugerahkanlah shalawat atas Muhammad dan ke-luarganya, sebagaimana Engkau telah menganugerahkan shalawat kepada Ibrahim dan keluarganya, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahamulia. Ya Allah, berkahilah Muhammad beserta keluarganya sebagaimana Engkau telah memberkahi Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Mahamulia."
Kemudian dilanjutkan --untuk tasyahhud terakhir-- dengan memohon perlindungan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dari siksa Neraka Jahannam, siksa kubur, ujian kehidupan dan kemati-an dan dari godaan Dajjal. Setelah itu, boleh membaca do'a apa saja yang dia inginkan, diutamakan do'a-do'a yang ma'tsur (ada contohnya dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam), misalnya:
"Ya Allah, bantulah aku untuk selalu mengingatMu, bersyukur kepadaMu, dan beribadah sebaik-baiknya kepadaMu. Ya Allah, sesungguhnya aku telah banyak menganiaya diriku dan tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau, maka ampunilah aku dengan maghfirah dariMu dan rahmatilah aku, sesungguhnya Engkaulah yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih." q
PELAJARAN KE-10 :
SUNNAH-SUNNAH SHALAT
Di antaranya ialah:
1.Membaca do'a istiftah.
2.Meletakkan telapak tangan kanan di atas telapak tangan kiri di atas dada ketika berdiri sebelum ruku' dan setelah ruku' (i'tidal).
3.Mengangkat kedua tangan dengan jari-jari lurus dan dirapatkan sejajar dengan pundak atau telinga, saat takbiratul ihram (takbir pertama), ruku', bangun dari ruku' dan ketika berdiri dari tasyahhud awal menuju ke rakaat ketiga.
4.Membaca tasbih saat ruku' dan sujud lebih dari satu kali (yang sunnah adalah yang kedua dan selanjutnya).
5.Kelanjutan dari bacaan: " " setelah bangun dari ruku' dan membaca do'a istighfar lebih dari satu kali ketika duduk di antara dua sujud.
6.Memposisikan kepala sejajar dengan punggung ketika ruku'.
7.Menjauhkan dua lengan dari dua sisi badannya, menjauhkan perut dari dua paha dan menjauhkan dua paha dari dua betis-nya di saat bersujud.
8.Mengangkat dua lengan dari tanah di saat sujud.
9.Duduk di atas kaki kiri dan menegakkan kaki kanan (duduk iftirasy) di saat tasyahhud pertama dan ketika duduk di antara dua sujud.
10.Duduk tawarruk di saat tasyahhud terakhir dalam shalat yang empat rakaat atau tiga rakaat. Duduk tawarruk itu ialah duduk di atas tanah dengan posisi kaki kiri berada di bawah kaki kanan, sementara kaki kanan tersebut ditegakkan.
11.Memberi isyarat (menunjuk) dengan jari telunjuk pada tasyahhud pertama dan terakhir, dari mulai pertama kali duduk sampai selesai membaca tasyahhud, sembari menggerakkan jari telunjuk tersebut di saat berdo'a.
12.Membaca shalawat dan permohonan berkah untuk Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dan keluarga beliau, juga untuk Nabi Ibrahim 'alaihis salam dan keluarga beliau pada tasyahhud pertama.
13.Membaca do'a pada tasyahhud terakhir.
14.Mengeraskan bacaan pada waktu shalat Subuh, shalat Jum'at, shalat dua hari raya, shalat istisqa' (minta hujan) dan pada dua rakaat pertama dari shalat Maghrib dan shalat Isya'.
15.Menyamarkan bacaan pada waktu shalat Dhuhur, shalat Ashar dan pada rakaat ketiga dari shalat Maghrib dan dua rakaat terakhir dari shalat Isya'.
16.Membaca ayat-ayat Al-Qur'an setelah membaca surat Al-Fatihah, ditambah lagi dengan sunnah-sunnah lain yang belum kita sebutkan disini, di antaranya adalah: Kelanjutan bacaan
" setelah berdiri dari ruku' oleh imam, ma'mum dan orang yang shalat munfarid (sendirian). Hal ini termasuk sunnah. Di antaranya pula adalah: meletakkan kedua telapak tangan pada kedua lutut dengan jari-jari yang direng-gangkan di saat ruku'. q
PENJELASAN KE-11 :
YANG MEMBATALKAN SHALAT
Yang membatalkan shalat ada delapan:
1.Berbicara dengan sengaja, dalam kondisi ingat dan mengerti. Adapun orang yang lupa dan yang tidak mengerti (bodoh), maka shalatnya tidak batal.
2.Tertawa.
3.Makan.
4.Minum.
5.Terbuka aurat.
6.Bergeser jauh dari arah kiblat.
7.Perbuatan "abats" (gerakan tidak berguna, seperti meng-goyangkan kepala, tangan dan lain sebagainya, pen.) yang dilakukan dengan sering dan berturut-turut di saat shalat.
8.Batalnya thaharah (wudhu). q
PELAJARAN KE-12 :
SYARAT-SYARAT WUDHU
Ada sepuluh:
1.Islam.
2.Berakal.
3.Mumayyiz (bisa membedakan antara yang suci dan najis. pen.).
4.Niat.
5.Mempertahankan niat tersebut, artinya tidak bermaksud memotong niat tersebut sampai dia selesai berwudhu.
6.Hilangnya hal yang mewajibkan wudhu.
7.Ber-istinja dengan air atau batu sebelum wudhu.
8.Airnya suci dan boleh dipakai.
9.Menghilangkan apa-apa yang dapat mencegah sampainya air ke kulit.
10.Masuknya waktu shalat bagi orang yang selalu berhadats.
PELAJARAN KE-13 :
FARDHU-FARDHU WUDHU
Fardhu-fardhu wudhu ada enam:
1.Membasuh muka, termasuk pula berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung.
2.Membasuh dua tangan sampai dua siku.
3.Mengusap seluruh kepala, termasuk di dalamnya dua telinga.
4.Membasuh dua kaki sampai / termasuk dua mata kaki.
5.Tertib/berurutan.
6.Bersegera/beruntun tanpa mengakhirkan (dalam melaksanakan tertib fardhu-fardhu tersebut, pen.).Dan disunnahkan membasuh muka, dua tangan dan dua kaki, masing-masing tiga kali, termasuk juga berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung. Yang wajib hanya satu kali saja. Adapun mengusap kepala, tidak disunnahkan lebih dari satu kali, seperti yang ditunjukkan oleh hadits-hadits yang shahih. q
PELAJARAN KE-14 :
YANG MEMBATALKAN WUDHU
Yang membatalkan wudhu ada enam:
1.Sesuatu yang keluar dari dua jalan yaitu qubul dan dubur (buang air kecil dan air besar, pen.).
2.Keluarnya sesuatu yang najis dalam jumlah yang banyak dari tubuh.
3.Hilang akal, baik karena tidur atau lainnya.
4.Memegang kemaluan --yang di depan (qubul) dan di belakang (dubur)-- dengan tangan tanpa ada pelapis.
5.Makan daging onta.
6.Keluar (murtad) dari Islam.
Semoga Allah melindungi kita semua dari hal tersebut.
PERINGATAN PENTING
Memandikan jenazah itu, yang benar tidak membatalkan wudhu. Ini adalah pendapat kebanyakan ulama karena hal tersebut tidak ada dalil yang menyatakan batalnya wudhu. Tetapi, kalau yang memandikan itu sampai memegang kemaluan mayit tanpa ada pelapis, maka dia wajib berwudhu lagi.
Dan memang seharusnya, dia tidak memegang kemaluan mayit kecuali dengan menggunakan pelapis.
Begitu pula, bersentuhan dengan kulit perempuan tidak membatalkan wudhu, baik diikuti dengan syahwat atau tidak. Demikian menurut pendapat yang lebih shahih dari dua pendapat yang dikemukakan ulama, yakni selama yang bersentuhan itu tidak sampai mengeluarkan sesuatu. Karena, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri pernah mencium sebagian isteri beliau, lalu melaksanakan shalat tanpa wudhu lagi.
Adapun firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam dua ayat, masing-masing di surat An-Nisa' dan surat Al-Maidah, yang berbunyi: " " (atau kalian menyentuh wanita) maka yang dimaksud "menyentuh" di situ adalah jima menurut pendapat yang lebih shahih dari dua pendapat yang dikemukakan ulama. Dan ini juga adalah pendapat Ibnu Abbas radhiallahu 'anhu dan sekelompok ulama salaf dan khalaf. Wallahu a'lam bish shawab. q
PELAJARAN KE-15 :
AKHLAK YANG HARUS DIMILIKI SETIAP MUSLIM
Di antaranya adalah:
1.Jujur.
2.Amanah.
3.Menjaga kehormatan.
4.Malu.
5.Berani.
6.Dermawan / murah hati.
7.Setia.
8.Menjauhkan diri dari semua yang diharamkan Allah.
9.Baik kepada tetangga.
10.Membantu orang yang membutuhkan sesuai kemampuan.
Dan lain sebagainya, dari akhlak yang diajarkan oleh Al-Qur'an dan As-Sunnah. q
PELAJARAN KE-16 :
ADAB ( SOPAN SANTUN ) ISLAMI
Di antaranya:
1.Mengucapkan salam.
2.Bermuka ceria.
3.Makan dengan tangan kanan.
4.Minum dengan tangan kanan.
5.Membaca "Bismillah" sebelum mulai kegiatan/pekerjaan.
6.Membaca "Alhamdulillah" ketika selesai dari kegiatan/pekerjaan.
7.Membaca "Alhamdulillah" setelah bersin.
8.Mendo'akan orang yang membaca "Alhamdulillah" setelah bersin,(1) menjenguk orang sakit, menghadiri jenazah untuk menshalatkan dan menguburnya.
9.Sopan santun yang diajarkan oleh syariat ketika masuk masjid atau rumah, atau ketika keluar dari keduanya. Juga, tata cara dan sopan santun ketika bepergian; ketika bersama kedua orangtua, kaum kerabat, para tetangga, orang-orang tua dan anak-anak muda.
10.Mengucapkan selamat atas kelahiran bayi, memberikan do'a keberkahan untuk perkawinan.
11.Menghibur orang yang ditimpa musibah, dan banyak lagi adab-adab Islami lainnya. Misalnya yang berhubungan dengan mengenakan pakaian, melepaskan pakaian dan cara memakai sandal.
PELAJARAN KE-17 :
BERHATI-HATI TERHADAP PERBUATAN SYIRIK DAN MAKSIAT
Di antaranya adalah tujuh dosa besar yang dapat membina-sakan:
1.Menyekutukan Allah.
2.Sihir.
3.Membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala kecuali dengan alasan yang benar.
4.Makan riba.
5.Makan harta anak yatim.
6.Kabur / lari sewaktu perang.
7.Menuduh wanita mukminah yang terjaga kehormatannya dan jauh dari maksiat dengan perbuatan zina.
Dan di antara maksiat-maksiat itu adalah:
1.Durhaka kepada kedua orang tua.
2.Memutuskan hubungan silaturrahmi.
3.Memberikan kesaksian palsu.
4.Sumpah palsu.
5.Mengganggu tetangga.
6.Berbuat zhalim kepada orang, baik berhubungan dengan darah (seperti membunuh dan semacamnya, pen.), harta maupun kehormatan.
7.Minum minuman yang memabukkan, bermain judi (lotre, atau undian).
8.Ghibah (menceritakan aib orang), naminah (mengadu domba) dan semacamnya dari hal-hal yang dilarang Allah Subhanahu wa Ta'ala atau RasulNya.
PELAJARAN KE-18 :
MENGURUS JENAZAH, MENSHALATKAN DAN MENGUBURKANNYA
Rinciannya adalah sebagai berikut:
1.Orang yang sedang sekarat, disyariatkan untuk ditalqini dengan kalimat " " Berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Talqinilah orang-orang yang akan mati dari kalian (dengan ucapan): 'Laa ilaaha illallah'." (HR. Muslim dalam shahihnya)
Yang dimaksud dengan kata "Mautaakum" dalam hadits ini adalah orang-orang sedang sekarat, yaitu orang yang sudah tampak padanya tanda-tanda kematian.

2.Bila sudah diyakini orang tersebut sudah meninggal, maka hendaklah kedua matanya dipejamkan, karena ada keterangan hadits tentang hal itu.

3.Diwajibkan memandikan jenazah/mayit muslim kecuali dia syahid (meninggal di medan perang fisabilillah). Dalam hal ini, dia tidak perlu dimandikan dan tidak perlu juga dishalatkan. Dia hanya cukup dikuburkan dengan pakaiannya. Karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak memandikan orang-orang yang meninggal di perang Uhud dan tidak pula menshalatkan mereka.

4.Cara memandikan jenazah
Pertama-tama, aurat jenazah ditutupi kemudian diangkat sedikit lalu bagian perutnya dipijat perlahan (untuk mengeluarkan kotorannya, pen.). Setelah itu orang yang memandikannya memakai sarung tangan atau kain atau semacamnya untuk membersihkannya (dari kotoran yang keluar, pen.). Kemudian diwudhukan seperti wudhu untuk shalat. Lalu dibasuh kepala dan jenggotnya (kalau ada) dengan air yang dicampur dengan daun bidara atau semacamnya. Selanjutnya, dibasuh sisi bagian kanan badannya kemudian bagian kiri. Kemudian basuh seperti tadi untuk yang kedua dan ketiga kali. Dalam setiap kalinya dipijat bagian perutnya. Bila keluar sesuatu (kotoran) hendaklah dicuci dan menutup tempat keluar tersebut dengan kapas atau semacamnya. Kalau ternyata tidak berhenti keluar hendaklah ditutup dengan tanah yang panas atau dengan metoda kedokteran modern seperti isolasi khusus dan semacamnya.
Kemudian mengulangi wudhunya lagi. Bila dibasuh tiga kali masih tidak bersih ditambah menjadi lima atau sampai tujuh kali. Setelah itu dikeringkan dengan kain, lalu memberikan parfum di lipatan-lipatan tubuhnya dan tempat-tempat sujudnya. Lebih baik, kalau sekujur tubuhnya diberi parfum semua. Kafannya diberi harum-haruman dari dupa yang dibakar. Bila kumis atau kukunya ada yang panjang boleh dipotong, dibiarkan saja juga tidak apa-apa. Rambutnya tidak perlu disisir, begitu pula rambut kemaluan-nya tidak perlu dicukur dan tidak usah dikhitan (kalau memang belum dikhitan, pen.). Karena memang tidak ada dasar-dasar yang menerangkan hal tersebut. Dan bila jenazahnya seorang perempuan maka rambutnya dikepang tiga dan dibiarkan terurai ke belakang.

5.Cara Mengkafani Jenazah
Yang paling utama, untuk jenazah laki-laki dikafani tiga lapis kain putih (satu untuk menutupi bagian bawah -semacam sarung- satu lagi untuk bagian atas -semacam baju- dan yang terakhir kain untuk pembungkusnya). Tidak perlu gamis (baju panjang) dan surban. Hal ini, sama seperti apa yang dilakukan terhadap jenazah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Tapi, tidak mengapa jika dikafani dengan gamis (baju panjang), izar (sema-cam sarung untuk menutupi bagian bawah) dan kain pembungkus.
Adapun jenazah perempuan, dikafani dengan lima lapis: Baju, kerudung, sarung untuk bagian bawah dan dua kain pembungkus.
Dan yang wajib, baik bagi jenazah laki-laki atau perempuan adalah menutupinya dengan satu lapis kain yang dapat menu-tupinya secara sempurna. Tetapi, bila ada jenazah laki-laki yang meninggal dalam keadaan ihram, maka dia cukup dimandikan dengan air dan daun bidara. Kemudian dikafani dengan sarung dan baju yang dipakai atau yang lainnya dan tidak perlu menutup kepala dan wajahnya, juga tidak usah diberi parfum. Karena pada hari Kiamat nanti dia akan dibangkitkan dalam keadaan membaca talbiyah: "Labbaik allahumma labbaik" seperti yang diriwayatkan dalam hadits shahih dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Bila yang meninggal dalam keadaan ihram tadi seorang perem-puan maka dia dikafani seperti perempuan yang lain, hanya tidak perlu diberi wewangian, wajahnya tidak perlu ditutup dengan cadar, begitu pula tangannya tidak usah dipakaikan sarung tangan, tetapi cukup ditutup dengan kafan yang membungkusnya, seperti yang disebutkan dalam cara mengkafani jenazah perempuan.
Dan anak kecil laki-laki, dikafani dengan satu lapis sampai tiga lapis, sementara anak kecil perempuan dikafani dengan satu gamis (baju panjang) dan dua kain pembungkus.

6.Yang Berhak Mengurus Jenazah.
Orang yang paling berhak untuk memandikan, menshalatkan dan menguburkannya secara berurutan ialah mereka yang men-dapatkan wasiat untuk itu, kemudian ayah, kakek kemudian kerabat-kerabat terdekat yang berhak mendapatkan ashabah.
Sementara, untuk jenazah perempuan, yang paling berhak untuk memandikannya ialah orang yang mendapatkan wasiat untuk itu, kemudian ibu, nenek, lalu kerabat-kerabat perempuan terdekat. Bagi suami isteri diperbolehkan bagi salah seorang dari keduanya untuk memandikan yang lain (suami boleh memandikan isteri dan isteri boleh memandikan suami). Karena jenazah Abu Bakar As-Shiddiq dimandikan oleh isterinya dan Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu ikut memandikan jenazah isterinya Fatimah radhiallahu 'anha.

7.Cara Menshalatkan Jenazah.
Shalat jenazah, dilakukan dengan empat kali takbir. Setelah takbir pertama, membaca surat Al-Fatihah. Bila ditambah dengan membaca surat pendek lainnya atau dilanjutkan dengan membaca satu atau dua ayat, hal ini baik dan tidak apa-apa. Sebab ada hadits shahih yang menyatakan hal tersebut sebagaimana diriwa-yatkan Ibnu Abbas radhiallahu 'anhu. Kemudian bertakbir kedua dan membaca shalawat kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam sama seperti dalam tasyahhud. Kemudian bertakbir ketiga dan membaca do'a:
"Ya Allah, ampunilah orang yang hidup dan orang yang mati di antara kami, orang yang hadir dan orang yang tidak hadir di antara kami, orang yang muda dan orang yang dewasa di antara kami, yang laki-laki dan perempuan di antara kami.
Ya Allah orang yang Engkau hidupkan di antara kami, hendaklah Engkau hidupkan dia atas ke-Islaman, dan orang yang Engkau wafatkan di antara kami, hendaklah Engkau wafatkan dia atas keimanan.
Ya Allah, ampunilah dia, rahmatilah dia, selamatkanlah dia, maafkanlah dia, muliakanlah tempat singgahnya, luaskanlah tempat masuknya, mandikanlah dia dengan air dan salju. Sucikanlah dia dari kesalahan-kesalahan sebagaimana dibersihkannya baju putih dari kotoran. Berilah untuknya rumah yang lebih baik dari rumahnya, keluarga yang lebih baik dari keluarganya. Masukkanlah ke dalam Surga dan jauhkanlah dia dari adzab kubur dan siksa Neraka. Luaskanlah kuburnya, berilah dia cahaya di dalamnya.
Ya Allah, janganlah Kau cegah kami (mendapat) pahalanya dan janganlah Kau sesatkan kami sesudahnya."
Kemudian bertakbir yang keempat dan selanjutnya bersalam satu kali saja ke sebelah kanan. Disunnahkan untuk mengangkat kedua tangan untuk setiap kali takbir.

Bila yang meninggal perempuan, maka ( ) dalam do'a di atas diganti dengan ( ) sehingga do'anya berbunyi:

Bila yang meninggal dua orang, maka diganti menjadi:

Bila yang meninggal lebih dari dua orang, maka diganti menjadi:

Bila yang meninggal masih kanak-kanak, maka sebagai ganti dari permohonan ampun yang ada dalam do'a di atas, dibaca do'a berikut:

"Ya Allah, jadikanlah dia sebagai simpanan pahala bagi kedua orangtuanya, sebagai pemberi syafaat yang diterima. Ya Allah, beratkanlah dengannya timbangan amal baik kedua (orangtua)nya, besarkanlah pahala keduanya, dan kumpulkan dia dengan orang-orang mu'min shalih yang terdahulu. Jadikanlah dia berada dalam asuhan Ibrahim 'alaihis salam dan selamatkanlah dia dengan rahmatMu dari siksa Neraka."

Disunnahkan bagi yang menjadi imam shalat jenazah berdiri sejajar dengan kepala bila jenazahnya laki-laki, dan berdiri di tengah bila jenazahnya perempuan.
Bila jenazah yang dishalatkan lebih dari satu maka yang ada di depan imam adalah jenazah laki-laki dewasa dan jenazah perempuan dewasa posisinya setelah kiblat. Bila ditambah dengan jenazah anak-anak, maka jenazah anak laki-laki didahulukan atas jenazah perempuan, lalu jenazah anak perempuan. Posisi kepala anak laki-laki sejajar dengan kepala jenazah laki-laki dewasa dan pertengahan jenazah perempuan dewasa sejajar dengan kepala laki-laki dewasa. Begitu pula anak perempuan, posisi kepalanya sejajar dengan kepala perempuan dewasa.
Posisi makmum semuanya di belakang imam, kecuali bila ada seorang makmum yang tidak mendapatkan tempat di belakang imam, dia boleh berdiri di samping kanannya.

8.Cara Menguburkan Jenazah
Menurut aturan syariat, kuburan itu dibuat dengan kedalaman sampai pertengahan tinggi seorang laki-laki dan dibuatkan ke dalamnya liang lahad di arah kiblat, dan jenazah diletakkan di dalam liang lahad dengan bertumpu pada sisi kanan badannya (miring ke kanan, pen.) kemudian tali-tali pengikat kafan itu dibuka, tidak dicabut tapi dibiarkan begitu saja, dan wajahnya tidak perlu disingkap baik jenazah laki-laki atau perempuan. Kemudian diberi batu bata besar yang didirikan dan (celah-celahnya) diberi adonan pasir supaya kuat dan bisa menjaganya (jenazah) agar tidak ber-jatuhan debu/tanah. Bila sulit mendapatkan batu bata boleh diganti yang lain seperti; papan, batu atau bambu yang dapat mengha-langi agar tanah tidak masuk ke dalam. Setelah itu, baru ditimbun dengan tanah. Dan disunnahkan ketika itu membaca:

"Dengan nama Allah dan sesuai dengan ajaran Rasulullah."

Selanjutnya, kuburan boleh ditinggikan sejengkal dari tanah dan di atasnya diberi kerikil --kalau ada-- dan disiram dengan air.
Dan disyariatkan bagi orang-orang yang mengantarkannya untuk berdiri di sisi kuburan dan berdo'a untuk si mayit. Karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, apabila sudah selesai menguburkan orang meninggal dunia, beliau berdiri di sampingnya dan berkata:

"Mohonlah ampun untuk saudara kalian dan mintakanlah untuknya ketetapan; sesungguhnya dia sekarang sedang ditanya."

9.Disyariatkan bagi yang belum menshalatkannya untuk menshalatkannya setelah dikuburkan. Karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melaksanakan hal tersebut, tapi dengan catatan hal itu boleh dilakukan dalam jangka waktu satu bulan atau kurang, dari setelah dikuburkan. Bila sudah lewat dari satu bulan tidak disyariatkan lagi shalat di atas kuburan. Karena tidak ada keterangan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan shalat di atas kuburan setelah sebulan dari penguburan.

10.Tidak boleh bagi keluarga jenazah membuat makanan untuk orang-orang. Berdasarkan perkataan seorang sahabat yang mulia Jarir bin Abdillah Al-bajali radhiallahu 'anhu:

"Dulu kami menganggap, berkumpulnya (orang-orang) di tempat keluarga mayit dan membuat makanan setelah penguburan, adalah termasuk 'niyahah' (ratapan yang hukumnya haram)." (HR. Imam Ahmad dengan sanad yang baik).
Adapun membuatkan makanan untuk keluarga yang berkabung atau tamu-tamu mereka maka tidak apa-apa. Bahkan dianjurkan oleh agama, agar para kerabat dan para tetangga membuat makanan bagi mereka. Karena, ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mendengar kabar kematian Ja'far bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu di Syam, beliau meminta keluarga beliau untuk membuat makanan yang diberikan kepada keluarga Ja'far. Beliau bersabda:
"Sesungguhnya telah menimpa kepada mereka musibah yang telah menyibukkan mereka."
Keluarga jenazah boleh memanggil para tetangga dan yang lainnya untuk makan makanan yang telah dihadiahkan bagi mereka dan menurut pengetahuan kami tentang hukum syara', tidak ada batasan waktu untuk hal itu.

11.Tidak dibolehkan bagi seorang perempuan berkabung atas kematian seseorang lebih dari tiga hari, kecuali yang meninggal adalah suaminya. Saat itu dia harus berkabung selama empat bulan sepuluh hari, kecuali kalau dia hamil maka sampai dia melahirkan. Berdasarkan hadits shahih dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tentang hal ini.
Adapun bagi seorang laki-laki tidak boleh mempunyai masa berkabung atas kematian seorang kerabat dan yang lainnya.

12.Disyariatkan bagi kaum pria untuk berziarah kubur dari waktu ke waktu. Tujuannya untuk mendo'akan yang mati, memohon-kan rahmat untuk mereka, juga untuk mengingatkan akan kematian dan apa yang ada setelah itu. Karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Ziarahilah kubur itu, sesungguhnya dia akan mengingatkan kalian tentang alam akhirat." (Hadits dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam Kitab Shahihnya)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga mengajarkan kepada para sahabatnya apabila mereka berziarah kubur untuk mengucapkan:

"Keselamatan untuk kalian wahai ahli kubur dari kaum mu'minin dan muslimin, dan sesungguhnya kami --Insya Allah-- akan menyusul kalian. Kami memohon kepada Allah keselamatan untuk kami dan untuk kalian. Semoga Allah merahmati orang-orang yang mati lebih dahulu dari kami dan juga orang-orang yang akan mati belakangan."
Adapun kaum wanita, maka dia tidak boleh melakukan ziarah kubur, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat kaum wanita yang menziarahi kubur. Alasannya adalah karena takut terjadi fitnah dan tidak mampu menahan kesabaran. Begitu pula, mereka tidak boleh ikut mengantar jenazah sampai ke kuburan. Karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga melarang hal tersebut. Akan tetapi, menshalatkan jenazah --baik di masjid maupun di tempat lain-- dibolehkan untuk pria dan wanita semuanya.

AJARAN ISLAM

BAB VIII :
PENDIDIKAN ANAK



BAGAIMANA MENDIDIK ANAK-ANAK KITA?
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api Neraka.” (At-Tahrim: 6).
Ibu, bapak dan guru bertanggung jawab di hadapan Allah terhadap pendidikan generasi muda. Jika pendidikan mereka baik, maka berbahagialah generasi tersebut di dunia dan akhirat. Tapi jika mereka mengabaikan pendidikannya maka sengsaralah generasi tersebut, dan beban dosanya berada pada leher mereka. Untuk itu disebutkan dalam suatu hadits Rasulullah Shallallaahu Alaihi Wa Sallam:
(( كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ))
“Setiap orang di antara kamu adalah pemimpin, dan masing-masing bertanggung jawab atas yang dipimpin-nya.” (Muttafaq ‘Alaih).
Maka adalah merupakan kabar gembira bagi seorang guru, perhatikan sabda Rasulullah Shallallaahu Alaihi Wa Sallam berikut ini:
(( فَوَ اللهِ لأَنْ يَهْدِيَ اللهُ بِكَ رَجُلاً وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النِّعَمَ ))
“Demi Allah, bahwa petunjuk yang diberikan Allah kepa-da seseorang melalui kamu lebih baik bagimu daripada kekayaan yang banyak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Dan juga merupakan kabar gembira bagi kedua orangtua, sabda Rasulullah Shallallaahu Alaihi Wa Sallam berikut ini:
(( إِذَا مَاتَ اْلإِنْسَانُ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ ))
“Jika seseorang mati maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendo’akannya.” (HR. Muslim).
Maka setiap pendidik hendaknya melakukan perbaikan dirinya terlebih dahulu, karena perbuatan baik bagi anak-anak adalah yang dikerjakan oleh pendidik, dan perbuatan jelek bagi anak-anak adalah yang ditinggalkan oleh pen-didik. Karenanya, sikap baik guru dan orangtua di depan anak-anak merupakan pendidikan yang paling utama. Lalu, di antara yang perlu diperhatikan adalah:
1. Melatih anak-anak untuk mengucapkan kalimat syahadat.
(( لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللَّـهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ ))
Dan menjelaskan maknanya ketika mereka sudah besar.
2. Menanamkan rasa cinta dan iman kepada Allah dalam hati mereka, karena Allah adalah Pencipta, Pemberi rizki dan Penolong satu-satunya tanpa ada sekutu bagiNya.
3. Memberi kabar gembira kepada mereka dengan janji Surga, bahwa Surga akan diberikan kepada orang-orang yang melakukan shalat, puasa, mentaati kedua orangtua dan berbuat amalan yang diridhai oleh Allah, serta menakut-nakuti mereka dengan Neraka, bahwa Neraka diperuntukkan bagi orang yang meninggalkan shalat, menyakiti orangtua, membenci Allah, melakukan hukum selain hukum Allah dan memakan harta orang dengan menipu, membohongi, riba dan lain sebagainya.
4. Mengajarkan anak-anak untuk meminta dan memohon pertolongan hanya kepada Allah semata, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallaahu Alaihi Wa Sallam kepada anak pamannya:
“Jika kamu meminta sesuatu mintalah kepada Allah, dan jika kamu memohon pertolongan mohonlah kepada Allah.” (HR. At-Tirmidzi).

MENGAJARKAN SHALAT
1. Pengajaran shalat kepada anak laki-laki maupun perempuan pada masa kecil adalah wajib agar mereka terbiasa jika sudah besar. Rasulullah Shallallaahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
(( عَلِّمُوْا أَوْلاَ دَكُمُ الصَّلاَةَ إِذَا بَلَغُوْا سَبْعًا وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا إِذَا بَلَغُوْا عَشْرًا وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ ))
“Ajarkanlah shalat kepada anak-anakmu jika sudah sam-pai umur tujuh tahun, pukullah karena meninggalkannya jika sudah sampai umur sepuluh tahun dan pisahkan tempat tidur mereka.” (HR. Ahmad).
Pengajaran shalat tersebut dilakukan dengan wudhu dan shalat di depan mereka, membawa mereka pergi bersama ke masjid, memberikan kepada mereka buku tentang cara-cara shalat sehingga seluruh keluarga mempelajari tata cara shalat. Hal ini merupakan kewajiban seorang guru dan kedua orangtua. Setiap pengurangan tanggung jawab tersebut akan ditanya oleh Allah.
2. Mengajarkan Al-Qur’anul Karim kepada anak-anak, di-mulai dari surat Al-Fatihah dan surat-surat pendek serta menghafal do’a tahiyat untuk shalat. Menyediakan guru untuk mengajarkan tajwid, menghafal Al-Qur’an dan Hadits.
3. Mendorong anak-anak shalat Jum’at dan jama’ah di mas-jid di belakang kaum laki-laki, berlemah lembut dalam memberi nasihat jika mereka bersalah, tidak dengan suara keras dan mengagetkan mereka, agar mereka tidak meninggalkan shalat kemudian kita berdosa. Jika ingat masa kanak-kanak dan permainan kita dahulu, tentu kita akan memaklumi hal itu.

MEMPERINGATKAN UNTUK MENJAUHI LA-RANGAN
1. Memperingatkan anak untuk tidak kafir, mencerca dan melaknat orang serta berbicara yang jelek. Menyadarkan anak dengan lemah lembut bahwa kekufuran itu haram yang menyebabkan kerugian dan masuk Neraka. Hendaknya kita menjaga ucapan di depan mereka agar menjadi teladan yang baik bagi mereka.
2. Memperingatkan anak untuk tidak main judi dengan se-gala macamnya, seperti yanasib, rolet dan lainnya, meskipun hanya untuk hiburan, karena hal itu mendorong kepada perjudian, pertikaian serta merugikan diri, harta dan waktu, juga melalaikan mereka dari shalat.
3. Melarang anak-anak membaca majalah dan gambar porno serta cerita-cerita komik persilatan dan seksualitas. Melarang penyiaran film-film serupa di bioskop maupun TV karena berbahaya bagi akhlak dan masa depan anak-anak.
4. Melarang anak merokok dan memberi pengertian kepada mereka bahwa para dokter telah sepakat tentang bahaya rokok bagi badan, menyebabkan kanker, merusak gigi, baunya tidak enak, merusak paru-paru dan tidak ada faedahnya sehingga menjual dan menghisapnya adalah haram. Menasihatkan kepada mereka untuk makan buah-buahan dan asinan sebagai ganti rokok.
5. Membiasakan anak-anak jujur dalam perkataan dan perbuatan. Hendaknya kita tidak berbohong kepada mereka, meskipun hanya bergurau. Jika kita menjanjikan sesuatu kepada mereka hendaknya kita penuhi. Dalam hadits shahih disebutkan:
(( مَنْ قَالَ لِصَبِيٍّ تَعَالَ هَاكَ (خُذْ) ثُمَّ لَمْ يُعْطِهِ فَهِيَ كِذْبَةٌ ))
“Barangsiapa berkata kepada anak kecil, ‘ambillah’ kemudian tidak memberinya maka hal itu adalah kebohongan.” (HR. Ahmad).
6. Tidak memberi makan kepada anak-anak dengan uang haram seperti uang sogok, riba, hasil curian dan penipuan, karena hal itu menyebabkan kesengsaraan, kedurha-kaan dan kemaksiatan mereka.
7. Tidak mendo’akan kebinasaan dan kemurkaan terhadap anak, karena do’a baik maupun buruk kadang-kadang di-kabulkan, dan mungkin menambah kesesatan mereka. Lebih baik jika kita mengatakan kepada anak: “Semoga Allah memperbaiki kamu.”
8. Memperingatkan anak-anak untuk tidak melakukan per-buatan syirik kepada Allah, seperti: berdo’a kepada orang-orang yang sudah mati, meminta pertolongan dari mereka, dengan keyakinan bahwa mereka bisa menda-tangkan bahaya maupun manfaat.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
“Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak pula memberi madharat ke-pada selain Allah, sebab jika kamu berbuat yang demiki-an itu, maka sesungguhnya kalau begitu kamu termasuk orang-orang yang zhalim (musyrik).” (Yunus: 106).

MENUTUP AURAT DAN HIJAB
1. Memberikan kepada anak perempuan kain penutup aurat pada masa kecilnya agar terbiasa pada waktu dewasa. Tidak memberikan pakaian pendek kepada mereka, tidak memberikan celana dan baju saja karena hal itu menyerupai kaum lelaki, orang-orang kafir dan menyebabkan fitnah. Menyuruh kepadanya untuk menggunakan kerudung di atas kepala sejak umur tujuh tahun, menutup wajah ketika sudah dewasa dan memakai pakaian hitam panjang yang menutupi seluruh aurat yang dapat menjaga kehormatannya. Dan Al-Qur’an mengajak kepada seluruh perempuan kaum mukmin untuk berhijab, sebagaimana disebutkan:
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuan dan isteri-isteri orang mukmin: hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya merela lebih mudah untuk dikenal karena itu mereka tidak diganggu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Ahzab: 59).
Al-Qur’an juga melarang kaum wanita terlalu bertingkah dan berhias di luar rumah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
“Dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku se-perti orang-orang jahiliyah yang dahulu.” (Al-Ahzab: 33).
2. Mewasiatkan kepada anak untuk memakai pakaian sesuai jenisnya sehingga pakaian wanita tidak sama dengan pakaian lelaki, juga mewasiatkan kepada mereka untuk men-jauhi pakaian asing seperti celana sempit, memanjangkan kuku dan rambut serta memendekkan jenggot. Dalam hadits shahih disebutkan:
(( لَعَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُتَشَبِّهِيْنَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ وَالْمُتَشبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ وَلَعَنَ الْمُخَنَّثِيْنَ مِنَ الرِّجَالِ وَالْمُتَرَجِّلاَتِ مِنَ النِّسَاءِ ))
“Nabi Muhammad Shallallaahu Alaihi wa Salam melaknat kaum lelaki yang memakai pakaian seperti kaum wanita dan kaum wanita yang memakai pakaian seperti kaum lelaki, serta melaknat kaum waria baik laki-laki maupun perempuan.” (HR. Al-Bukhari).
(( مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ ))
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum berarti ia terma-suk di dalam kaum tersebut.” (HR. Abu Daud).

AKHLAK DAN SOPAN SANTUN
1. Kita biasakan anak untuk menggunakan tangan kanan dalam mengambil, memberi, makan, minum, menulis dan menerima tamu. Mengajarkannya untuk selalu memulai setiap pekerjaan dengan basmalah terutama untuk makan dan minum. Dan itu harus dilakukan dengan duduk serta diakhiri dengan membaca hamdalah.
2. Membiasakan anak untuk selalu menjaga kebersihan, memotong kukunya, mencuci kedua tangannya sebelum dan sesudah makan, dan mengajarinya untuk bersuci ketika buang air kecil maupun air besar, sehingga tidak membuat najis pakaiannya dan shalatnya menjadi sah.
3. Berlemah lembut dalam memberi nasihat kepada mereka dengan secara diam-diam. Tidak membuka kesalahan mereka di depan umum. Jika mereka tetap membandel maka kita diamkan selama tiga hari dan tidak lebih dari itu.
4. Menyuruh anak-anak untuk diam ketika adzan berkumandang dan menjawab bacaan-bacaan muadzin kemudian bersalawat atas Nabi dan berdo’a:
(( اَللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيْلَةَ وَالْفَضِيْلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا الَّذِيْ وَعَدْتَهُ ))
5. Memberi kasur pada setiap anak jika memungkinkan, jika tidak maka setiap anak diberikan selimut sendiri-sendiri. Akan lebih utama jika anak perempuan mempunyai ka-mar sendiri dan anak laki-laki mempunyai kamar sendiri, guna menjaga akhlak dan kesehatan mereka.
6. Membiasakan mereka untuk tidak membuang sampah dan kotoran di tengah jalan dan menghilangkan hal yang menyebabkan mereka sakit.
7. Mewaspadai persahabatan mereka dengan kawan-kawan yang nakal, mengawasi mereka, dan melarang mereka duduk-duduk di pinggir jalan.
8. Memberi salam kepada anak-anak di rumah, di jalan dan di kelas dengan lafazh:
(( السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ ))
9. Berpesan kepada anak untuk berbuat baik kepada tetangga dan tidak menyakiti mereka.
10. Membiasakan anak bersikap hormat dan memuliakan tamu serta menghidangkan suguhan baginya.

JIHAD DAN KEBERANIAN
1. Harus diadakan pertemuan khusus bagi keluarga dan pelajar untuk dibacakan riwayat hidup Rasulullah dan para sahabatnya. Hal ini agar mereka memahami bahwa Rasulullah adalah pemimpin yang berani. Sedangkan para sahabatnya, seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan Muawiyah telah membuka negeri kita sehingga menjadi faktor penyebab ke-Islaman kita dan mereka telah mendapat kemenangan dengan iman, jihad, amal dan akhlak mereka yang tinggi.
2. Mendidik anak-anak berani menyeru kebaikan dan men-cegah kemungkaran, tidak takut kecuali kepada Allah dan tidak menakut-nakuti mereka dengan cerita-cerita dan dongeng-dongeng bohong yang menakutkan.
3. Menanamkan pada anak kecintaan balas dendam kepada orang-orang Yahudi dan kaum zhalim. Pemuda-pemuda kita akan membebaskan Palestina dan Masjid Al-Aqsha ketika mereka kembali kepada Islam dan jihad di jalan Allah serta akan mendapat kemenangan dengan izin Allah.
4. Memberikan cerita-cerita yang mendidik, bermanfaat dan Islami, seperti serial cerita-cerita dalam Al-Qur’an, seja-rah Nabi, pahlawan dan kaum pemberani dari para sa-habat dan orang-orang Islam lainnya, dengan membaca-kan misalnya kitab:
- Asy-Syamaa’il Al-Muhammadiyah wal Akhlaaq An-Nabawiyah wal Aadaab Al-Islamiyah.
- Al-‘Aqidah Al-Islamiyah min Al-Kitab wa As-Sunnah As-Shahihah.

BERBAKTI KEPADA KEDUA ORANGTUA
Jika kamu ingin berhasil di dunia dan di akhirat, maka kerjakanlah beberapa pesan sebagai berikut:
1. Berbicaralah kepada kedua orangtuamu dengan sopan santun, jangan mengucapkan “ah” kepada mereka, jangan hardik mereka dan berkatalah kepada mereka de-ngan ucapan yang baik.
2. Ta’atilah selalu kedua orangtuamu selama tidak dalam maksiat, karena tidak ada ketaatan pada makhluk yang bermaksiat kepada Allah.
3. Berlemah lembutlah kepada kedua orangtuamu, jangan bermuka masam di depannya, dan janganlah memelototi mereka dengan marah.
4. Jaga nama baik, kehormatan dan harta benda kedua orangtua. Dan janganlah mengambil sesuatu pun tanpa seizin keduanya.
5. Lakukanlah hal-hal yang meringankan meski tanpa perintah mereka. Seperti membantu pekerjaan mereka, membelikan beberapa keperluan mereka dan bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu.
6. Musyawarahkan segala pekerjaanmu dengan orangtua dan mintalah maaf kepada mereka jika terpaksa kamu berselisih pendapat.
7. Bersegeralah memenuhi panggilan mereka dengan wajah berseri-seri sambil berkata, “Ada apa, Ibu!” atau “Ada apa, Ayah!”
8. Hormatilah kawan dan sanak kerabat mereka ketika mereka masih hidup dan sesudah mati.
9. Jangan membantah mereka dan jangan pula menyalahkan mereka, tapi usahakan dengan sopan kamu dapat menjelaskan yang benar.
10. Jangan membantah perintah mereka, jangan mengeraskan suaramu kepada mereka. Dengarkanlah pembicaraan mereka, bersopan santunlah terhadap mereka, dan jangan mengganggu saudaramu untuk menghormati kedua orangtuamu.
11. Bangunlah jika kedua orangtuamu masuk ke tempatmu dan ciumlah kepala mereka.
12. Bantulah ibumu di rumah dan jangan terlambat membantu ayahmu di dalam pekerjaannya.
13. Jangan pergi jika mereka belum memberi izin, meski untuk urusan penting, jika terpaksa harus pergi maka mintalah maaf kepada keduanya dan jangan sampai memutuskan surat menyurat dengan mereka.
14. Jangan masuk ke tempat mereka kecuali setelah mendapat izin terutama pada waktu tidur dan istirahat mere-ka.
15. Apabila tergoda untuk merokok, maka jangan merokok di depan mereka.
16. Jangan makan sebelum mereka dan jangan mencela mereka jika berbuat sesuatu yang tidak kamu sukai.
18. Jangan utamakan isterimu atau anakmu atas mereka. Mintalah restu dan ridha mereka sebelum melakukan sesuatu, karena ridha Allah terletak pada ridha kedua orangtua dan kemurkaan Allah terletak pada kemurkaan mereka.
19. Jangan duduk di tempat yang lebih tinggi dari mereka dan jangan menyelonjorkan kedua kakimu dengan congkak di depan mereka.
20. Jangan congkak terhadap nasib ayahmu, meski engkau seorang pejabat tinggi, dan usahakan tidak pernah meng-ingkari kebaikan mereka atau menyakiti mereka, meski hanya satu kata.
21. Jangan kikir menginfakkan harta benda kepada mereka sampai mereka mengadu padamu, itu merupakan kehinaan bagimu. Dan itu akan kamu dapatkan balasannya dari anak-anakmu. Apa yang kamu perbuat akan menda-pat balasannya.
22. Perbanyaklah melakukan kunjungan kepada kedua orangtua dan memberi hadiah, sampaikan terima kasih atas pendidikan dan jerih payah keduanya, dan ambillah pelajaran dari anak-anakmu yaitu engkau merasakan be-ratnya mendidik mereka.
23. Orang yang paling berhak mendapat penghormatan adalah ibumu, kemudian ayahmu. Ketahuilah bahwa Surga berada di bawah telapak kaki ibu.
24. Usahakan untuk tidak menyakiti kedua orangtua dan menjadikan mereka marah sehingga kamu merana di dunia dan akhirat, kelak anak-anakmu akan memperlakukan kamu sebagaimana kamu memperlakukan kedua orang-tuamu.
25. Jika meminta sesuatu dari kedua orangtuamu maka berlemah lembutlah, berterima kasihlah atas pemberian mereka, maafkanlah mereka jika menolak permintaanmu, dan jangan terlalu banyak meminta agar tidak menggang-gu mereka.
26. Jika kamu mampu mencari rizki maka bekerjalah dan bantulah kedua orangtuamu.
27. Kedua orangtuamu mempunyai hak atas kamu, dan isterimu mempunyai hak atas kamu, maka berilah hak mereka. Jika keduanya berselisih usahakan kamu mem-pertemukan mereka dan berilah masing-masing hadiah secara diam-diam.
28. Jika kedua orangtuamu bertengkar dengan isterimu, maka bertindaklah bijaksana, dan berilah pengertian kepada isterimu bahwa kamu berpihak padanya jika ia benar, hanya kamu terpaksa harus mendapatkan ridha kedua orangtua.
29. Jika kamu berselisih dengan kedua orangtua tentang perkawinan dan thalak maka kembalikan pada hukum Islam, karena hal itu merupakan penolong yang paling baik.
30. Do’a orangtua untuk kebaikan dan kejelekan diterima Allah, maka hati-hatilah terhadap do’a mereka untuk kejelekan.
31. Bersopan santunlah dengan orang lain, karena barang-siapa mencela orang lain maka orang itu akan mencaci-nya. Rasulullah Shallallaahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
(( مِنَ الْكَبَائِرِ شَتْمُ الرَّجُلِ وَالِدَيْهِ يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ أَبَاهُ وَيَسُبُّ أُمَّهُ وَيَسُبُّ أُمَّهُ ))
“Di antara dosa-dosa besar adalah cacian seseorang terhadap kedua orangtuanya; ia mencaci orang lain maka orang itu akan mencaci ayahnya, ia mencaci ibu orang lain maka orang itu akan mencaci ibunya.”
32. Kunjungilah kedua orangtuamu ketika masih hidup dan sesudah matinya, bersedekahlah atas nama mereka dan perbanyaklah berdo’a untuk mereka, misalnya dengan do’a:
(( رَبِّ اغْفِرْلِى وَلِوَالِدَيَّ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِى صَغِيْرًا ))

JAUHILAH DOSA-DOSA BESAR
1. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (Surga). (An-Nisaa’: 31).
2. Rasulullah Shallallaahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
(( إِتَّقِ الْمَحَارِمَ تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ ))
“Jauhilah perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah tentu engkau akan menjadi orang yang paling banyak ibadahnya.” (HR. Ahmad).
3. Dosa besar adalah setiap maksiat yang mempunyai hukuman (had) di dunia atau ancaman di akhirat.
4. Jumlah dosa-dosa besar, oleh Ibnu Abbas Radhiallaahu anhum disebutkan berjumlah sampai tujuh ratus macam, lebih dekat daripada tujuh macam. Hanya tidak ada yang dinamakan dosa besar jika diikuti dengan istighfar dan tidak ada yang dinamakan dosa kecil jika dilakukan terus-menerus.

MACAM-MACAM DOSA BESAR
1. Dosa besar dalam akidah: Syirik kepada Allah, yaitu beribadah atau berdo’a kepada selain Allah. Rasulullah Shallallaahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
(( الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةٌ ))
“Do’a adalah ibadah.” (HR. At-Tirmidzi).
Mengajarkan syari’at untuk dunia saja, menyembunyikan ilmu, khianat, mempercayai dukun atau peramal, menyembelih kurban dan bernazar untuk selain Allah, menggambar orang atau hewan, membuat atau menggantungkan patung, memanjangkan baju atau celana ke bawah tumit untuk ke-sombongan, bersumpah dengan selain nama Allah, tidak mengkafirkan orang kafir, membohongi Allah dan Rasul-Nya, merasa aman terhadap adzab Allah, menampar muka atau meratap pada waktu kematian, tidak mengakui adanya qadar, menggantungkan jimat seperti kalung, tulang atau telapak tangan yang digantungkan pada anak-anak, mobil atau rumah.
2. Dosa besar dalam hal jiwa dan akal: Membunuh orang dengan tanpa alasan yang benar, membakar orang dan hewan dengan api. Mengulur-ulur waktu pemberian hak orang lemah, isteri, murid, pembantu dan binatang melata, belajar sihir, melakukan ghibah dan menyebar fitnah, minum-minuman khamar yang memabukkan dengan segala bentuknya (seperti khamar, sari anggur, wisky, bir dan lain sebagainya), minum racun, makan daging babi dan bangkai tanpa sebab yang mendesak, minum-minuman yang memba-hayakan (seperti rokok, ganja dan lain sebagainya), bunuh diri meski dengan pelan-pelan seperti merokok, berkelahi mempertahankan yang batil, menganiaya dan melawan orang, menolak kebenaran dan marah karenanya, sombong, berprasangka buruk kepada orang Islam, mengkafirkannya tanpa alasan atau mencercanya atau mencerca salah seorang di antara sahabat Rasulullah Shallallaahu Alaihi Wa Sallam, sombong dan bangga, selalu mencari rahasia orang, menjatuhkan nama baik hakim untuk menyakitinya, dan berbohong pada hampir seluruh ucapan-nya.
3. Dosa besar dalam hal harta Anda: Makan harta anak yatim, main judi bagimana pun bentuknya, mencuri, melaku-kan penodongan, perampasan, sogok, pengurangan tim-bangan, sumpah palsu, penipuan dalam jual beli, tidak me-menuhi janji, memberi kesaksian palsu, monopoli, wasiat palsu, menyembunyikan kesaksian, tidak rela dengan pem-bagian Allah dan pemakaian perhiasan emas bagi kaum lela-ki.
4. Dosa besar dalam hal ibadah: Meninggalkan shalat atau melaksanakan di luar waktunya tanpa udzur, tidak mengeluarkan zakat, berbuka puasa pada bulan Ramadhan tanpa udzur, tidak menunaikan ibadah haji padahal mampu, lari dari jihad di jalan Allah, meninggalkan jihad dengan jiwa, harta atau lisan bagi yang diwajibkan, meninggalkan shalat Jum’at atau jama’ah tanpa udzur, meninggalkan dakwah amar ma’ruf nahi mungkar bagi yang mampu, tidak membersihkan kencingnya dan tidak mengamalkan ilmunya.
5. Dosa besar dalam keluarga dan keturunan: Zina, homoseksual, menjatuhkan kehormatan kaum mukminat yang terjaga baik dengan tuduhan-tuduhan yang tidak benar, berhias yang berlebihan bagi wanita, menampakkan rambutnya, wanita menyerupai laki-laki dan laki-laki menyerupai wanita, menyakiti kedua orangtua, menjauhi keluarga tanpa alasan syara’, wanita menolak ajakan suaminya tanpa alasan seperti haid atau nifas, perbuatan orang yang mengawini wanita setelah thalak tiga, wanita bepergian sendirian, meng-gunakan nasab selain ayahnya padahal ia mengetahui nasab ayahnya, rela terhadap keluarganya yang melakukan zina, menyakiti tetangga, mencabut rambut di wajah atau alis.
6. Taubat dari perbuatan dosa besar: Wahai saudaraku seagama, jika Anda berbuat dosa besar maka tinggalkanlah segera, bertaubat dan minta ampunlah kepada Allah serta jangan mengulanginya lagi, sebagaimana firman Allah:
“Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran ke-bodohan, yang kemudian mereka bertaubat dengan se-gera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya. Dan Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.” (An-Nisaa’: 17). 1

SYARAT DITERIMANYA TAUBAT
Adapun syarat diterimanya taubat yaitu:
1. Ikhlas. Artinya, taubat pelaku dosa harus ikhlas semata-mata karena Allah, bukan karena lainnya.
2. Menyesali dosa yang telah diperbuatnya.
3. Meninggalkan sama sekali maksiat yang telah dilakukannya.
4. Tidak mengulangi. Artinya, seorang muslim harus bertekad tidak mengulangi perbuatan dosa tersebut.
5. Istighfar. Yaitu memohon ampun kepada Allah atas dosa yang dilakukan terhadap hakNya.
6. Memenuhi hak bagi orang-orang yang berhak, atau mereka melepaskan haknya tersebut.
7. Waktu diterimanya taubat itu dilakukan di saat hidupnya, sebelum tiba ajalnya. Sabda Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam :
“Sesungguhnya Allah akan menerima taubat seorang hambaNya selama belum tercabut nyawanya.” (HR. At-Tirmidzi, hasan).


BAB IX :
SUNNAH DAN BID’AH



IKUTILAH SUNNAH RASUL DAN JANGAN MELA-KUKAN BID’AH
Bid’ah ada dua macam: duniawi dan keagamaan.
1. Bid’ah duniawi ada dua macam: Bid’ah yang negatif, seperti bioskop, TV, video dan sejenisnya yang dapat merusak akhlak dan membahayakan masyarakat. Bahaya tersebut terjadi akibat film-film yang ditampilkannya. Tapi ada bid’ah yang positif seperti kapal terbang, mobil, telepon dan lain-lainnya yang bermanfaat bagi masyarakat dan mempermudah urusannya.
2. Bid’ah keagamaan, yaitu yang tidak pernah ada pada zaman Rasulullah Shallallaahu Alaihi Wa Sallam dan para sahabat sesudahnya. Bid’ah ini dilakukan dalam hal ibadah dan agama. Bentuk bid’ah ini merupakan bid’ah yang ditolak oleh Islam dan hukumnya sesat.
a. Allah berfirman mengingkari kaum musyrik karena bid’ah mereka:
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah.” (Asy-Syura: 21).
b. Rasulullah Shallallaahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
“Barangsiapa yang melakukan pekerjaan yang tidak ada pada sunnahku, maka pekerjaan tersebut tidak diterima.” (HR. Muslim).
c. Rasulullah Shallallaahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
“Waspadalah terhadap hal-hal yang baru, karena setiap yang baru itu bid’ah dan setiap bid’ah itu kesesatan.” (HR. Ahmad).
d. Rasulullah Shallallaahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah menutup taubat setiap orang yang melakukan bid’ah sampai ia meninggalkannya.” (HR. Thabrani dan lainnya).
e. Ibnu Umar berkata: “Setiap bid’ah itu kesesatan meski dianggap orang sebagai kebaikan.”
f. Imam Malik berkata: “Barangsiapa yang mengadakan dalam Islam suatu bid’ah yang dianggapnya baik, maka ia telah menuduh bahwa Muhammad telah melakukan pengkhianatan terhadap risalah, karena sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agama-mu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam itu sebagai agama bagimu.” (Al-Maidah: 3).
g. Imam Syafi’i berkata: “Barangsiapa yang melakukan istihsan berarti ia telah membuat syari’at. Jika istihsan diperbolehkan dalam agama, tentu hal itu diperbolehkan juga bagi kaum intelektual yang tak beriman, dan diper-bolehkan pula dilakukan dalam setiap masalah agama serta setiap orang dapat membuat syari’at baru bagi diri-nya.”
h. Ghadif berkata: “Suatu bid’ah tidak akan muncul kecuali karena ditinggalkannya sunnah.”
i. Hasan Al-Basri mengatakan: “Janganlah kamu bersahabat dengan ahli bid’ah sehingga hatimu sakit.”
j. Hudzaifah berkata: “Setiap ibadah yang tidak dilakukan oleh para sahabat Rasulullah Shallallaahu Alaihi Wa Sallam maka jangan kamu laku-kan.”

MACAM-MACAM BID’AH
Bid’ah adalah setiap hal yang tidak mempunyai dasar dalam agama, seperti:
1. Upacara maulid Nabi, Isra’ Mi’raj, malam nisfu Sya’ban, dan sebagainya.
2. Berdzikir dengan tarian, tepuk tangan dan pukulan terbang, begitu juga meninggikan suara dan mengganti nama-nama Allah seperti dengan ah, ih, aah, hua, hia.
3. Mengadakan acara selamatan dan mengundang para kyai untuk membaca Al-Qur’an setelah wafatnya seseorang dan lain sebagainya.

UCAPAN: SHADAQALLAHUL ‘AZHIIM
1. Para qari’ biasa mengucapkan kalimat di atas setelah membaca Al-Qur’an, padahal ini tidak berasal dari Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam.
2. Membaca Al-Qur’an adalah ibadah, maka tidak boleh ditambah-tambahi. Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda:
“Barangsiapa mengada-adakan dalam agama kita (suatu amalan) yang bukan berasal darinya, maka ia ditolak.” (Muttafaq ‘Alaih).
3. Apa yang mereka lakukan itu tidak ada dalilnya, baik dari Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah Shallallaahu Alaihi Wa Sallam ataupun amalan para sahabat, ia adalah bid’ah orang-orang yang datang kemu-dian.
4. Rasulullah Shallallaahu Alaihi Wa Sallam mendengarkan bacaan Al-Qur’an dari Ibnu Mas’ud, tatkala sampai pada firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
Beliau bersabda: “Cukuplah.” (HR. Al-Bukhari).
Jadi beliau tidak mengucapkan: “Shadaqallahul ‘A-zhiem”, dan juga tidak memerintahkannya.
5. Orang yang tidak mengerti dan anak-anak kecil mengira bahwa bacaan tersebut adalah salah satu ayat Al-Qur’an, maka mereka membacanya di dalam dan di luar shalat. Ini tidak boleh, karena bacaan tadi bukanlah ayat Al-Qur’an. Apalagi, kadang-kadang, ditulis di akhir surat dengan kaligrafi Mushaf.
6. Syaikh Abdul Aziz bin Baz, ketika ditanya tentang bacaan tersebut, beliau menegaskan bahwa hal itu adalah bid’ah.
7. Adapun firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
“Katakanlah: ‘Benarlah (apa yang difirmankan) Allah’. Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus…” (Ali Imran: 95).
Maka ayat ini merupakan bantahan terhadap orang-orang Yahudi yang berdusta, berdasarkan ayat sebelumnya:
“Maka barangsiapa mengada-adakan dusta terhadap Allah…” (Ali Imran: 94).
Rasulullah Shallallaahu Alaihi Wa Sallam pun telah mengetahui ayat ini, meski demi-kian beliau tidak mengucapkan hal tersebut setelah membaca Al-Qur’an. Begitu pula para sahabat dan para As-Salafush Shalih.
8. Bid’ah ini sesungguhnya mematikan sunnah, yaitu do’a setelah membaca Al-Qur’an, berdasarkan sabda Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam:
“Barangsiapa membaca Al-Qur’an, hendaklah ia meminta kepada Allah dengan (bacaan)nya.” (HR. At-Tirmidzi, hasan).
9. Bagi qari’ hendaklah dia berdo’a kepada Allah sesuka hatinya setelah membaca Al-Qur’an, dan ber-tawassul kepa-da Allah dengan yang dibacanya itu. Karena hal ini termasuk amal shalih yang menjadi sebab dikabulkannya do’a. Dan sebaiknya membaca do’a berikut ini:
Rasulullah Shallallaahu Alaihi Wa Sallam bersabda: “Apabila seorang hamba ditimpa kesulitan dan kesedihan, lalu berdo’a:
(( اللَّهُمَّ إِنِّيْ عَبْدُكَ اِبْنُ عَبْدِكَ اِبْنُ أَمَتِكَ نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ، مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ أَسْأُلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنَ خَلْقِكَ، أَوْ اِسْتَأْ ثَرْتَ بِهِ فِيْ عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيْعَ قَلْبِيْ وَنُوْرَ بَصَرِيْ وَجَلاَءَ حُزْنِيْ وَذَهَابَ هَمِّيْ وَغَمِّيْ ))
“Ya Allah, sungguh aku adalah hambaMu, anak hamba-Mu yang laki-laki dan anak hambaMu yang perempuan. Ubun-ubunku berada di tanganMu. Pasti terjadi keputus-anMu pada diriku dan adillah ketentuanMu pada diriku. Aku memohon kepadaMu dengan segala Asma’ milikMu, yang Engkau sebutkan untuk diriMu, atau Engkau turun-kan dalam kitabMu, atau Engkau ajarkan kepada salah seorang makhlukMu, atau masih dalam perkara ghaib yang hanya Engkau sendiri yang mengetahui. Jadikanlah Al-Qur’an penyejuk hatiku, cahaya penglihatanku, pembebas kesedihanku dan pengusir kegelisahanku.’Tiada lain, Allah pasti akan menghilangkan kesulitan dan kesedihannya, dan menggantikannya dengan kemudakan.” (HR. Ahmad, shahih).


BAB X :
AMAR MA’RUF
NAHI MUNKAR



MENGAJAK KEBAIKAN DAN MENCEGAH KE-MUNGKARAN
Keduanya merupakan tiang pokok yang menjadi tumpuan tegaknya kepentingan masyarakat yang baik, dan merupakan ciri dari masyarakat Islam. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk ma-nusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (Ali Imran: 110).
Jika kita meninggalkan tugas mengajak kebaikan dan mencegah kemungkaran maka rusaklah masyarakat, hancurlah akhlak dan menjadi buruklah pergaulan sosial.
Upaya mengajak kepada kebaikan dan mencegah ke-mungkaran tidak merupakan kewajiban individu tertentu saja, tetapi merupakan kewajiban setiap muslim, laki-laki atau perempuan, alim atau awam sesuai dengan kemampuan dan ilmunya. Rasulullah Shallallaahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
(( مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَالِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ ))
“Barangsiapa melihat kemungkaran maka ubahlah ia dengan tangannya, jika tidak mungkin maka dengan lisannya, jika tidak mungkin maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim).

MACAM-MACAM AJAKAN KEPADA KEBAIKAN
1. Khutbah pada hari Jum’at dan dua Hari Raya, di mana Khatib menjelaskan macam-macam kemungkaran.
2. Ceramah dan artikel di majalah atau surat kabar yang menjelaskan penyakit-penyakit masyarakat dan memberi-kan obat yang tepat untuk penyembuhan.
3. Buku, di mana penulisnya memamparkan hal-hal yang hendak dijelaskan kepada masyarakat tentang ide-ide untuk memperbaiki masyarakat.
4. Peringatan pada majlis taklim di mana salah seorang yang hadir umpamanya berbicara tentang bahaya rokok terhadap akal fikiran maupun keuangan.
5. Nasihat yang dilakukan seorang saudara terhadap saudara seagamanya secara diam-diam, seperti nasihat untuk me-nanggalkan cincin emas pada tangan seseorang laki-laki atau memperingatkan untuk tidak meninggalkan shalat.
6. Surat, ia merupakan sarana yang paling efektif, karena dengan surat setiap orang dapat membaca beberapa hal tentang shalat, jihad, zakat, dan dosa-dosa besar umpa-manya.

SYARAT-SYARAT PENYERU KEBAIKAN
1. Perintah dan larangannya diberikan secara halus dan lemah lembut sehingga diterima oleh jiwa. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman kepada Musa dan Harun:
“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun sesungguhnya ia telah melampaui batas, maka berkatalah kamu berdua kepadanya dengan perkataan yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (Thaha: 43-44).
Jika anda melihat orang yang mancaci-maki atau kafir maka nasihatilah dengan lemah lembut dan mintalah ia memohon perlindungan Allah dari godaan setan yang menjadi penyebab caci maki tersebut. Sesungguhnya Allah telah menciptakan kita dan memberi nikmat kepada kita dengan nikmat yang banyak yang perlu disyukuri. Sedangkan keka-firan itu tidak memberi manfaat bahkan menjadi penyebab kesengsaraan dunia dan adzab akhirat. Lalu mintalah agar dia bertaubat dan beristighfar.
2. Harus mengetahui yang halal dan yang haram sehingga seruannya dapat bermanfaat dan tidak memberi akibat negatif dengan kebodohannya.
3. Penyeru wajib melaksanakan apa yang diperintahkan-nya dan menjauhi apa yang dilarangnya sehingga faedahnya lebih sempurna dan bermanfaat. Allah berfirman kepada yang menyeru kebaikan, tetapi tidak melaksanakannya:
“Apakah kamu menyeru manusia untuk berbuat baik dan kamu melupakan dirimu sendiri, sedangkan kamu mem-baca Al-Kitab (Al-Qur’an), apakah kamu tidak berfikir?” (Al-Baqarah: 44).
Dan orang yang berdosa hendaknya waspada terhadap dosa yang pernah dilakukannya sambil mengakui kesalahan-nya.
4. Agar kita ikhlas dalam bekerja, juga berdo’a agar orang-orang yang berselisih dengan kita diberi petunjuk dan dimaafkan oleh Allah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
“Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata, ‘Mengapa kamu menasihati kaum yang Allah akan memmbinasakan mereka atau mengadzab mereka dengan adzab yang amat keras? Mereka menjawab, ‘Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu, dan supaya mereka bertakwa…” (Al-A’raf: 164).
5. Penyeru hendaknya berani, tidak takut pada celaan dan hinaan orang tapi hanya takut kepada Allah dan sabar terhadap segala cobaan yang menimpanya.

BEBERAPA MACAM KEMUNGKARAN
1. Kemungkaran di Masjid: Ukir-ukiran dan hiasan, banyak menara, pemasangan papan yang bertuliskan di depan orang shalat karena hal itu dapat mengganggu kekhusyu’an shalatnya terutama tulisan syair-syair yang mengandung makna meminta tolong kepada selain Allah, lewat di depan orang yang sedang shalat, melangkahi kepala dua orang yang sedang duduk dalam shalat, membaca wirid Al-Qur’an dan berbicara dengan suara keras sehingga mengganggu orang-orang yang sedang shalat. Rasulullah Shallallaahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
(( لاَ يَجْهَرْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِى الْقُرْآنِ ))
“Janganlah kamu saling mengeraskan suara dalam membaca Al-Qur’an.” (HR. Ahmad).
Termasuk kemungkaran di masjid adalah meludah, batuk dengan suara keras, menyebutkan beberapa hadits dhaif (lemah) dalam khutbah dan ceramah tanpa menyebutkan derajat kebenaran hadits tersebut, padahal masih banyak hadits-hadits shahih, meminta pertolongan kepada selain Allah, memperdengarkan adzan dan menyanyikan lagu-lagu pada acara peringtan, bau rokok dari sebagian orang yang shalat, shalat dengan pakaian kotor dan berbau tidak enak, bersuara keras, dan bertepuk ketika dzikir, mengumumkan barang hilang, tidak merapatkan pundak dengan pundak dan kaki dengan kaki dalam shalat berjamaah.
2. Kemungkaran di jalan: Para wanita keluar tanpa penutup kepala atau dengan pakaian tidak menutup aurat, atau berbicara dan tertawa keras, laki-laki bergandengan tangan dengan perempuan dan ngobrol berdua tanpa malu, menjual kertas undian, menjual khamer di warung-warung, gambar laki-laki dan perempuan porno yang merusak akhlak, mem-buang sampah di jalan, anak muda nongkrong untuk meng-ganggu wanita, dan campur-baurnya kaum wanita dengan laki-laki di jalanan, pasar atau mobil.
3. Kemungkaran di pasar: Bersumpah dengan selain Allah seperti kehormatan, tanggung jawab dan sebagainya, penipuan, bohong dalam masalah keuntungan dan barang dagangan, meletakkan sesuatu di jalanan, kekufuran dan cer-caan, mengurangi ukuran dan timbangan, serta memanggil seseorang dengan suara keras.
4. Kemungkaran umum: Mendengarkan musik dan lagu-lagu porno, campur aduk antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, meskipun dari keluarga dekat seperti anak paman, bibi, saudara suami atau isteri, menggantung-kan gambar atau patung makhluk hidup di atas tembok atau meletakkannya di atas meja, meskipun untuk dirinya atau bapaknya, berlebih-lebihan dalam makanan, minuman, pakaian dan perabotan rumah tangga, membuang sisanya atau yang tidak terpakai di tempat sampah, padahal semestinya dibagikan kepada para fakir-miskin agar dimanfaatkan, menghidangkan rokok, main dadu, menyakiti orangtua, membeli majalah-majalah porno, menggantungkan jimat-jimat pada anak, pintu rumah, atau di mobil-mobil dengan keyakinan bahwa hal itu bisa menolak penyakit dan mara-bahaya, menghina salah seorang sahabat, dan merupakan kekufuran mengejek keta’atan seseorang kepada Allah seperti shalat, hijab, jenggot dan lain-lainnya yang diajarkan agama Islam.


BAB XI
JIHAD DAN SEBAB KEMENANGAN



JIHAD DI JALAN ALLAH
Jihad merupakan kewajiban setiap muslim, baik dengan harta benda (infaq), dengan jiwa (perang) atau dengan lisan dan tulisan, yakni dengan mengajak jihad dan memper-tahankannya. Jihad ada beberapa macam:
1. Fardhu ‘Ain, yaitu berjuang melawan musuh yang menyerbu ke sebagian negara umat Islam. Seperti jihad melawan kaum Yahudi yang menduduki negara Palestina. Semua orang muslim yang mampu, akan berdosa kalau sampai mereka tidak dapat mengeluarkan orang-orang Yahudi dari negeri tersebut.
2. Fardhu Kifayah, jika sebagian telah memperjuangkan-nya, maka yang lain tidak berkewajiban melakukan perjuangan tersebut. Yaitu berjuang menyebarkan dakwah Islam ke seluruh negara sehingga mereka melaksanakan hukum Islam, dan barangsiapa yang masuk Islam serta berjalan di jalan Islam kemudian terbunuh sehingga tegak kalimat Allah. Karena itu, jihad seperti ini masih berlaku terus sampai hari Kiamat.
Jika orang-orang Islam meninggalkan jihad dan tertarik oleh kehidupan dunia, misalnya pertanian dan perdagangan maka ia akan tertimpa kehinaan, sebagaimana sabda Rasu-lullah Shallallaahu alaihi wa Sallam:
“Jika anda jual beli ‘inah (seseorang menjual sesuatu dengan tempo dan menyerahkannya kepada pembeli, kemudian ia membelinya dari si pembeli tersebut sebe-lum lunas pembayarannya dengan harga yang lebih murah dan dibayar langsung) dan kamu berjalan di belakang ekor-ekor sapi (membajak di sawah) dan kamu puas dengan pertanian kemudian kamu tinggalkan jihad di jalan Allah, maka Allah menimpakan kepada kamu sekalian kehinaan dan tidak akan melepaskannya darimu sehingga kamu kembali kepada agamamu.” (HR. Muslim).
3. Jihad terhadap pemimpin Islam, yaitu dengan mem-berikan nasihat kepada mereka dan pembantu mereka, seba-gaimana sabda Rasullullah Shallallaahu alaihi wa Sallam :
”Agama adalah nasihat. Kami bertanya, ‘Untuk siapa wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Untuk Allah, KitabNya, RasulNya, pemimpin-pemimpin Islam dan orang-orang muslim pada umumnya.” (HR. Muslim).
Beliau juga bersabda:
“Jihad yang paling mulia adalah menyampaikan kebe-naran pada pemimpin yang zhalim.” (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi).
Adapun cara umat Islam menghindarkan diri dari penga-niayaan pemimpin mereka, yaitu hendaknya umat Islam ber-taubat kepada Tuhan, meluruskan akidah mereka, mendidik diri dan keluarga mereka atas dasar ajaran-ajaran Islam yang benar, sebagai pelaksanaan dari firman Allah:
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (Ar-Ra’d: 11).
Untuk itu salah seorang da’i masa kini pernah menga-takan: “Dirikanlah negara Islam dalam hatimu, niscaya akan tegak di muka bumi.”
Dan juga harus memperbaiki pondasi bangunan yang didirikan, yaitu masyarakat. Allah berfirman:
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menja-dikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sung-guh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhaiNya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembahKu dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (An-Nur: 55).
4. Berjihad melawan orang-orang kafir, komunis dan penyerang dari kaum ahli kitab, baik dengan harta, jiwa maupun lisan, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallaahu Alaihi Wa Sallam:
(( جَاهِدُوْا لِلْمُشْرِكِيْنَ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَأَلْسِنَتِكُمْ ))
“Dan barjihadlah menghadapi orang-orang musyrik de-ngan harta bendamu, jiwamu dan lisanmu.” (HR. Ahmad).
5. Berjihad melawan orang-orang fasik dan pelaku mak-siat dengan tangan, lisan dan hati, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam:
(( مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَالِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ ))
“Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran ma-ka hendaknya ia mengubah dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya, dan jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim).
6. Berjihad melawan setan; dengan selalu menentang segala kemauannya dan tidak mengikuti godaannya. Allah berfirman:
“Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia sebagai musuh(mu), karena sesungguhnya setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni Neraka yang menyala-nyala.” (Faathir: 6).
7. Berjihad melawan hawa nafsu, yakini dengan me-ngendalikan hawa nafsu, membawanya pada ketaatan ter-hadap Allah dengan menghindari berbagai kemaksiatan. Allah berfirman melalui ucapan Zulaihah yang mengaku telah membujuk Yusuf alaihissalam untuk berbuat dosa:
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh pada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhan-ku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Yusuf: 53).
Ada sebuah syair menuturkan:
وَخَالِفِ النَّفْسَ وَالشَّيْطَانَ وَاعْصِهِمَا
وَإِنْ هُمَا مَحَضَاكَ النُّصْحَ فَاتَّهِمْ
“Musuh besarmu nafsu dan setan, bujuk rayunya jangan kau hiraukan, tutur nasihatnya penuh kesesatan, i’tikad baiknya mesti kau ragukan.”
Ya Allah berilah kami taufiq untuk menjadi orang-orang yang berjihad dan beramal mengikuti Rasulullah Shallallaahu Alaihi Wa Sallam.

DI ANTARA SEBAB-SEBAB KEMENANGAN
Pada waktu Umar bin Khattab Radhiallaahu anhu mengirimkan utusan di bawah pimpinan Sa’ad bin Abi Waqqash untuk menak-lukkan Parsi, beliau menulis pesan yang isinya sebagai berikut:
1. Takwa Kepada Allah.
Aku perintahkan kepadamu dan semua tentara yang ikut bersamamu untuk bertakwa kepada Allah dalam keadaan bagaimana pun juga, sebab takwa adalah senjata yang paling ampuh untuk menaklukkan musuh serta siasat perang yang paling hebat.
2. Meninggalkan Segala Bentuk Perbuatan Maksiat.
Aku perintahkan pula kepadamu dan orang-orang yang ikut bersamamu, agar menjaga diri dari perbuatan maksiat lebih cermat daripada menjaga serangan musuh, karena dosa-dosa para tentara itu lebih menakutkan mereka sendiri daripada musuhnya. Kemenangan kaum Muslimin itu akibat perbuatan maksiat musuhnya. Andaikata mereka tidak berbuat maksiat pasti orang-orang Islam tidak mempunyai kekuatan, sebab jumlah, kekuatan serta perbekalan mereka tidak sebanyak dan sekuat musuh mereka. Andaikata mereka sama-sama berbuat maksiat pasti musuh Islam lebih kuat. Seandainya kita tidak diberikan kekuatan dengan takwa dan meninggalkan maksiat, pasti kita tidak dapat mengalahkan mereka.
Ketahuilah bahwasanya sewaktu kamu berangkat ke Parsi setiap dirimu diawasi oleh malaikat yang mengetahui segala perbuatanmu. Hendaknya kamu malu kepada mereka. Dan janganlah berbuat maksiat di tengah-tengah kamu berjuang menegakkan agama Allah, begitu pula jangan beranggapan bahwa musuh kita lebih jelek daripada kita sehingga tidak mungkin mereka menguasai kita walaupun kita berbuat jelek. Karena banyak manusia yang dipimpin oleh orang yang lebih jelek daripada mereka, seperti Bani Israil, karena perbuatan maksiat mereka, akhirnya mereka dipimpin oleh orang kafir Majusi.
3. Mohon Pertolongan Kepada Allah.
Memohonlah kamu kepada Allah untuk kemenangan dan keselamatanmu dari godaan maksiat, sebagaimana kamu me-mohon kemenangan dari musuhmu dan berdo’alah kepada Allah, baik untuk kita maupun untuk kamu sendiri.


BAB XI :
WASIAT DAN YANG
DILARANG AGAMA



WASIAT SETIAP MUSLIM NENURUT AGAMA
Sabda Rasulullah Shallallaahu Alaihi Wa Sallam:
(( مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَبِيْتُ لَيْلَتَيْنِ وَلَهُ شَيْءٌ يُرِيْدُ أَنْ يُوْصَى فِيْهِ إِلاَّ وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوْبَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ، قَالَ ابْنُ عُمَرَ مَا مَرَّتْ عَلَيَّ لَيْلَةٌ مُنْذُ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ ذَالِكَ إِلاَّ وَعِنْدِيْ وَصِيَّتِيْ ))
“Tidak layak bagi seorang muslim melewati masa dua malam sedangkan ia mempunyai sesuatu yang mau diwasiatkan kecuali wasiatnya ditulis di dekat kepalanya. Ibnu Umar berkata, ‘Saya tidak melewati satu malam sejak Rasulullah bersabda demikian, kecuali wasiatku ada di dekatku’.” (HR.Al-Bukhari dan Muslim).
Wasiat itu seperti:
1. Saya berwasiat sebesar… untuk membiayai sanak saudara, kerabat, tetangga dan lain-lain yang miskin (yang diwasiatkan tidak lebih 1/3 dari seluruh harta dan tidak untuk salah seorang ahli waris).
2. Ketika saya sakit, hendaklah ada orang-orang shalih mendatangiku dan mengingatkan agar aku senantiasa ber-sangka baik terhadapAllah Subhanahu wa Ta'ala.
3. Sebelum mati, bukan sesudahnya, hendaknya saya di-tuntun membaca kalimah tauhid: laa ilaaha illallah. Ini berdasarkan sabda Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam :
(( لَقِّنُوْا مَوْتَاكُمْ لاَ اِلَـهَ إِلاَّ اللهُ ))
“Tuntunlah saudaramu yang akan mati dengan kalimah laa ilaaha illallah.” (HR. Muslim).
Sabda Rasulullah Shallallaahu Alaihi Wa Sallam juga:
(( مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ لاَ اِلَـهَ إِلاَّ اللهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ ))
“Siapa yang akhir ucapannya laa ilaaha illallah, niscaya masuk Surga.” (HR. Al-Hakim).
4. Setelah mati, orang-orang yang hadir agar mendo’akan bagiku demikian:
(( اللَّهُمَّ اغْفِرْلَهُ وَارْفَعْ دَرَجَتَهُ وَارْحَمْهُ ))
“Ya Allah, ampunilah dia dan naikkanlah pangkatnya dan berilah ia rahmat.”
5. Mencarikan orang untuk menyampaikan berita kematian kepada sanak famili dan orang lain, walaupun hanya lewat telepon. Bagi imam masjid hendaknya memberitahu-kan hal itu kepada para jamaah, agar memintakan ampunan bagi si mayit.
6. Segera melunasi utang. Sabda Rasulullah Shallallaahu Alaihi Wa Sallam:
(( نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ ))
“Jiwa seorang muslim itu menggantung disebabkan utangnya sehingga utang itu dilunasi.” (HR. Ahmad).
Bagi muslim yang sadar, ia akan melunasi utangnya selagi hidup karena khawatir urusannya menjadi terlantar.
7. Diam ketika jenazah diiringkan dan memperbanyak orang yang menyalatkannya dengan ikhlas serta mendo’akannya.
8. Setelah dikebumikan hendaknya dido’akan kembali sam-bil berdiri, karena Rasulullah Shallallaahu Alaihi Wa Sallam melakukan demikian sambil bersabda:
(( إِسْتَغْفِرُوْا لأَخِيْكُمْ وَاسْأَلُوْا لَهُ التَّثْبِيْتَ فَإِنَّهُ الآنَ يُسْأُلُ ))
“Mohonlah ampunan dan keteguhan untuk saudaramu, karena sekarang ia sedang ditanya.” (HR. Al-Hakim).
9. Berta’ziyah (menghibur) keluarga yang tertimpa musi-bah, sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallaahu Alaihi Wa Sallam:
(( اِنَّ لِلَّـهِ مَا أَخَذَ وَلَهُ مَا أَعْطَى وُكُلُّ شَيْءٍ عِنْدَهُ بِأَجَلٍ مُسَمًّى فَلْتَصْبِرْ وَلْتَحْتَسِبْ ))
“Apa yang diambil Allah dan apa yang diberikanNya itu adalah milikNya. Segala sesuatu telah ditentukan batas waktunya. Hendaknya kamu bersabar dan rela terhadap apa yang telah menjadi ketentuanNya (takdirNya) dengan mengharap pahala daripadaNya.” (HR. Al-Bukhari).
Ta’ziyah tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Kapan dan di mana saja dapat dilakukan. Orang yang mendapat kunjungan ta’ziyah hendaknya mengucapkan:
(( اِنَّا لِلَّـهِ وَإِنَّا اِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ: اَللَّهُمَّ أْجُرْ نِيْ فِى مُصِيْبَتِى وَاخْلُفْ لِيْ خَيْرًا مِنْهَا ))
“Kita adalah milik Allah dan kita akan kembali kepada-Nya. Ya Allah, berilah aku pahala (sebagai balasan kesa-baranku) dalam musibahku ini dan berilah aku ganti yang lebih baik daripadanya.”
10. Bagi keluarga dekat, tetangga dan handai taulan dari yang tertimpa musibah hendaknya membuatkan ma-kanan untuk keluarga duka tersebut. Sabda Rasulullah Shallallaahu Alaihi Wa Sallam:
(( اِصْنَعُوْا لآلِ جَعْفَرَ طَعَامًا فَقَدْ اَتَا هُمْ مَا يُشْغِلُهُمْ ))
“Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far karena mereka sedang kedatangan sesuatu yang menyibukkan.” (HR. Abu Daud).

HAL-HAL YANG DILARANG MENURUT AGAMA
1. Mengkhususkan sebagian harta untuk salah seorang ahli waris, sabda Rasulullah Shallallaahu Alaihi Wa Sallam:
(( لاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ ))
“Tidak sah wasiat untuk ahli waris.” (HR. Daruqutni).
2. Menangisi orang mati dengan keras, meratapinya, me-nampar pipi, menyobek pakaian dan berpakaian hitam, kare-na Rasulullah Shallallaahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
(( الْمَيِّتُ يُعَذِّبُ فِى قَبْرِهِ بِمَا نِيْحَ عَلَيْهِ (إِذَا أَوْصَاهُمْ) ))
“Orang mati itu disiksa di kuburnya karena diratapi (jika ia berwasiat) demikian.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
3. Mengumumkan berita kematian di tempat adzan, di surat kabar, atau memberikan karangan bunga, karena semua itu termasuk bid’ah, menyia-nyiakan harta serta menyerupai tingkah laku orang-orang musyrik dan non muslim. Nabi  bersabda:
(( مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ ))
“Barangsiapa menyerupai suatu golongan maka ia ter-masuk golongan itu.” (HR. Abu Daud).
4. Datangnya para kyai di rumah orang meninggal dunia untuk membaca Al-Qur’an. Rasulullah Shallallaahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
(( اِقْرَءُوا الْقُرْآنَ وَاعْمَلُوْابِهِ وَلاَ تَأْكُلُوْ بِهِ وَلاَ تَسْتَكْثِرُوْا بِهِ
(مِنْ مَتَاعِ الدُّنْيَا) ))
“Bacalah Al-Quran dan amalkanlah, janganlah Al-Qur’an itu kamu jadikan pencaharian dan jangan mem-perbanyak harta dunia dengannya.” (HR. Ahman, shahih).
Haram hukumnya memberi atau menerima sejumlah uang sebagai bayaran atas bacaan Al-Qur’an.
Apabila kita memberikan uang itu kepada orang fakir maka pahalanya sampai kepada orang yang sudah meninggal dan bermanfaat baginya.
5. Tidak boleh membuat makanan atau berkumpul untuk ta’ziyah baik di rumah, di masjid atau tempat lainnya. Jarir  berkata:
(( كُنَّا نَرَى اْلإِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيْعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ لِغَيْرِهِمْ مِنَ النِّيَاحَةِ (الْمُحَرَّمَةِ) ))
“Kita berpendapat bahwa kumpul-kumpul ke keluarga orang mati dan membuat makanan untuk disajikan kepa-da para tamu setelah dikuburkannya mayat (hukumnya) termasuk meratapi mayat.” (HR. Ahmad).
Hukum tidak bolehnya berkumpul mengadakan ta’ziyah tersebut telah ditegaskan Imam Syafi’i dan Imam An-Nawa-wi dalam kitabnya “Al-Adzkar” Bab Ta’ziyah. Sebagaimana Ibnu Abidin yang bermadzhab Hanafi menegaskan, tidak boleh bagi keluarga orang yang mati menghidangkan jamu-an. Karena menurut agama, jamuan itu diadakan dalam situasi gembira, bukan dalam keadaan duka. Dalam kitab “Al-Bazzaziyah” –pengikut Hanafi– disebutkan, membuat makanan pada hari pertama dan ketiga dan setelah satu minggu humumnya tidak boleh. Begitu pula membawa ma-kanan ke kuburan pada hari besar, membuat undangan untuk membaca Al-Qur’an, mengumpulkan orang-orang shalih dan ahli baca Al-Qur’an untuk mengadakan khataman Qur’an, semua itu hukumnya tidak boleh.
6. Tidak boleh membaca Al-Qur’an, membaca Maulid dan dzikir di atas kuburan, karena Rasulullah Shallallaahu Alaihi Wa Sallam dan para sahabatnya tidak pernah mengerjakannya.
7. Membuat gundukan tanah, membentangkan batu dan lain-lain di atas kuburan, meminyaki dan membuat tulisan di atasnya, semua hukumnya haram. Dalilnya adalah:
(( نَهَى النَّبِيُّ  اَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ وَأَنْ يُكْتَبْ عَلَيْهِ ))
“Rasulullah melarang kuburan dikapur, dibangun atau ditulisi.” (HR. Muslim).
Cukup dengan meletakkan batu setinggi sejengkal, se-hingga kuburan itu dapat dikenal orang, sebagaimana dilaku-kan Rasulullah Shallallaahu Alaihi Wa Sallam ketika meletakkan batu di atas kuburan Utsman bin Mazh’un. Ketika itu beliau bersabda:
“Aku memberi tanda atas kuburan saudaraku.” (HR. Abu Daud, hasan).
Dalam wasiat, hendaklah ditulis:
- Yang Memberi Wasiat
- Yang Melaksanakan Wasiat
- Saksi Pertama
- Saksi Kedua.

MENGINGAT KEMATIAN

Rasulullah SAW bersabda, ''Ingatlah kematian. Demi Zat yang nyawaku berada dalam kekuasaan-Nya, kalau kamu mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kamu akan tertawa sedikit dan banyak menangis.''

Ada seorang teman yang sangat rajin beribadah. Shalatnya tak lepas dari linang air mata, tahajud tak pernah putus, bahkan anak dan istrinya pun diajak pula berjamaah di masjid. Selidik punya selidik, ternyata saat itu dia sedang menanggung utang. Di antara ibadah-ibadahnya itu dia selipkan doa-doa agar utangnya segera terlunasi. Selang beberapa lama, Allah Azza wa Jalla, Zat yang Mahakaya pun berkenan melunasi utang teman tersebut. Sayangnya, begitu utang terlunasi doanya mulai jarang, hilang pula motivasinya untuk beribadah. Biasanya kalau kehilangan shalat tahajud ia sedih bukan main. Tapi, lama-kelamaan tahajud tertinggal justru menjadi senang karena jadwal tidur menjadi cukup. Bahkan sebelum azan biasanya sudah menuju mesjid, tapi akhir-akhir ini datang ke mesjid justru ketika azan. Hari berikutnya ketika azan tuntas baru selesai wudhu. Lain lagi pada besok harinya, ketika azan selesai justru masih di rumah, hingga akhirnya ia pun memutuskan untuk shalat di rumah.

Begitu pun untuk shalat sunah, biasanya ketika masuk masjid shalat sunah tahiyatul masjid terlebih dulu dan salat fardhu pun selalu dibarengi shalat rawatib. Tapi sekarang saat datang lebih awal pun malah pura-pura berdiri menunggu iqamat, selalu ada saja alasannya. Sesudah iqamat biasanya memburu shaf paling awal, kini yang diburu justru shaf paling tengah, hari berikutnya ia memilih shaf sebelah pojok, bahkan lama-lama mencari shaf di dekat pintu, dengan alasan supaya tidak terlambat dua kali. Saat akan shalat sunah rawatib, ia malah menundanya dengan alasan nanti akan di rumah saja, padahal ketika sampai di rumah pun tidak dikerjakan. Entah disadari atau tidak oleh dirinya, ternyata pelan-pelan banyak ibadah yang ditinggalkan. Bahkan pergi ke majelis taklim yang biasanya rutin dilakukan, majelis ilmu di mana saja dikejar, sayangnya akhir-akhir ini kebiasaan itu malah hilang.

Ketika zikir pun biasanya selalu dihayati, sekarang justru antara apa yang diucapkan di mulut dengan suasana hati, sama sekali bak gayung tak bersambut. Mulut mengucap, tapi hati keliling dunia, masyaallah. Sudah dilakukan tanpa kesadaran, seringkali pula selalu ada alasan untuk tidak melakukannya. Saat-saat berdoa pun menjadi kering, tidak lagi memancarkan kekuatan ruhiah, tidak ada sentuhan, inilah tanda-tanda hati mulai mengeras.

Sahabat, sahalus-halus kehinaan di sisi Allah adalah tercerabutnya kedekatan kita dari sisi-Nya. Hal ini biasanya ditandai dengan kualitas ibadah yang jauh dari meningkat, atau bahkan malah menurun. Tidak bertambah bagus ibadahnya, tidak bertambah pula ilmu yang dapat membuatnya takut kepada Allah, bahkan justru maksiat pun sudah mulai dilakukan, bahkan yang bersangkutan tidak merasa rugi. Inilah tanda-tanda akan tercerabutnya nikmat berdekatan bersama Allah Azza wa Jalla. Pantaslah bila Imam Ibnu Athaillah pernah berujar, ''Rontoknya iman ini akan terjadi pelan-pelan, terkikis-kikis sedikit demi sedikit sampai akhirnya tanpa terasa habis tanpa tersisa.'' Demikianlah yang terjadi bagi orang yang tidak berusaha memelihara iman di dalam kalbunya. Karenanya jangan pernah permainkan nikmat iman di hati ini.

Kalau ibadah sudah tercerabut satu persatu, maka inilah tanda mulai tercerabutnya hidayah dari-Nya. Akibat selanjutnya mudah ditebak, ketahanan penjagaan diri menjadi blong, kata-katanya menjadi kasar, mata jelalatan tidak terkendali, dan emosinya pun mudah membara. Apalagi ketika ibadah shalat yang merupakan benteng dari perbuatan keji dan munkar mulai lambat dilakukan, kadang-kadang pula mulai ditinggalkan. Ibadah yang lain nasibnya tak jauh beda, hingga akhirnya meningallah ia dalam keadaan hilang keyakinannya kepada Allah. Inilah yang disebut su'ul khatimah (jelek di akhir), naudzhubillah. Apalah artinya hidup kalau berakhir tragis seperti ini.

Bila kita merenungi kisah di atas, nampaklah bahwa salah satu hikmah yang dapat diambil darinya adalah jika kita sedang berbuat kurang bermanfaat bahkan zalim, maka salah satu teknik mengeremnya adalah mengingat mati. Bagaimana kalau tiba-tiba kita mati, padahal kita sedang maksiat? Tidak takutkah kita mati suul khatimah?. Ternyata ingat mati menjadi bagian yang sangat penting setelah doa dan ikhtiar dalam memelihara iman di hati. Rasulullah SAW telah mengingatkan para sahabatnya untuk selalu mengingat kematian. Dikisahkan pada suatu hari Rasulullah SAW ke luar menuju masjid. Tiba-tiba beliau mendapati suatu kaum yang sedang tertawa-tawa. Maka beliau bersabda, ''Ingatlah kematian. Demi Zat yang nyawaku berada dalam kekuasaan-Nya, kalau kamu mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kamu akan tertawa sedikit dan banyak menangis.''

Mengingat mati akan membuat kita seakan punya rem dari berbuat dosa. Akibatnya di mana saja dan kapan saja kita akan senantiasa terarahkan untuk melakukan segala sesuatu hanya yang bermanfaat. Kalau kita melihat para arifin dan salafus shalih, mengingat mati bagi mereka, seumpama seorang pemuda yang menunggu kekasihnya. Di mana seorang kekasih tidak pernah melupakan janji kekasihnya. Diriwayatkan dari sahabat Hudzaifah ra bahwa ketika kematian menjemputnya ia berkata, ''Kekasih datang dalam keadaan miskin. Tiadalah beruntung siapa yang menyesali kedatangannya. Ya Allah, jika Engkau tahu bahwa kefakiran lebih aku sukai daripada kaya, sakit lebih aku sukai daripada sehat, dan kematian lebih aku sukai daripada kehidupan, maka mudahkanlah bagiku kematian sehingga aku menemui-Mu.'' Semoga kita digolongkan Allah SWT menjadi orang yang beroleh karunia khusnul khatimah. Amin. Wallahu a'lam bish-shawab. KH Adullah Gymnasiar/dokrep/Maret 2004

EKONOMI SYARI'AH

Ilmu ekonomi Islam pada dasarnya merupakan perpaduan antara dua jenis ilmu yaitu ilmu ekonomi dan ilmu agama Islam (fiqh mu’amalat). Sebagaimana layaknya ilmu-ilmu lain, ilmu eknomi Islam juga memiliki dua objek kajian yaitu objek formal dan objek material. Objek formal ilmu ekonomi Islam adalah seluruh sistem produksi dan distribusi barang dan jasa yang dilakukan oleh pelaku bisnis baik dari aspek prediksi tentang laba rugi yang akan dihasilkan maupun dari aspek legalitas sebuah transaksi. Sedangkan objek materialnya adalah seluruh ilmu yang terkait dengan ilmu ekonomi Islam .

Dengan mengetahui objek formal dan material sebuah ilmu, maka akan dapat ditelusuri eksistensinya melalui tiga pendekatan yang selalu dipergunakan dalam filsafat umum yaitu pendekatan ontologis, epistemologis, dan aksiologis . Pendekatan ontologis dijadikan sebagai acuan untuk menentukan hakikat dari ilmu ekonomi Islam. Sedangkan pendekatan epistemologis dipergunakan untuk melihat prinsip-prinsip dasar, ciri-ciri, dan cara kerja ilmu ekonomi Islam. Dan pendekatan aksiologis diperlukan untuk melihat fungsi dan kegunaan ilmu ekonomi Islam dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi manusia dalam kehidupan sehari-hari .

Secara ontologis, ilmu ekonomi Islam membahas dua disiplin ilmu secara bersamaan. Kedua disiplin ilmu itu adalah ilmu ekonomi murni dan ilmu fiqh mu’amalat. Dengan demikian, dalam operasionalnya ilmu ekonomi Islam akan selalu bersumber dari kedua disiplin ilmu tersebut. Persoalan ontologis yang muncul kemudian adalah bagaimana memadukan antara pemikiran sekular ilmu ekonomi dengan pemikiran sakral yang terdapat dalam fiqh mu’amalat. Persoalan ini muncul mengingat bahwa sumber ilmu ekonomi Islam adalah pemikiran manusia sedangkan sumber fiqh mu’amalat adalah wahyu yang didasarkan pada petunjuk Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Perbedaan sumber ilmu pengetahuan ini menyebabkan munculnya perbedaan penilaian terhadap problematika ekonomi manusia. Sebagai contoh, ilmu ekonomi akan menghalalkan sistem ekonomi liberal, kapitalis, dan komunis sejauh itu dapat memuaskan kebutuhan hidup manusia. Tetapi sebaliknya, fiqh mu’amalat belum tentu dapat menerima ketiga sistem itu karena dia masih membutuhkan legislasi dari Al-Qur’an dan Hadits.

Dari sisi lain, teori kebenaran ilmu ekonomi Islam dan ilmu fiqh mu’amalat tentu saja berbeda secara diametral. Tolok ukur kebenaran dalam ilmu ekonomi selalu mengacu kepada tiga teori kebenaran yang dipakai dalam filsafat ilmu yaitu teori koherensi (kesesuaian dengan teori yang sudah ada), teori korespondensi (kesesuaian dengan fenomena yang ada), dan teori pragmatisme (kesesuaian dengan kegunaannya) . Sedangkan teori kebenaran fiqh mu’amalat mengacu secara ketat terhadap wahyu. Artinya, transaksi ekonomi akan dipandang benar bilamana tidak terdapat larangan dalam wahyu. Berdasarkan perbedaan sumber pengetahuan dan teori kebenaran yang digunakan, maka tentu saja sulit untuk memadukan antara ilmu ekonomi dengan fiqh mu’amalat. Bahkan secara faktual diakui bahwa pemberlakuan sistem ekonomi Islam dalam bidang perbankan dan asuransi hampir sama dengan yang terdapat dalam sistem ekonomi konvensional.

Selanjutnya, dari sudut pandang epistemologi dapat diketahui bahwa ilmu ekonomi diperoleh melalui pengamatan (empirisme) terhadap gejala sosial masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pengamatan yang dilakukan kemudian digeneralisasi melalui premis-premis khusus untuk mengambil kesimpulan yang bersifat umum. Pada tahap ini, ilmu ekonomi menggunakan penalaran yang bersifat kuantitatif . Perubahan dan keajegan yang diamati dalam sistem produksi dan distribusi barang dan jasa kemudian dijadikan sebagai teori-teori umum yang dapat menjawab berbagai masalah ekonomi. Sebagai sebuah contoh dapat dilihat dari teori permintaan (demand) dalam ilmu ekonomi yang berbunyi “apabila permintaan terhadap sebuah barang naik, maka harga barang tersebut secara otomatis akan menjadi naik” . Teori tersebut diperoleh dari pengalaman dan fakta di lapangan yang diteliti secara konsisten oleh para ahli ekonomi. Berdasarkan cara kerja yang demikian, penemuan teori-teori ilmu ekonomi dikelompokkan ke dalam context of discovery .

Berbeda dengan hal itu, fiqh mu’amalat diperoleh melalui penelusuran langsung terhadap Al-Qur’an dan Hadits oleh para fuqaha. Melalui kaedah-kaedah ushuliyah, mereka merumuskan beberapa aturan yang harus dipraktekkan dalam kehidupan ekonomi umat. Rumusan-rumusan tersebut didapatkan dari hasil pemikiran (rasionalisme) melalui logika deduktif. Premis mayor yang disebutkan dalam wahyu selanjutnya dijabarkan melalui premis-premis minor untuk mendapatkan kesimpulan yang baik dan benar. Dengan demikian, fiqh mu’amalat menggunakan penalaran yang bersifat kualitatif . Salah satu contoh yang dapat dikemukakan dalam kasus ini adalah kaedah ushuliyah yang berbunyi “al-ashlu fi al-asyyai al-ibahah illa dalla dalilu ‘ala tahrimihi (asal dari segala sesuatu adalah dibolehkan kecuali dating sebuah dalil yang mengharamkannya). Jika diterapkan dalam ilmu ekonomi, maka seluruh transaksi bisnis pada dasarnya diperbolehkan jika tidak ada nash yang mengharamkannya. Pelarangan terhadap praktek bunga dan riba dalam perbankan konvensional hanya disebabkan adanya beberapa nash yang mengharamkannya (misalnya lihat QS Al-Baqarah:275). Cara kerja seperti ini dalam filsafat ilmu dikenal dengan context of justification .

Munculnya problem epistemologis sebagaimana disebutkan di atas bersumber dari paradigma metodologis yang disusun oleh para ulama mutaqaddimin. Bagi para ulama mutaqaddimin, misalnya, penyelidikan terhadap hukum didasarkan atas prinsip tab’iyyah al-aql li an-naql . Ini berarti bahwa analisis hukum adalah naqli atau analisis teks sesuai dengan anggapan tidak ada hukum di luar teks-teks naqliyah. Sementara itu, mereka tidak pernah mengembangkan suatu metode analisis sosial dan historis yang terartikulasi dengan baik, meskipun Al-Ghazali telah membuat suatu paradigma pemaduan wahyu dan ra’yu dengan mengembangkan teori mashlahat dengan dasar logika induksi yang sesungguhnya memberi peluang bagi pengembangan analisis sosial . Dalam prakteknya, Al-Ghazali kemudian Al-Syatibi sebagai dua tokoh mashlahat dalam hukum Islam akhirnya jatuh juga dalam analisis tekstual seperti ulama-ulama lainnya.

Analisis tekstual tersebut berkembang di kalangan ulama fuqaha secara konsisten dengan metodologi deduksi sebagai pilar utamanya. Padahal, prasyarat perkembangan sebuah ilmu pengetahuan adalah dengan menggabungkan metode deduksi dan induksi secara bersamaan. Salah satu kelebihan Imam Syafi’i atas ulama lainnya justru dapat dilihat dari kepiawaiannya untuk menggabungkan antara metode induksi-deduksi dalam fatwa-fatwanya. Sebagai contoh dapat disebutkan bahwa Imam Syafi’i memerlukan penelitian lapangan untuk menentukan jangka waktu terpendek dan terpanjang dari masa haid seorang wanita. Beliau kemudian mengembangkannya dengan qiyas terhadap masalah lainnya, seperti kewajiban shalat bagi wanita yang masa haidnya melebihi jangka waktu terlama dari seorang wanita normal . Perpaduan antara penelitian lapangan dengan qiyas yang dilakukan Imam Syafi’i tersebut secara tidak langsung mengantarkannya kepada pemaduan antara metode induksi dan deduksi.

Dalam sejarah perkembangan hukum Islam, metode induksi-deduksi juga dilakukan oleh Imam Syafi’i ketika dia melontarkan ijtihad baru berupa qaul jadid untuk menggantikan qaul qadim-nya . Perubahan fatwa Imam Syafi’i itu lebih didasarkan atas perbedaan lingkungan geografis kota Basrah dan kota Mesir. Perbedaan lingkungan geografis itu kemudian disesuaikan dengan kaedah deduktif dalam ilmu ushul fiqh yang berbunyi “taghayyar al-ahkam bi al-taghyar al-azmanah wa al-amkinah.

Perbedaan antara ilmu ekonomi dan fiqh mu’amalat dapat ditelurusi lebih dalam dari aspek aksiologisnya. Ilmu ekonomi pada hakikatnya bertujuan untuk membantu manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya . Sedangkan fiqh mu’amalat berfungsi untuk mengatur hukum kontrak (‘aqad) baik yang bersifat sosial maupun komersil . Secara pragmatis dapat disebutkan bahwa ilmu ekonomi lebih berorientasi materialis, sementara fiqh mu’amalat lebih terfokus pada hal-hal yang bersifat normatif. Atau dengan kata lain, ilmu ekonomi mempelajari teknik dan metode, sedangkan fiqh mu’amalat menentukan status hukum boleh tidaknya sebuah transaksi bisnis .

Realitas di lapangan menunjukkan bahwa aspek aksiologis ilmu ekonomi konvensional dapat saja bertentangan dengan aspek aksiologis fiqh mu’amalat karena sesuatu yang sah dalam transaksi bisnis belum tentu sah dalam pandangan fiqh mu’amalat. Sebagai contoh, modus transaksi kontemporer melalui perantaraan internet tanpa memperlihatkan barang yang dijadikan objek maupun tanpa kehadiran penjual dan pembeli dianggap sah dalam ilmu ekonomi sejauh kedua belah pihak sama-sama menyetujui memorandum of understanding (MOU) yang dibuat sebelumnya. Fiqh mu’amalat dengan sejumlah teorinya belum tentu menerima transaksi tersebut. Sedikitnya terdapat dua kejanggalan dalam transaksi jenis ini. Pertama tidak diperlihatkannya barang yang diperjualbelikan, dan kedua tidak adanya aqad jual beli yang wajib diucapkan secara jelas oleh masing-masing pihak.