Selasa, 10 Februari 2009

tentang hari kiamat

Datangnya hari kiamat adalah suatu kepastian. Hanya saja berita tentang hari kiamat ini terasa asing atau terlupakan bagi sebagian manusia yang hidup mereka tersibukkan dengan bermain-main, lalai, mengenyangkan diri dengan syahwat dunia dan kelezatannya. Kenikmatan dunia berupa harta, anak-anak, dan sebagainya telah melupakan mereka akan pertemuan dengan hari tersebut. Padahal hari kiamat demikian dekatnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَرُ
“Telah dekat hari kiamat dan telah terbelah bulan.” (Al-Qamar: 1)
يَسْأَلُكَ النَّاسُ عَنِ السَّاعَةِ قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ اللهِ وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ السَّاعَةَ تَكُونُ قَرِيبًا
“Manusia bertanya kepadamu tentang (kapan datangnya) hari kiamat. Katakanlah, ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang kapan datangnya hari kiamat itu hanyalah di sisi Allah.’ Dan tahukah kamu (wahai Muhammad) boleh jadi hari kiamat itu sudah dekat waktunya?” (Al-Ahzab: 63)
Sahabat yang mulia Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu mengabarkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
بُعِثْتُ أَناَ وَالسَّاعَةُ كَهاتَيْنِ. وَأَشَارَ بِأَصْبِعَيْهِ السَّبَابَةِ وَالْوُسْطَى
“Diutusnya aku dengan datangnya hari kiamat seperti dua jari ini.” Beliau memberi isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengahnya. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Hari kiamat ini tidak akan menimpa kecuali sejelek-jelek manusia, karena orang-orang yang memiliki iman walaupun sangat tipis telah diwafatkan sebelumnya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengabarkan:
لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ إِلاَّ عَلىَ شِرَارِ النَّاسِ
“Tidak akan datang hari kiamat kecuali pada sejelek-jelek manusia.” (HR. Muslim)
Diawali hari kiamat dengan tiupan sangkakala oleh malaikat Israfil. Maka matilah seluruh penduduk langit dan penghuni bumi kecuali yang Allah Subhanahu wa Ta'ala kehendaki. Kemudian diikuti tiupan kedua maka bangkitlah seluruh manusia dari dalam kuburnya.
وَنُفِخَ فِي الصُّورِ فَصَعِقَ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي اْلأَرْضِ إِلاَّ مَنْ شَاءَ اللهُ ثُمَّ نُفِخَ فِيهِ أُخْرَى فَإِذَا هُمْ قِيَامٌ يَنْظُرُونَ
“Dan ditiuplah sangkakala maka matilah siapa yang di langit dan di bumi kecuali yang Allah kehendaki. Kemudian ditiup lagi tiupan yang lain maka tiba-tiba mereka bangkit dari kubur mereka dalam keadaan menanti (putusannya masing-masing).” (Az-Zumar: 68)
Hari itu adalah hari yang sangat mengerikan. Allah Subhanahu wa Ta'ala menggambarkannya dalam firman-Nya:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ إِنَّ زَلْزَلَةَ السَّاعَةِ شَيْءٌ عَظِيمٌ. يَوْمَ تَرَوْنَهَا تَذْهَلُ كُلُّ مُرْضِعَةٍ عَمَّا أَرْضَعَتْ وَتَضَعُ كُلُّ ذَاتِ حَمْلٍ حَمْلَهَا وَتَرَى النَّاسَ سُكَارَى وَمَا هُمْ بِسُكَارَى وَلَكِنَّ عَذَابَ اللهِ شَدِيدٌ
“Wahai sekalian manusia, bertakwalah kalian kepada Rabb kalian, sesungguhnya goncangan hari kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat besar (dahsyat). Pada hari itu ketika kalian melihat kegoncangan tersebut, lalailah semua wanita yang menyusui anaknya dari anak yang disusuinya dan gugurlah kandungan semua wanita yang hamil dan kalian lihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk, akan tetapi azab Allah itu sangat keras.” (Al-Hajj: 1-2)
Usai tiupan kedua, manusia bangkit dari kubur-kubur mereka dalam keadaan tanpa busana, tanpa alas kaki, dan belum dikhitan. Tidak ada seorang pun yang menoleh kepada yang lain karena kegelisahan yang menyelimuti. Semua dicekam ketakutan! Ketika Aisyah radhiyallahu 'anha mendengar berita ini dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, ia berucap:
ياَ رَسُوْلَ اللهِ، الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ جَمِيْعًا يَنْظُرُ بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ؟ فَقَالَ صلى الله عليه وسلم: الْأَمْرُ أَشَدُّ مِنْ أَنْ يُهِمَّهُمْ ذَلِكَ
“Wahai Rasulullah, para lelaki dan para wanita seluruhnya dikumpulkan dalam keadaan demikian berarti sebagian mereka akan melihat aurat sebagian yang lain?” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, “Perkaranya terlalu dahsyat dari membuat mereka berkeinginan demikian.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Termasuk perkara yang menambah kedahsyatan hari tersebut adalah didekatkannya matahari dengan manusia sehingga peluh mereka bercucuran. Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
يَعْرَقُ النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يَذْهَبَ عَرَقُهُمْ فِي الْأَرْضِ سَبْعِيْنَ ذِرَاعًا وَيُلْجِمُهُمْ حَتَّى يَبْلُغَ آذَانَهُمْ
“Manusia berkeringat pada hari kiamat sampai-sampai keringat mereka bercucuran ke bumi setinggi 70 hasta dan mengekang (menenggelamkan) mereka sampai mencapai telinga-telinga mereka.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Al-Miqdad ibnul Aswad radhiyallahu 'anhu mengabarkan, “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
تُدْنىَ الشَّمْسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنَ الْخَلْقِ حَتَّى تَكُوْنَ مِنْهُمْ كَمِقْدَارِ مِيْلٍ -قَالَ سُلَيْمُ بْنُ عَامِرٍ: فَوَاللهِ، مَا أَدْرِي مَا يَعْنِي بِالْمِيلِ، أَمَسَافَةُ الْأَرْضِ أَمِ الْمِيْلُ الَّذِي تُكْتَحَلُ بِهِ الْعَيْنُ- قَالَ: فَيَكُوْنُ النَّاسُ عَلىَ قَدْرِ أَعْمَالِهِمْ فِي الْعَرَقِ، فَمِنْهُمْ مَنْ يَكُوْنُ إِلَى كَعْبَيْهِ, وَمِنْهُمْ مَنْ يَكُوْنُ إِلَى رُكْبَتَيْهِ, وَمِنْهُمْ مَنْ يَكُوْنُ إِلَى حَقْوَيْهِ, وَمِنْهُمْ مَنْ يُلْجِمُهُ الْعَرَقُ إِلْجَامًا. وَأَشَارَ رَسُوْلُ اللهِ n إِلَى فِيْهِ.
“Didekatkan matahari dengan makhluk (manusia) pada hari kiamat hingga jarak matahari dari mereka seukuran mil.” –Sulaim bin ‘Amir (perawi yang meriwayatkan dari Al-Miqdad, pent.), “Demi Allah, aku tidak tahu apa yang beliau maksudkan dengan mil, apakah ukuran jarak ataukah kayu/alat yang digunakan untuk mencelaki mata.”–Rasulullah bersabda, “Maka manusia (pada saat itu) dibanjiri peluh sesuai kadar amalan mereka. Di antara mereka ada yang keringatnya sampai kedua mata kakinya. Di antara mereka ada yang keringatnya sampai kedua lututnya. Di antara mereka ada yang keringatnya sampai kedua pinggangnya. Dan di antara mereka ada yang benar-benar ditenggelamkan oleh keringatnya.” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberi isyarat ke mulutnya.” (HR. Muslim)
Di saat kebanyakan manusia tersiksa dengan panas yang sangat, peluh yang membanjiri dan ketakutan yang sangat, ada segolongan orang yang dinaungi oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan naungan-Nya. Mereka tidak merasakan apa yang diderita oleh orang-orang lain. Di antara mereka adalah yang dikabarkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya:
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ: إِمَامٌ عَادِلٌ, وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ اللهِ, وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلِّقٌ بِالْمَسَاجِدِ, وَرَجُلاَنِ تَحَابَّا فِي اللهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ, وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصَبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ: إِنِّي أَخَافُ اللهَ, وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لاَ تَعْلَمُ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ, وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ
“Ada tujuh golongan yang Allah naungi dalam naungan-Nya pada hari tidak ada naungan kecuali naungan-Nya. Mereka adalah imam (pemimpin) yang adil, pemuda yang tumbuh dalam beribadah kepada Allah, lelaki yang hatinya selalu terikat/terpaut dengan masjid-masjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah mereka berkumpul karena Allah dan berpisah karena Allah, (kemudian) seorang lelaki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang punya kedudukan dan kecantikan namun ia berkata, “Sungguh aku takut kepada Allah.” (Yang berikutnya) seorang yang bersedekah lalu ia menyembunyikannya sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya dan seseorang yang berzikir (mengingat) Allah dalam keadaan sendirian lalu mengalir air matanya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Saudariku, bayangkanlah kengerian pada hari itu. Manusia berdiri di hadapan Rabbul ‘Alamin untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya selama hidup di dunia.
فَوَرَبِّكَ لَنَسْأَلَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ.عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Maka demi Rabbmu! Kami sungguh-sungguh akan menanyakan kepada mereka seluruhnya, tentang apa yang dulunya mereka amalkan.” (Al-Hijr: 92-93)
Sungguh, tidak ada satu pun yang tersembunyi dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tidak ada seorang pun yang dapat mengingkari ataupun menutupi apa yang dahulunya ia perbuat, karena anggota tubuhnya menjadi saksi.
فَيُخْتَمُ عَلَى فِيْهِ وَيُقَالُ لِفَخِذِهِ وَلَحْمِهِ وَعِظَامِهِ: انْطِقِيْ. فَتَنْطِقُ فَخِذُهُ وَلَحْمُهُ وَعِظَامُهُ بِعَمَلِهِ...
“Maka ditutuplah mulutnya dan dikatakan kepada pahanya, dagingnya dan tulangnya, ‘Berbicaralah!’ Lalu berbicaralah pahanya, daging dan tulangnya mengabarkan tentang amalannya (ketika di dunia)….” (HR. Muslim)
Sahabat Rasul yang bernama ‘Adi bin Hatim radhiyallahu 'anhu mengabarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:
مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ سَيُكَلِّمُهُ رَبُّهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ تَرْجُمَانُ، فَيَنْظُرُ أَيْمَنَ مِنْهُ فَلاَ يَرَى إِلاَّ مَا قَدَّمَ مِنْ عَمَلِهِ، وَيَنْظُرُ أَشْأَمَ مِنْهُ فَلاَ يَرَى إِلاَّ مَا قَدَّمَ، وَيَنْظُرُ بَيْنَ يَدَيْهِ فَلاَ يَرَى إِلاَّ النَّارَ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ، فَاتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ
“Tidak ada seorang pun dari kalian kecuali nanti akan diajak bicara oleh Rabbnya, tanpa ada seorang penerjemah antara dia dengan Rabbnya. Lalu ia memandang ke arah kanannya namun ia tidak melihat kecuali amal yang telah dilakukannya. Ia juga memandang ke arah kirinya, namun ia tidak melihat kecuali amal yang telah dilakukannya. Dan ia memandang ke depannya, namun ia tidak melihat kecuali neraka di hadapan wajahnya. Maka jagalah diri kalian dari neraka walaupun dengan bersedekah sepotong belahan kurma.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Saudariku, termasuk yang menambah kengerian pada hari itu adalah sangat panjangnya hari tersebut. Sebagaimana berita dari Dzat yang Maha Benar pengabaran-Nya:
سَأَلَ سَائِلٌ بِعَذَابٍ وَاقِعٍ. لِلْكَافِرينَ لَيْسَ لَهُ دَافِعٌ. مِنَ اللَّهِ ذِي الْمَعَارِجِ. تَعْرُجُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
“Seseorang telah meminta disegerakannya azab yang pasti terjadi, bagi orang-orang kafir, yang tidak ada seorang pun dapat menolaknya. (Yang datang) dari Allah, Yang mempunyai tempat-tempat naik. Malaikat-malaikat dan Jibril naik menghadap kepada-Nya dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun1.” (Al-Ma’arij: 1-4)
Karenanya, hendaklah kita memikirkan kengerian hari tersebut dan kita harus ingat bahwa keselamatan dari kengeriannya hanyalah didapatkan dengan rahmat Allah, kemudian dengan amalan shalih.
Hari itu semua manusia akan menyesal. Bila ia seorang yang berbuat baik, ia akan menyesal kenapa ia tidak menambah dan memperbanyak kebaikannya. Bila ia seorang yang berbuat jelek, ia akan menyesal kenapa dahulu menyia-nyiakan umurnya dari melakukan amal shalih.
Ingatlah, saat catatan amal beterbangan pada hari tersebut dalam keadaan seseorang tidak tahu apakah ia akan menerima catatannya dengan tangan kanan sehingga ia beroleh kebahagiaan nan abadi, ataukah ia akan menerimanya dengan tangan kiri sehingga ia akan celaka.
فَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ فَيَقُولُ هَاؤُمُ اقْرَءُوا كِتَابِيَهْ. إِنِّي ظَنَنْتُ أَنِّي مُلَاقٍ حِسَابِيَهْ. فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَاضِيَةٍ. فِي جَنَّةٍ عَالِيَةٍ. قُطُوفُهَا دَانِيَةٌ. كُلُوا وَاشْرَبُوا هَنِيئًا بِمَا أَسْلَفْتُمْ فِي الْأَيَّامِ الْخَالِيَةِ. وَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِشِمَالِهِ فَيَقُولُ يَالَيْتَنِي لَمْ أُوتَ كِتَابِيَهْ. وَلَمْ أَدْرِ مَا حِسَابِيَهْ. يَا‎لَيْتَهَا كَانَتِ الْقَاضِيَةَ. مَا أَغْنَى عَنِّي مَالِيَهْ. هَلَكَ عَنِّي سُلْطَانِيَهْ. خُذُوهُ فَغُلُّوهُ. ثُمَّ الْجَحِيمَ صَلُّوهُ. ثُمَّ فِي سِلْسِلَةٍ ذَرْعُهَا سَبْعُونَ ذِرَاعًا فَاسْلُكُوهُ. إِنَّهُ كَانَ لَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ الْعَظِيمِ. وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ. فَلَيْسَ لَهُ الْيَوْمَ هَاهُنَا حَمِيمٌ. وَلَا طَعَامٌ إِلَّا مِنْ غِسْلِينٍ. لَا يَأْكُلُهُ إِلَّا الْخَاطِئُونَ
“Adapun orang-orang yang diberikan kepadanya catatan amaalnya dari sebelah kanannya, maka dia berkata, ‘Ambilllah, bacalah catatan amalku ini. Sungguh aku yakin bahwa aku akan menemui hisab terhadap amalku.’ Maka orang itu berada dalam kehidupan yang diridhai, dalam surga yang tinggi. Buah-buahannya dekat. (Kepada mereka dikatakan), ‘Makan dan minumlah dengan sedap sebagai balasan amalan yang telah kalian kerjakan pada hari-hari yang telah lalu.’ Adapun orang yang diberikan kepadanya catatan amalnya dari sebelah kirinya, maka dia berkata, ‘Wahai, alangkah baiknya bila sekiranya tidak diberikan kepadaku catatan amalku ini. Dan aku tidak mengetahui apa hisab terhadap diriku. Wahai kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala sesuatu. Hartaku sekali-kali tidak memberikan manfaat kepadaku. Telah hilang kekuasaan dariku.’ (Allah berfirman), “Peganglah dia, lalu belenggulah tangannya ke lehernya. Kemudian masukkan dia ke dalam api neraka yang menyala-nyala. Kemudian belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta.’ Sesungguhnya dulu dia tidak beriman kepada Allah Yang Maha Agung. Dan juga tidak mendorong orang lain untuk memberi makan orang miskin. Maka tiada seorang pun teman baginya pada hari ini di sini. Dan tiada pula makanan sedikit pun baginya kecuali berupa darah dan nanah. Tidak ada yang memakannya kecuali orang-orang yang berdosa.” (Al-Haqqah: 19-37)
Ingatlah saudariku, wahai hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta'ala, dengan shirath (titian) yang licin lagi menggelincirkan yang diletakkan di atas punggung Jahannam. Manusia melewatinya sesuai kadar amalannya. Ada yang melewatinya dengan sangat cepat, ada yang lambat perlahan, ada yang merangkak, dan ada yang tersungkur ke dalam api yang menyala-nyala. Kita tak tahu apakah kita termasuk yang selamat melewatinya, ataukah na’udzubillah terperosok ke dalam jurang Jahannam. Kita mohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala keselamatan!
Ingatlah semua ini wahai saudariku! Yakinlah karena ini bukanlah khayalan, sekadar isapan jempol dan dongeng pengantar tidur. Semua yang disebutkan di sini sungguh benar adanya dan pasti datangnya. Perkara-perkara ini dekat, walaupun terasa kehidupan kita panjang.
Apa yang kita persiapkan untuk hari tersebut? Iya, amal shalih…. Dengannya setelah rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala, kita akan selamat dan termasuk orang-orang yang berbahagia. Menjadi penghuni surga yang seluas langit dan bumi.
Ya Allah, ya Arhamar Rahimin, ya Karim! Selamatkanlah kami dari siksa-Mu dan jadikanlah kami termasuk orang-orang yang beruntung dapat mendiami surga-Mu, negeri kemuliaan-Mu. Amin.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 Yang dimaksud adalah hari kiamat menurut salah satu dari empat pendapat yang disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu dalam Tafsirnya (8/174).

status anak hasil zina

Status Anak Zina
[Print View] [kirim ke Teman]

Kami ingin mengajukan beberapa pertanyaan terkait dengan jawaban Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari tentang “Taubat dari Perbuatan Zina”, sebagai berikut:
1. Apa dalil wajibnya istibra` ar-rahim dari bibit seseorang atas seorang wanita yang berzina jika hendak dinikahi?
2. Apa dalil tidak bolehnya menasabkan anak hasil zina tersebut kepada lelaki yang berzina dengan ibunya? Apa dalil tidak bolehnya lelaki tersebut menjadi wali pernikahan anak itu dan bahwa lelaki tersebut bukan mahram anak itu (jika wanita)?
3. Jika kedua orang yang berzina tersebut menikah dalam keadaan wanitanya hamil, bagaimana hukumnya dan bagaimana status anak-anak mereka yang dihasilkan setelah pernikahan? Apakah mereka merupakan mahram bagi anak zina tadi dan bisa menjadi wali pernikahannya?
4. Siapa saja yang bisa menjadi wali pernikahan anak zina tersebut?

(Fulanah di Solo)

Jawab:
Alhamdulillah, wash-shalatu was-salamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi waman walah.
1. Seorang wanita yang berzina dengan seorang lelaki, keduanya berstatus pezina selama belum bertaubat dari perzinaan itu. Maka wanita itu tidak boleh dinikahi oleh siapapun sampai terpenuhi dua syarat berikut:
a. Wanita itu bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan jika yang hendak menikahinya adalah lelaki yang berzina dengannya maka juga dipersyaratkan laki-laki tersebut telah bertaubat. Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam surat An-Nur: 3:
الزَّانِي لاَ يَنْكِحُ إلاَّ زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لاَ يَنْكِحُهَا إِلاَّ زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
“Laki-laki pezina tidaklah menikahi selain wanita pezina atau wanita musyrik, dan wanita pezina tidaklah menikahi selain lelaki pezina atau lelaki musyrik, dan hal itu diharamkan atas kaum mukminin.”
b. Wanita tersebut melakukan istibra` yaitu pembebasan rahim dari bibit lelaki yang telah berzina dengannya. Karena dikhawatirkan lelaki tersebut telah menanam bibitnya dalam rahim wanita itu. Artinya, wanita itu hamil akibat perzinaan itu. Maka wanita itu harus melakukan istibra` untuk memastikan bahwa rahimnya kosong (tidak hamil), yaitu menunggu sampai dia mengalami haid satu kali karena dengan demikian berarti dia tidak hamil. Apabila diketahui bahwa dia hamil maka istibra`-nya dengan cara menunggu sampai dia melahirkan anaknya. Kita tidak mempersyaratkan wanita itu melakukan ‘iddah1 karena sebagaimana kata Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu dalam Asy-Syarhul Mumti’ (5/215, cet. Darul Atsar): “’Iddah adalah hak seorang suami yang menceraikan istrinya. Sedangkan lelaki yang berzina dengannya statusnya bukan suami melainkan fajir/pezina.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata dalam Majmu’ Fatawa (32/112): “Al-Istibra` bukan karena hak kehormatan mani lelaki pertama (yang menzinainya). Akan tetapi untuk hak kehormatan mani lelaki yang kedua (yang hendak menikahinya), karena tidak dibenarkan baginya untuk mengakui seseorang sebagai anaknya dan dinasabkan kepadanya padahal bukan anaknya.”
Demikian pula jika ditinjau dari sisi qiyas, Syaikhul Islam berkata (32/111): “Seorang wanita yang khulu’2 -karena dia bukan wanita yang dicerai-, dia tidak ber-’iddah dengan ‘iddah wanita yang dicerai. Bahkan dia harus melakukan istibra` (membebaskan rahimnya) dan istibra` juga disebut iddah. Maka, wanita yang digauli dengan nikah syubhat dan wanita yang berzina lebih utama untuk melakukan istibra`.”
Syaikhul Islam (32/110) juga berkata: “Karena wanita yang berzina bukanlah istri (yang ditalak) yang wajib untuk melakukan ‘iddah. Dan tidaklah keadaan wanita berzina melebihi keadaan budak wanita yang harus melakukan istibra` sebelum digauli oleh tuannya yang baru. Padahal seandainya dia telah dihamili oleh bekas tuannya maka anaknya dinasabkan kepada bekas tuannya itu. Maka wanita yang berzina (yang seandainya hamil maka anaknya tidak dinasabkan kepada laki-laki yang menzinainya) lebih wajib untuk melakukan istibra`.”
Adapun dalil-dalil tentang istibra` pada budak wanita adalah:
a. Hadits Ruwaifi’ bin Tsabit radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang sabaya (para wanita tawanan perang) pada perang Khaibar:
لاَ يَحِلُّ لِامْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ أَنْ يَسْقِيَ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ –يَعْنِي إِتْيَانَ الْحُبْلَى مِنَ السَّبَايَا- وَأَنْ يُصِيبَ اْمَرْأَةً ثَيِّبًا مِنَ السَّبْيِ حَتَّى يَسْتَبْرِئَهَا
“Tidak halal bagi seorang lelaki yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyiramkan air maninya di ladang orang –yakni menggauli wanita sabaya yang hamil– dan menggauli wanita sabaya yang telah bersuami sampai wanita itu melakukan istibra`.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan dihasankan oleh Al-Bazzar serta Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa` 1/201, 5/141, no. 2137. Hadits ini memiliki syawahid/penguat-penguat)
b. Hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang para sabaya Authas:
لاَ تُؤْطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلاَ غَيْرُ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَحِيضَ حَيْضَةً
“Yang hamil tidak boleh digauli sampai melahirkan, demikian pula yang tidak hamil sampai haid satu kali.” (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh Al-Hakim dan Adz-Dzahabi. Namun yang benar sanadnya lemah karena Syarik bin Abdillah Al-Qadhi hafalannya jelek. Akan tetapi hadits ini memiliki syawahid/penguat-penguat sehingga dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa` no. 187 dan no. 1302)
2. Anak hasil zina tidak dinasabkan kepada lelaki yang menzinai ibu anak tersebut meskipun kita mengetahui bahwa secara hukum kauni qadari anak zina tersebut adalah anaknya. Dalam arti, Allah Subhanahu wa Ta'ala menakdirkan terciptanya anak zina tersebut sebagai hasil percampuran air mani laki-laki itu dengan wanita yang dizinainya. Akan tetapi secara hukum syar’i, anak itu bukan anaknya karena tercipta dengan sebab yang tidak dibenarkan oleh syariat, yaitu perzinaan. Permasalahan ini masuk dalam keumuman sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:
الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ
“Anak yang lahir untuk pemilik kasur (artinya, anak yang dilahirkan oleh istri seseorang atau budak wanitanya adalah miliknya), dan seorang pezina tidak punya hak pada anak hasil perzinaannya.” (Muttafaq ‘alaih dari Abu Hurairah dan ‘Aisyah radhiyallahu 'anha)
Dengan demikian, jika seorang lelaki menghamili seorang wanita dengan perzinaan kemudian dia bermaksud menikahinya dengan alasan untuk menutup aib dan menyelamatkan nasab anak tersebut, maka hal itu haram atasnya dan pernikahannya tidak sah. Karena anak tersebut bukan anaknya menurut hukum syar’i. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama sebagaimana dalam Al-Mughni (6/184-185) dan Syarah Bulughul Maram karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu pada Bab ‘Iddah wal ihdad wal istibra`. Dan ini yang difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Da`imah dalam Fatawa mereka (20/387-389).
Berdasarkan hal ini, seluruh hukum nasab antara keduanya pun tidak berlaku. Di antaranya:
a. Keduanya tidak saling mewarisi.
b. Lelaki tersebut tidak wajib memberi nafkah kepadanya.
c. Lelaki tersebut bukan mahram bagi anak itu (jika dia wanita) kecuali apabila lelaki tersebut menikah dengan ibu anak itu dan telah melakukan hubungan (sah) suami-istri, yang tentunya hal ini setelah keduanya bertaubat dan setelah anak itu lahir, maka anak ini menjadi rabibah-nya sehingga menjadi mahram.
d. Lelaki tersebut tidak bisa menjadi wali anak itu dalam pernikahan (jika dia wanita).
Namun bukan berarti laki-laki tersebut boleh menikahi putri zinanya. Yang benar dalam masalah ini, dia tidak boleh menikahinya, sebagaimana pendapat jumhur yang dipilih oleh Syaikhul Islam dan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin. Karena anak itu adalah putrinya secara hukum kauni qadari berasal dari air maninya, sehingga merupakan darah dagingnya sendiri. Dalil yang paling kuat dalam hal ini adalah bahwasanya seorang laki-laki tidak boleh menikahi anak susuannya yang disusui oleh istrinya dengan air susu yang diproduksi dengan sebab digauli olehnya sehingga hamil dan melahirkan. Kalau anak susuan seseorang saja haram atasnya, tentu seorang anak zina yang berasal dari air maninya dan merupakan darah dagingnya sendiri lebih pantas untuk dinyatakan haram atasnya. (Lihat Majmu’ Fatawa, 32/134-137, 138-140, Asy-Syarhul Mumti’, 5/170)
Para ulama menyatakan bahwa seorang anak zina dinasabkan kepada ibu yang melahirkannya, dan keduanya saling mewarisi. Jadi nasab anak tersebut dari jalur ayah tidak ada. Yang ada hanyalah nasab dari jalur ibunya. Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah bahwasanya suami istri yang melakukan li’an3 di hadapan hakim karena suaminya menuduh bahwa anak yang dikandung istrinya adalah hasil perzinaan sedangkan istrinya tidak mengaku lalu keduanya dipisahkan oleh hakim, maka anak yang dikandung wanita itu dinasabkan kepada ibunya dan terputus nasabnya dari jalur ayah. Sebagaimana dalam hadits Sahl bin Sa’d As-Sa’idi radhiyallahu 'anhu yang muttafaq ‘alaih.
3. Jika kedua orang yang berzina tersebut menikah dalam keadaan wanitanya hamil maka pernikahan itu tidak sah berdasarkan apa yang telah dijelaskan pada jawaban pertama dan kedua. Hanya saja, kalau pernikahan itu dilangsungkan dengan anggapan bahwa hal itu boleh dan sah sebagaimana mazhab sebagian ulama yang berpendapat: “Boleh bagi seorang lelaki yang menghamili seorang wanita dengan perzinaan untuk menyelamatkan nasab anak itu dengan cara menikahinya dalam keadaan hamil, dengan syarat keduanya telah bertaubat dari perzinaan dan diketahui dengan pasti/yakin bahwa yang menghamilinya adalah laki-laki itu”, maka pernikahan itu dikategorikan sebagai nikah syubhat. Artinya, pernikahan itu berlangsung dengan anggapan bahwa hal itu boleh menurut syariat, padahal sebenarnya tidak boleh. Berarti pernikahan itu tidak mengubah status anak hasil perzinaan tersebut sebagai anak zina, dia tetap dinasabkan kepada ibunya dan tidak sah dinasabkan kepada lelaki tersebut. Adapun anak-anak yang dihasilkan setelah nikah syubhat, status mereka sah sebagai anak-anak keduanya4. Akan tetapi wajib atas keduanya untuk berpisah ketika mengetahui hakikat sebenarnya bahwa pernikahan itu tidak sah, sampai keduanya menikah kembali dengan akad nikah yang benar dan sah, tanpa harus melakukan istibra` ar-rahim. Ini adalah jawaban Syaikhuna Al-Faqih Abdurrahman Al-‘Adni hafizhahullah wa syafahu.
Dengan demikian, diketahuilah bahwa hubungan antara anak zina tersebut dengan anak-anak yang lahir dengan nikah syubhat tersebut adalah saudara seibu tidak seayah, yang berarti mereka adalah mahramnya. Namun tidak bisa menjadi wali pernikahannya menurut pendapat jumhur, yang menyatakan bahwa wali pernikahan seorang wanita adalah setiap lelaki yang merupakan ‘ashabah5 wanita itu, seperti ayahnya, kakeknya dari jalur ayah, putranya, anak laki-laki putranya, saudara laki-lakinya yang sekandung atau seayah, pamannya dari jalur ayah dan ‘ashabah lainnya6.
4. Yang menjadi walinya adalah sulthan. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berkata dalam Asy-Syarhul Mumti’ (5/154): “Yang dimaksud dengan sulthan adalah imam (amir) atau perwakilannya.... Adapun sekarang, urusan perwalian ini dilimpahkan oleh pemerintah kepada petugas khusus.”
Di negeri kita, mereka adalah para petugas (penghulu) Kantor Urusan Agama (KUA). Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu 'anha, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ ... فَإِنِ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ
“Siapa saja wanita yang menikah tanpa izin dari walinya maka pernikahannya batil…, dan jika para wali berselisih untuk menikahkannya maka sulthan adalah wali bagi seorang wanita yang tidak punya wali.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Abu ‘Awanah, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al-Albani dalam Al-Irwa` (no. 1840) dan guru besar kami Al-Wadi’i dalam Ash-Shahihul Musnad (2/493))
Ash-Shan’ani rahimahullahu berkata dalam Subulus Salam (3/187): “Hadits ini menunjukkan bahwa sulthan adalah wali bagi seorang wanita yang tidak punya wali dalam pernikahan, baik karena memang tidak ada walinya atau walinya ada namun tidak mau menikahkannya7.”
Jika ada yang bertanya: Bukankah ibu seorang anak zina dan ‘ashabah ibunya merupakan ‘ashabah bagi anak zina itu sebagaimana pendapat sebagian ulama? Tidakkah mereka dianggap sebagai wali?
Jawabannya: Ibnu Qudamah rahimahullahu dalam Al-Mughni (6/183) menerangkan bahwa kedudukan mereka sebagai ‘ashabah anak zina itu hanya dalam hal waris semata dan tidak berlaku dalam perkara perwalian nikah. Karena hubungan nasab mereka hanya melalui jalur ibu, sehingga tidak ada hak perwalian untuk mereka.
Wallahu a’lam bish-shawab.

1 ‘Iddah adalah masa penantian yang diatur oleh syariat bagi seorang wanita yang diceraikan oleh suaminya, yaitu selama tiga kali masa haid. Adapun jika diceraikan dalam keadaan hamil maka ‘iddah-nya sampai melahirkan.
2 Khulu’ adalah perpisahan suami-istri karena permintaan istri yang disertai dengan pembayaran ganti (harta) dari pihak istri.
3 Li’an adalah persaksian demi Allah yang diucapkan empat kali oleh masing-masing suami dan istri yang dikuatkan dengan sumpah untuk pembelaan diri masing-masing, kemudian yang kelima kalinya: disertai pernyataan dari suami bahwa laknat Allah Subhanahu wa Ta'ala atas dirinya jika dia berdusta menuduh istrinya berzina, dan disertai pernyataan dari istri bahwa murka Allah Subhanahu wa Ta'ala atasnya dirinya jika suaminya benar.
4 Pendapat bahwa anak hasil nikah syubhat sah sebagai anak adalah pendapat Al-Imam Ahmad, Al-Imam Asy-Syafi’i, dan yang lainnya, dipilih oleh Syaikhul Islam, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, dan Al-Lajnah Ad-Da`imah. Lihat Al-Mughni (7/288), Majmu’ Fatawa (32/66-67), Asy-Syarhul Mumti’ (5/641, cet. Darul Atsar) dan Fatawa Al-Lajnah (28/387).
5 Yaitu seluruh lelaki yang mewarisi harta wanita itu tanpa ada ketetapan bagian tertentu, melainkan mewarisi secara ta’shib. Artinya jika ahlul fardh (ahli waris yang telah ditentukan bagiannya) telah mengambil haknya maka harta warisan yang tersisa akan diwarisi oleh ‘ashabah, atau jika tidak ada ahlul fardh maka mereka yang mewarisi seluruh hartanya.
6 Lihat mazhab jumhur tentang wali pernikahan seorang wanita dalam Mukhtasar Al-Khiraqi bersama Al-Mughni (6/319-322), Fathul Bari (9/187), Nailul Authar (6/120), Subulus Salam (3/185), Asy-Syarhul Mumti’, (5/145-154).
7 Yaitu tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat.

jual beli pulsa elektrik

Tanya Jawab: Transaksi Jual Beli Pulsa Elektrik
February 9, 2009 — pakisbintaro

Pertanyaan:
Sering terjadi pada transaksi jual beli pulsa elektronik 2 keadaan
berikut ini :

1. si pembeli telah menuliskan nomor HP yg akan diisi pulsa
elektronik pada secarik kertas, kemudian si penjual mengisikan pulsa
ke nomor yg sesuai dengan yg ditulis oleh si pembeli, namun ternyata
setelah diisi pulsa oleh si penjual ternyata nomor yang ditulis oleh
si pembeli salah (si pembeli melakukan kesalahan menulis nomor).
karena si penjual telah mengeluarkan pulsanya maka si penjual tetap
meminta bayaran kepada si pembeli. (karena kesalahan si pembeli)

2. si pembeli ingin membeli pulsa dengan nominal tertentu (misal
10rb), namun si penjual mengisikan pulsa dengan nominal yang lain yg
lebih besar (msial 20rb) (si penjual melakukan kesalahan pengisian
pulsa), kemudian si penjual tetap meminta bayaran sesuai dengan harga
nominal yg telah ia keluarkan (sedangkan hal ini karena kesalahan si
penjual)

soal : bagaimana hukum transaksi dari kedua kejadian tersebut ?

Jawaban oleh Ustadz Dzulqarnain

Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh

Al-Akh Azhar Fanani -waffaqakallah- , Jawaban pertanyaan antum adalah sebagai berikut:

Pertama, Sebuah transaksi yang sudah jelas aturannya, kemudian terjadi kesalahan seperti apa yang antum sebutkan, maka si pembeli yang menanggung kesalahan tersebut, karena kesalahan berasal dari pihaknya.

Kedua, Kesalahan yang antum sebutkan tentunya dari pihak penjual. Tapi kelebihan pulsa juga masih merupakan milik penjual dan tidak halal mengambil milik orang lain tanpa keridhaan darinya. Karena itu wajib atas pembeli untuk mengembalikan kelebihan pulsa tersebut, atau membayarnya, atau ada kesepakatan damai antara kedua pihak.

Wallahu A’lam

siapa ahlussunnah wal jamaah

Ahlussunnah wal Jama’ah, Siapakah Mereka
posted in Aqidah & Manhaj |

Penulis: Al-Ustadz Dzulqarnain bin Muhammad Sunusi

Mengetahui siapa Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah perkara yang sangat penting dan salah satu bekal yang harus ada pada setiap muslim yang menghendaki kebenaran sehingga dalam perjalanannya di muka bumi ia berada di atas pijakan yang benar dan jalan yang lurus dalam menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala sesuai dengan tuntunan syariat yang hakiki yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu `alaihi wasallam empat belas abad yang lalu.

Pengenalan akan siapa sebenarnya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah telah ditekankan sejak jauh-jauh hari oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada para sahabatnya ketika beliau berkata kepada mereka :

افْتَرَقَتِ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَإِنَّ أُمَّتِيْ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً وَهِيَ الْجَمَاعَةُ

“Telah terpecah orang–orang Yahudi menjadi tujuh puluh satu firqoh (golongan) dan telah terpecah orang-orang Nashoro menjadi tujuh puluh dua firqoh dan sesungguhnya umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga firqoh semuanya dalam neraka kecuali satu dan ia adalah Al-Jama’ah”. Hadits shohih dishohihkan oleh oleh Syaikh Al-Albany dalam Dzilalil Jannah dan Syaikh Muqbil dalam Ash-Shohih Al-Musnad Mimma Laisa Fi Ash-Shohihain -rahimahumullahu-.

Demikianlah umat ini akan terpecah, dan kebenaran sabda beliau telah kita saksikan pada zaman ini yang mana hal tersebut merupakan suatu ketentuan yang telah ditakdirkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala Yang Maha Kuasa dan merupakan kehendak-Nya yang harus terlaksana dan Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Mempunyai Hikmah di belakang hal tersebut.

Syaikh Sholeh bin Fauzan Al-Fauzan -hafidzahullahu- menjelaskan hikmah terjadinya perpecahan dan perselisihan tersebut dalam kitab Lumhatun ‘Anil Firaq cet. Darus Salaf hal.23-24 beliau berkata : “(Perpecahan dan perselisihan-ed.) merupakan hikmah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala guna menguji hamba-hambaNya hingga nampaklah siapa yang mencari kebenaran dan siapa yang lebih mementingkan hawa nafsu dan sikap fanatisme.

ألم أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُوْلُوْا آمَنَّا وَهُمْ لاَ يُفْتَنُون وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِين(العنكبوت 1-3 َ

“Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (begitu saja) mengatakan : “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sungguh Allah Maha Mengetahui orang-orang yang benar dan sungguh Dia Maha Mengetahui orang-orang yang dusta”. (QS. Al-‘Ankabut : 29 / 1-3).

Dan Allah berfirman :

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلاَ يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ إِلاَّ مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ وَلِذَلِكَ خَلَقَهُمْ وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ لَأَمْلَأَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan : “Sesungguhnya Aku akan memenuhi Neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya”. (QS. Hud : 10 / 118-119)

وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَمَعَهُمْ عَلَى الْهُدَى فَلاَ تَكُونَنَّ مِنَ الْجَاهِلِينَ (اللأنعام : 35)

“Dan kalau Allah menghendaki tentu saja Allah menjadikan mereka semua dalam petunjuk, sebab itu janganlah kamu sekali-kali termasuk orang-orang yang jahil”. (QS. Al-‘An’am : 6 / 35).”

Dan Allah ’Azza wa Jalla Maha Bijaksana dan Maha Merahmati hambaNya. Jalan kebenaran telah dijelaskan dengan sejelas-jelasnya sebagaimana dalam sabda Rasululullah Shallallahu`alaihi wasallam:

قَدْْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْمَحَجَّةِ الْبَيْضَاءِ لَيْلِهَا كَنَهَارِهَا لاَ يَزِيْغُ عَنْهَا بَعْدِيْ إِلاَّ هَالِكٌ

“Sungguh saya telah meninggalkan kalian di atas petunjuk yang sangat terang malamnya seperti waktu siangnya tidaklah menyimpang darinya setelahku kecuali orang yang binasa”. Hadits Shohih dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Dzilalul Jannah.

Dan dalam hadits ‘Abdullah bin Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu- :

خَطَّ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا خَطًّا ثُمَّ قَالَ هَذَا سَبِيْلُ اللهِ ثُمَّ خَطَّ خُطُوْطًا عَنْ يَمِيْنِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ هَذِهِ سُبُلٌ عَلَى كُلِّ سَبِيْلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُوْ إِلَيْهِ ثُمَّ تَلاَ ] وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِيْ مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُ وَلاَ تَتَّبِعُوْا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهِ [

“Pada suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggaris di depan kami satu garisan lalu beliau berkata : “Ini adalah jalan Allah”. Kemudian beliau menggaris beberapa garis di sebelah kanan dan kirinya lalu beliau berkata : “Ini adalah jalan-jalan, yang di atas setiap jalan ada syaithon menyeru kepadanya”. Kemudian beliau membaca (ayat) : “Dan sesungguhnya ini adalah jalanKu maka ikutilah jalan itu dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain) maka kalian akan terpecah dari jalanNya”.

hukum merayakan valentine's Day

Hari ‘kasih sayang’ yang dirayakan oleh orang-orang Barat pada tahun-tahun terakhir yang disebut “Valentine’s Day” amat populer dan merebak di berbagai pelosok Indonesia. Terlebih lagi di saat menjelang bulan Februari di mana banyak kita temui simbol-simbol atau iklan-iklan tidak syar’i demi mewujudkan dan mengekspos (mempromosikan) hari Valentine. Berbagai tempat hiburan bermula dari diskotik, hotel-hotel, organisasi-organisasi dan kelompok-kelompok kecil, mereka berlomba-lomba menawarkan acara untuk merayakan Valentine. Dengan dukungan (pengaruh) media massa seperti surat kabar, radio, televisi, dan yang lainnya. Sebagian besar kaum muslimin juga turut dicekoki (dihidangkan) dengan berbagai slogan dan iklan-iklan Valentine’s Day.

Berbicara tentang sejarah Valentine, ada berbagai versi menceritakan tentang asal mula ajaran ini. Namun semua berita tersebut tanpa disertai sanad yang jelas untuk dapat mengecek keabsahan riwayatnya. Sekedar untuk diketahui, bahwa di antara mereka ada yang menyebutkan bahwa dahulu, seorang pemimpin agama Katolik bernama Valentine bersama rekannya Santo Marius secara diam-diam menentang pemerintahan Kaisar Claudius II kala itu. Pasalnya, kaisar tersebut menganggap bahwa seorang pemuda yang belum berkeluarga akan lebih baik performanya ketika berperang. Ia melarang para pemuda untuk menikah demi menciptakan prajurit perang yang potensial.

Nah, Valentine tidak setuju dengan peraturan tersebut. Ia secara diam-diam tetap menikahkan setiap pasangan muda yang berniat untuk mengikat janji dalam sebuah perkawinan. Hal ini dilakukannya secara rahasia.

Lambat laun, aksi yang dilakukan oleh Valentine pun tercium oleh Claudius II. Valentine harus menanggung perbuatannya. Ia dijatuhi hukuman mati. Ada sebuah sumber yang menceritakan bahwa ia mati karena menolong orang-orang Kristen melarikan diri dari penjara akibat penganiayaan.

Dalam cerita tersebut, Valentine didapati jatuh hati kepada anak gadis seorang sipir, penjaga penjara. Gadis yang dikasihinya senantiasa setia untuk menjenguk Valentine di penjara kala itu. Tragisnya, sebelum ajal tiba bagi Valentine, ia meninggalkan pesan dalam sebuah surat untuknya.

Menurut cerita tersebut, Ada tiga buah kata yang tertulis sebagai tanda tangannya di akhir surat dan menjadi populer hingga saat ini–‘From Your Valentine’. Ekspresi dari perwujudan cinta Valentine terhadap gadis yag dicintainya itu masih terus digunakan oleh orang-orang masa kini. Akhirnya, sekitar 200 tahun sesudah itu, Paus Gelasius meresmikan tanggal 14 Febuari tahun 496 sesudah Masehi sebagai hari untuk memperingati Santo Valentine.

Versi lain tentang Valentine dimulai pada zaman Roma kuno tanggal 14 Febuari. Ini merupakan hari raya untuk memperingati Dewi Juno. Ia merupakan ratu dari segala dewa dan dewi kepercayaan bangsa Roma. Orang Romawi pun mengakui kalau dewi ini merupakan dewi bagi kaum perempuan dan perkawinan. (dari berbagai sumber)

Namun yang jelas, bahwa ini bukan berasal dari Islam, namun lebih mendekati sebuah tradisi yang bernuansa Kristiani dari Roma Kuno. Jika demikian keadaannya, maka ini sudah cukup bagi Kaum Muslimin menyadari bahwa hal itu tidak ada hubungannya dengan Islam sama sekali, dan menyerupai kebiasaan orang-orang kafir.

Berikut ini, kami akan nukilkan beberapa fatwa para ulama yang menjelaskan tentang perayaan tersebut.

Fatwa Lajnah Da’imah (Lembaga Fatwa Arab Saudi)
Fatwa Lembaga Tetap untuk Pembahasan Ilmiah dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi
Fatwa nomor (21203), tanggal: 23-11-1320H

Segala puji bagi Allah semata, shalawat dan salam atas hamba yang tidak ada nabi setelahnya. Amma ba’du:

Lembaga Tetap untuk Pembahasan Ilmiah dan Fatwa telah menelaah apa yang telah disampaikan kepada yang terhormat Mufti Umum, dari yang meminta fatwa: Abdullah bin Aalu Rabi’ah, dan disampaikan kepada Lembaga Seksi Amanah Umum - Lembaga Kibaarul Ulama (ulama besar), nomor: 5324, tanggal: 3-11-1420H.

Yang memohon fatwa menyampaikan pertanyaan yang teksnya sebagai berikut:

“Sebagian manusia ada yang merayakan hari ke 14 dari bulan Februari setiap tahun dengan hari kasih sayang “valentine’s day” (hari valentine). Dimana mereka saling memberi hadiah berupa mawar merah dan memakai pakaian berwarna merah, dan mereka saling memberi selamat, dan sebagian warung/restoran pembuat kue membuat kue dengan warna merah, lalu diberi gambar hati di atasnya. Sebagian toko ada yang memberi beberapa pemberitahuan di sebagian barang dagangannya yang berkenaan dengan kekhususan hari tersebut. Maka apa pendapatmu tentang:

- hukum merayakan hari tersebut?

- Membeli dari toko-toko tersebut pada hari itu?

- Sebagian toko (yang tidak merayakan hari itu) menjual kepada yang merayakannya sebagian apa yang dihadiahkan di hari tersebut?

Semoga Allah membalas kebaikanmu.”

Setelah lembaga mempelajari pertanyaan tersebut, maka lembaga ini menjawab bahwa telah ditunjukkan berdasarkan dalil-dalil yang jelas dari Al-kitab dan As-sunnah, dan telah sepakat umat ini atasnya, bahwa hari raya di dalam Islam hanyalah dua: yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Adapun selain keduanya dari berbagai perayaan apakah yang berhubungan dengan seseorang, sekelompok orang, atau satu kejadian, atau dengan makna apa saja, maka itu merupakan perayaan-perayaan yang bid’ah, tidak boleh bagi Kaum Muslimin melakukannya, menyetujuinya, dan menampakkan kegembiraan dengannya, atau membantunya dengan sesuatu. Sebab hal tersebut termasuk ke dalam sikap melanggar batasan-batasan Allah, dan barangsiapa yang melanggar batasan-batasan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, maka sungguh dia telah menzhalimi dirinya sendiri. Apabila perayaan yang diada-adakan tersebut berasal dari perayaan orang-orang kafir, maka ini berarti dosa di atas dosa, sebab menyerupai mereka, dan itu merupakan bentuk loyalitasnya kepada mereka. Dan sungguh Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah melarang Kaum Mukminin menyerupai mereka dan bersikap loyal kepada mereka dalam kitab-Nya yang agung. Dan telah shahih dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bahwa beliau bersabda:

من تشبه بقوم فهو منهم

“Barangsiapa yang menyerupai satu kaum, maka dia termasuk mereka.” (HR.Abu Dawud dari Abdullah bin Umar)

Hari kasih sayang termasuk diantara jenis perayaan yang disebutkan, sebab ia termasuk di antara perayaan berhala Nashrani. Maka tidak halal bagi seorang muslim yang beriman kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan hari akhir melakukannya, atau menyetujuinya, atau mengucapkan selamat, namun yang wajib adalah meninggalkannya dan menjauhinya, sebagai wujud menjawab panggilan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, dan menjauhkan diri dari berbagai sebab yang mendatangkan kemurkaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan siksaan-Nya. Sebagaimana pula diharamkan atas seorang muslim membantu perayaan tersebut, atau yang lainnya dari berbagai perayaan yang diharamkan, dengan jenis apapun, baik berupa makanan, minuman, menjual, membeli, membuat, hadiah, saling berkirim surat, atau pemberitahuan, atau yang lainnya. Sebab itu semua termasuk ke dalam sikap saling tolong menolong di atas dosa dan permusuhan, dan kemaksiatan kepada Allah dan rasul-Nya. Dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُواْ اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Maidah: 2)

Wajib atas seorang muslim berpegang teguh dengan Kitabullah dan As-Sunnah dalam setiap keadaannya, terlebih lagi pada waktu-waktu terjadinya fitnah dan banyak terjadi kerusakan. Dan hendaklah seseorang mengerti dan berhati-hati dari terjatuh ke dalam berbagai kesesatan orang-orang yang dimurkai dan orang-orang yang sesat yang fasiq yang yang tidak percaya akan kebesaran Allah, dan mememiliki peduli terhadap Islam. Wajib atas setiap muslim untuk berlindung kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan memohon hidayah kepada-Nya, dan kokoh di atas agamanya, karena tidak ada yang dapat memberi hidayah kecuali Allah, dan tidak ada yang dapat memberi kekokohan kecuali Dia Subhanahu Wa Ta’ala. Dan hanya kepada Allah kita meminta taufiq. Shalawat dan salam atas Nabi kita Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, keluarganya, dan para shahabatnya.

Lembaga Tetap untuk Pembahasan Ilmiah dan Fatwa
Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Muhammad Alus Syaikh
Anggota:
- Shalih bin Fauzan Al-Fauzan
- Abdullah bin Abdurrahman Al-Ghudayyan
- Bakr bin Abdullah Abu Zaid

Fatwa Muhammad bin Saleh Al-Utsaimin

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya:

“Telah menyebar pada masa-masa akhir ini perayaan ” kasih saying ” (valentine’s day), lebih terkhusus para pelajar wanita, dan ini termasuk di antara hari raya kaum Nashara, dan semuanya diberi model dengan warna merah, baik pakaian, sepatu, dan mereka saling bertukar bunga-bunga berwarna merah. Kami harap dari engkau -yang kami muliakan- penjelasan tentang hukum merayakan hari raya ini, dan apa nasehat engkau kepada Kaum Muslimin dalam perkara-perkara seperti ini? Semoga Allah menjaga dan memeliharamu.

Beliau menjawab: Merayakan hari kasih sayang (valentine’s day) tidak boleh, ditinjau dari beberapa sisi:

Pertama: bahwa itu merupakan perayaan bid’ah, tidak ada asalnya dalam syari’at.

Kedua: bahwa hal tersebut mengantarkan kepada cinta buta dan kerinduan (kepada lawan jenis bukan mahram).

Ketiga: hal tersebut mengantarkan kepada tersibukkannya hati dalam urusan-urusan rendah seperti ini, yang menyelisihi bimbingan salafus shalih.

Maka tidak dihalalkan pada hari ini muncul sesuatu yang itu merupakan bentuk syi’ar terhadap perayaan tersebut, apakah dalam hal makanan, minuman, pakaian, atau saling memberi hadiah, atau yang lainnya.

Wajib bagi seorang muslim merasa mulia dengan agamanya dan jangan dia menjadi seorang yang tidak punya pegangan, mengikuti setiap ada orang yang berteriak (mengajak kepada sesuatu). Aku memohon kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar memberi perlindungan kepada Kaum Muslimin dari segala fitnah yang zhahir maupun yang batin dan semoga Dia senantiasa menolong kita dengan pertolongan dan taufiqNya.

(dari Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah: 16/199)

Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala senantiasa memberi hidayah kepada kaum muslimin dan dipelihara dari tipuan setan yang berusaha memalingkan manusia dari jalan-Nya. Amin

tiga pondasi ummat

Tiga Pondasi Umat
Oleh: Dr. Attabiq Luthfi, MA
Kirim

dakwatuna.com - “Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat ihsan, serta memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran” (An-Nahl: 90).

Ayat ini merupakan diantara sekian ayat yang terbilang paling akrab di telinga kaum muslimin karena biasa dijadikan ayat penutup yang dibaca oleh khatib sebelum mengakhiri khutbah jum’at atau khutbah hari raya. Secara cermat ditemukan bahwa redaksi ayat ini bersifat umum, karena perintah Allah dalam ayat ini tidak ditujukan kepada sasaran tertentu, misalnya “Ya’murukum” (memerintah kalian) seperti dalam ayat-ayat yang lain, tetapi cukup dengan kata “Ya’muru” (memerintah). Sehingga ayat ini harus dipahami sebagai ayat universal yang mengikat seluruh hamba Allah tanpa ada beban fanatisme golongan, ideologi, suku bangsa dan sebagainya. Karena secara fithrah memang manusia dilahirkan membawa prinsip-prinsip kebaikan yang diperintahkan dalam ayat ini dan membenci perilaku keburukan yang dicegah dalam ayat ini. Bahkan dengan tegas -karena melihat kandungan yang terangkum di dalam ayat ini- Abdullah bin Mas’ud ra sampai menyimpulkan bahwa ayat ini adalah ayat yang paling komprehensif (yang paling luas cakupannya) di dalam Al-Qur’an tentang kebaikan-kebaikan yang diperintahkan dan keburukan-keburukan yang harus dicegah.

Bagi Utsman bin Madh’un, ayat ini memiliki keistimewaan dan kesan tersendiri. Pada mulanya, ia memeluk Islam hanya karena malu dengan Rasulullah saw. Namun ketika ia berada di sisi Rasulullah saw dan ikut menyaksikan peristiwa saat ayat ini turun, ia merasakan satu kekuatan iman yang menembus ke dalam hatinya. Ia mulai yakin akan keagungan prinsip-prinsip hidup dan kehidupan yang akan ditegakkan oleh Islam dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bahkan berbangsa dan bernegara.

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad mengenai sebab turun ayat ini, bahwa Abdullah bin Abbas menceritakan, “Ketika Rasulullah saw sedang duduk di halaman rumahnya, tiba-tiba Utsman bin Madh’un melintas di depan. Maka Rasulullah memanggilnya dan mengajaknya duduk bersama. Namun ketika sedang berlangsung pembicaraan diantara keduanya, tiba-tiba Rasulullah menengadahkan pandangannya ke langit beberapa saat, kemudian menundukkan kepalanya dan bergeser dari tempat duduknya ke sebelah kanan. Beliau menganggukkan kepala seakan-akan mengiyakan apa yang disampaikan kepadanya. Selang beberapa saat, beliau kembali mengangkat pandangannya ke langit seperti yang terjadi pada kali pertama, lantas beliau kembali ke tempat duduknya di samping Utsman bin Madh’un. Maka melihat kejadian yang tidak biasa tersebut, Utsman bertanya kepada Rasulullah saw, “Hai Muhammad, kenapa aku melihat engkau tadi mengangkat pandanganmu ke langit dan mengangguk-anggukan kepala seakan-akan mengiayakan sesuatu dan engkau bergeser menjauh dariku?”. Rasulullah balik bertanya, “Apakah engkau tadi memperhatikan apa yang terjadi?”. Utsman menjawab singkat, “Ya”. Rasulullah berkata, “Telah datang kepadaku tadi seorang Rasul Allah”. Dengan nada terkejut Utsman bertanya, “Seorang Rasul Allah?”. Rasulullah menjawab, “Benar”. Utsman bertanya lagi, “Apakah yang ia sampaikan kepadamu?”. Rasulullah menjelaskan, “Ia datang membawa wahyu kepadaku” Lantas Rasulullah membacakan surah An-Nahl ayat 90″.

Dalam riwayat Al-Qurthubi, setelah kejadian ini, dengan modal keyakinan yang mendalam Utsman bin Madh’un lantas membacakan ayat ini kepada Al-Walid bin Al-Mughirah, seorang yang sangat dikenal piawai dalam dalam bidang sastra di kalangan orang-orang Arab pada masa itu. Demi mendengar ayat tersebut dibacakan kepadanya, spontan keluar dari lisannya pernyataan yang memeranjatkan semua orang, termasuk para pemuka Quraisy yang memang menaruh dendam kepada Rasulullah, “Demi Allah, sungguh Al-Qur’an ini memiliki kelezatan dan keindahan. Di atasnya berbuah dan di bawahnya berakar, dan ini bukanlah kata-kata manusia”. Bahkan diriwayatkan bahwa Al-Walid meminta Utsman untuk mengulangi bacaan ayat ini.

Berdasarkan komprehensifitas kandungan ayat ini, terdapat tiga prinsip yang terangkum di dalamnya yang ditawarkan oleh Al-Qur’an agar dijadikan landasan dalam upaya membangun umat dan menata sebuah masyarakat, yaitu prinsip keadilan, prinsip ihsan dan prinsip takaful yang dicontohkan dalam skala mikro dengan memberi bantuan kepada kaum kerabat. Ketiga sendi ini merupakan landasan aplikatif untuk membendung dan mengantisipasi gerak Al-Fahsya’ yaitu segala perbuatan yang didasarkan pada pemenuhan hawa nafsu, seperti zina, minuman yang memabukkan dan sebagainya. Al-Munkar, yaitu perbuatan buruk yang bertentangan dengan akal sehat, seperti mencuri, merampok dan tindakan aniaya lainnya. Al-Baghyu, yaitu tindakan yang mengarah kepada permusuhan, seperti kezaliman, tindakan sewenang-wenang dan sebagainya. Ketiga kekuatan perusak ini merupakan penyakit masyarakat yang akan senantiasa merongrong keutuhan dan eksistensi umat. Karenanya, sebuah masyarakat tidak mungkin bisa tegak di atas dasar kekejian, kemungkaran dan permusuhan. Demikian juga, sebuah masyarakat yang telah tersebar di tengah-tengahnya perbuatan keji dengan segala warna dan kemasannya, kemungkaran dengan segala daya tariknya dan permusuhan dengan segala bentuknya tidak akan mungkin bangkit dari keterpurukan dan senantiasa berada dalam kesengsaraan.

Ibnu Katsir mengomentari bahwa dalam ayat ini Allah memerintahkan semua hamba-hambaNya agar menjunjung tinggi nilai keadilan dan keseimbangan dalam semua urusan dan selanjutnya menganjurkan bersikap ihsan dalam setiap perbuatan. Maka ayat ini merupakan dalil akan perintah berlaku adil dan anjuran untuk bersikap ihsan. Sedangkan hubungan yang ketara antara adil dan ihsan adalah bahwa keadilan merupakan sebuah kewajiban syariat, sedangkan ihsan merupakan sikap yang lebih di atas sikap adil. Karenanya berusaha mencapai derajat ihsan dalam semua perbuatan merupakan satu hal yang sangat dianjurkan.

Berbeda dengan Syekh Abu Hamid Al-Ghozali. Ia menuturkan pandangannya tentang konsep adil dan ihsan sebagai sebuah perintah yang harus dilaksanakan secara bersamaan. Ia menyatakan bahwa melalui ayat ini, Allah memerintahkan hambaNya agar bersikap adil dan ihsan secara bersamaan. Karena sikap adil hanya akan membawa kepada keselamatan. Seperti halnya dalam aktifitas perniagaan, hanya mengembalikan modal. Sedangkan sikap ihsanlah yang akan memberikan kemenangan dan kebahagiaan. Yaitu keuntungan yang lebih dari modal dalam konteks perniagaan. Sehingga, sepatutnya seorang hamba Allah tidak cukup berpuas hati karena hanya mampu melaksanakan adil tanpa dibarengi dengan ihsan. Oleh karenanya, Allah menggandengkan kedua sikap ini dalam ayatNya. Bahkan, Allah justru banyak memuji sikap ihsan di dalam ayat-ayatNya. Diantaranya, “Sesungguhnya mereka yang beriman dan beramal saleh, tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya) dengan ihsan”. (Al-Kahfi: 30). “Dan berbuat ihsanlah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat ihsan kepadamu”. (Al-Qashash: 77)

Dalam konteks ini, Sayid Qutb memaparkan pemahaman tafsirnya dengan pendekatan ijtima’i yang menjadi ciri khas tafsirnya, bahwa di ayat inilah Al-Qur’an datang dengan membawa mabadi’ (prinsip-prinsip) yang akan menguatkan simpul-simpul yang terjalin di dalam sebuah masyarakat yang akan menjadi penenang bagi setiap individu, umat dan bangsa. Allah mengawalinya dengan prinsip Al-Adl yang harus dijadikan penopang sebagai kaidah yang baku dalam pergaulan sehari-hari. Terlebih lagi, prinsip Al-Adl di dalam ayat ini digandengkan dengan Al-Ihsan untuk melembutkan ketajaman keadilan yang solid. Karena kata Ihsan lebih luas penunjukannya. Maka ihsan mencakup seluruh sendi-sendi kehidupan dari hubungan seorang hamba dengan Rabbnya, hubungan dengan keluarganya, masyarakatnya dan dengan kemanusiaan dalam arti yang luas.

Menurut susunan kalimat dalam ayat ini, penyebutan “Ita’idzil Qurba” (memberi kepada kaum kerabat) setelah Al-Adl dan Al-Ihsan adalah untuk menunjukkan bentuk konkret salah satu dari perbuatan ihsan. Penyebutan khusus kalimat ini hanyalah dalam konteks ta’dzim (pengagungan) terhadap hubungan dengan kaum kerabat dan sebagai ta’kid (penegasan) terhadap konsep ihsan tersebut yang bisa dilakukan secara bertahap, dari wilayah yang paling dekat sampai ke wilayah yang jauh yang meliputi seluruh anggota masyarakat.

Betapa paksi keadilan, ihsan dan takaful dalam struktur bangunan masyarakat ini terasa semakin lenyap dan hilang dari kesehariannya, baik dalam skala pribadi, keluarga maupun masyarakat. Kalaupun ada, masih sangat terbatas dan sangat rapuh. Sedangkan tiga kekuatan penghancur yang tampil dalam kemasan kekejian, kemungkaran dan permusuhan justru semakin menunjukkan eksistensi kekuatannya di tengah umat yang sedang berusaha bangkit dari keterpurukan. Tiga kekuatan ini muncul serentak dalam beragam bentuk dan warnanya. Cukuplah ayat ini menjadi wejangan yang sangat berharga untuk mengembalikan izzatul Islam wal Muslimin. “Dia (Allah) memberi pengajaran kepadamu (dengan ayat ini) agar kamu dapat mengambil pelajaran.” Allahu a’lam

Agar amal tak sia sia

Agar Amal Tidak Sia-Sia
Oleh: Dr. Attabiq Luthfi, MA
Kirim

dakwatuna.com - “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah, juga taatlah kalian kepada RasulNya, dan janganlah kalian mensia-siakan (pahala) amal kalian“. (Muhammad: 33)

Memang Ramadhan dalam konteks waktu dan salah satu dari bulan Allah sudah berlalu meninggalkan kita. Namun semangat dan nilai Ramadhan sepatutnya tetap hadir menyertai keseharian kita. Ramadhan bukan “satu-satunya” bulan untuk beramal dan bertaqarub kepada Allah. Ramadhan hanya momentum untuk meningkatkan dan memaksimalkan kebaikan kita sebagai bekal menghadapi sebelas bulan berikutnya. Untuk itu, Ramadhan akan senantiasa hadir menyambangi kita pada setiap tahunnya. Alangkah rugi dan pelitnya seseorang yang hanya mau bersemangat beribadah dan beramal shalih hanya di bulan tertentu. Demikian juga tidaklah baik seseorang yang hanya mampu beribadah dengan baik dan maksimal di tempat tertentu yang mengandung nilai pahala lebih, seperti di Mekkah misalnya ketika menunaikan ibadah umrah atau haji, namun setelah pulang ke tanah air, kelesuan beribadah kembali terjadi di mana-mana.

Ayat ini oleh sebagian mufassir dijadikan dasar akan hilangnya pahala amal kebaikan yang berhasil dilakukan oleh seseorang jika setelah kebaikan itu ia kembali terjerumus ke dalam dosa dan kemaksiatan, atau jika ia tidak mampu mempertahankan kebaikan tersebut di waktu berikutnya. Ayat ini juga secara korelatif memiliki hubung kait yang erat dengan ayat sebelumnya: “Sesungguhnya orang-orang kafir dan (yang) menghalangi manusia dari jalan Allah serta memusuhi Rasul setelah petunjuk itu jelas bagi mereka, mereka tidak dapat memberi mudharat kepada Allah sedikitpun. dan Allah akan menghapuskan (pahala) amal-amal mereka.” (Muhammad: 32).

Kontens kedua ayat tersebut intinya berbicara tentang perilaku yang dapat menyia-nyiakan amal kebaikan, Perbedaannya, pada ayat 32 ini ancaman Allah ditujukan kepada mereka yang menghalangi manusia dari jalan Allah dan memusuhi Rasulullah saw, sehingga pada ayat 33 Allah mengingatkan orang-orang yang beriman agar tidak menyia-nyiakan amal ketaatan mereka dengan apapun bentuknya seperti yang diancamkan oleh Allah kepada golongan yang ingkar sebelum mereka. Di sini bentuk kasih sayang Allah terhadap kekasih-Nya dari orang-orang beriman sangat ketara agar mereka tetap ta’at kepad-aNya kapanpun dan di manapun, tanpa ada batasan waktu dan tempat, apalagi alasan sempat dan tidak sempat.

Ayat ketiga yang berbicara tentang perilaku yang dapat mensia-siakan amal baik seseorang adalah surah Al-Hujurat: 2 yang bermaksud:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari.” (Al-Hujurat: 2).

Adab kepada Rasulullah saw. dalam berbicara yang disebutkan oleh ayat ini langsung diperintahkan oleh Allah sawt. yang ditujukan secara langsung juga kepada orang yang beriman, karena pada hakikatnya taat kepada Rasulullah adalah taat kepada Allah, “Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (An-Nisa’: 80).

Justeru tidak berakhlak baik kepada Rasulullah dalam segala bentuknya dapat mengakibatkan hapusnya pahala kebaikan yang dilakukan oleh orang yang beriman.

Terdapat banyak pendapat para ulama tentang sikap dan perilaku yang mengakibatkan terhapusnya amal baik seseorang.

Imam Ath-Thabari, Ibnu Katsir dan Al-Qurthubi misalnya menyebutkan bahwa mensia-siakan amal adalah dengan melakukan kaba’ir (dosa-dosa besar. Pendapat seperti ini pernah dikemukakan oleh Hasan Al-Bashri dengan berhujjah dengan surat Al-Hujurat: 2, bahwa tidak beradab kepada Rasulullah merupakan dosa besar yang dapat menghapus pahala amal shalih seseorang.

Imam Qatadah pula berpendapat bahwa amal kebaikan akan sia-sia apabila setelah itu diiringi dengan kembali melakukan dosa dan kemaksiatan. Sedangkan Ibnu Abbas berpandangan bahwa amal kebaikan itu dikhawatirkan akan hapus pahalanya jika disertai dengan riya’ dan ‘ujub (berbangga diri).

Secara umum pendapat mereka berkisar pada segala jenis kemaksiatan dan dosa, apapun bentuknya dikhawatirkan akan menghapus dan mensia-siakan amal taat yang pernah dilakukan oleh seseorang.

Pandangan para ulama di atas diperkuat oleh sebab turun ayat ini seperti yang diriwayatkan oleh Abul Aliyah. Abul Aliyah menukil riwayat tentang sebab turun ayat ini bahwa para sahabat sebelum turun ayat ini memandang tidak masalah berbuat dosa karena mereka telah beriman, seperti juga mereka menganggap bahwa tidak ada gunanya amal jika disertai dengan syirik. Maka turunlah ayat ini yang menegur mereka agar berhati-hati dengan setiap dosa karena dapat mensia-siakan amal.

Oleh karena itu, seorang muslim “yang cerdas” adalah seorang yang mampu meneruskan musim ketaatan pasca Ramadhan. Demikian pula, sejatinya orang yang telah mengukir prestasi dengan beramal dan menjalankan ketaatan yang maksimal di bulan Ramadhan, sangat disayangkan jika setelah melewatinya kembali masuk dalam kelompok pelaku maksiat. Sebagaimana orang-orang yang sudah berhasil merasakan lezatnya ketaatan, indahnya ibadah, sangat disayangkan jika harus kalah dan kembali pada kesengsaraan karena berlumuran dosa dan kemaksiatan. Padahal di antara tanda diterimanya suatu amal ibadah seseorang adalah jika dia dapat konsisten dan lebih banyak lagi melakukan amal tanpa melihat waktu atau bulan tertentu dan tempat tertentu yang memiliki keutamaan. “Jadilah hamba Rabbani, dan bukan hamba Ramadhani.” Dan itulah makna hakiki dari firman Allah swt, “Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal)”. (Al-Hijr: 99).

So, jangan sia-siakan kebaikan ini dan jadikan “musim Ramadhan” terus mengisi waktu-waktu kita. Amin

दक्वः सिअपा ताकुत ?

Berdakwah, Siapa Takut?!
Oleh: Tim dakwatuna.com
Kirim

dakwatuna.com - Kehidupan dunia ini diiringi kesulitan demi kesulitan (Al-Balad:4). Sehingga kesulitan sesuatu yang tak bisa dielakkan. Ia adalah realita perjalanan dunia ini. Kesulitan menjadi sebuah resiko dalam hidup. Tak seorang pun yang lepas dari kenyataan itu. Namun yang acap kali terjadi adalah takut terhadap resiko yang bakal muncul. Lantaran kekerdilan jiwa untuk menghadapinya. Lalu timbullah ketakutan-ketakutan. Rasa ketakutan ini cuma menggiring seseorang menjadi pengecut. Dan akhirnya lari dari kenyataan.

Sifat pengecut dipandang sebagai sifat tercela yang tidak boleh dimiliki orang-orang yang beriman. Karena pengecut artinya ia tidak mau menanggung dan menghadapi resiko yang memang sudah menjadi konsekwensinya. Perilaku ini merupakan perilaku orang-orang yang setengah hati dalam keimanan, hanya ingin serba enak tanpa harus bersusah payah menghadapi masalah rumit. Sifat pengecut akan menjadi penghalang untuk maju dan pemberat langkah kesuksesan.

Saat ini, dunia dipenuhi dengan orang-orang yang memiliki sifat pengecut. Sebuah hadits Nabi SAW. memprediksikan di suatu masa umat Islam akan menjadi bulan-bulanan dan santapan empuk musuh-musuh Islam karena sudah mengidap penyakit wahn, yakni cinta dunia dan takut mati. Memang, penyakit wahn-lah yang menyebabkan umat Islam banyak yang menjadi pengecut sehingga tidak lagi disegani oleh musuh-musuhnya yakni kaum kafir, musyrikin dan munafikin.

Islam memandang hina orang yang pengecut. Baik pengecut untuk mempertahankan hidup sehingga gampang putus asa. Pengecut lantaran takut dikucilkan dari komunitasnya. Pengecut karena berlainan dengan sikap banyak orang. Atau pengecut untuk membela sebuah nilai. Kemudian menjerumuskan pelakunya pada sikap yang plin-plan tanpa prinsip. Rasulullah SAW. bersabda: ‘Janganlah kamu menjadi orang yang tidak punyai sikap. Bila orang melakukan kebaikan maka aku pun melakukannya. Namun bila orang melakukan keburukan maka aku pun ikut melakukannya juga. Akan tetapi jadilah orang yang punya sikap dan keberanian. Jika orang melakukan kebaikan maka aku melakukannya. Namun jika orang melakukan keburukan maka aku tinggalkan sikap buruk mereka’. (HR. Tirmidzi)

Allah SWT. selalu menggelorakan orang-orang yang beriman agar jangan takut, jangan pengecut. Karena rasa takut akan membawa kegagalan dan kekalahan. Akan tetapi keberanian menjadi seruan yang terus berulang-ulang dikumandangkan. Karena keberanian adalah tuntutan keimanan. Iman pada Allah SWT. mengajarkan menjadi orang-orang yang berani menghadapi beragam resiko dalam hidup ini terlebih lagi, resiko dalam memperjuangkan dakwah ini.

Syaja’ah atau keberanian merupakan jalan untuk mewujudkan sebuah kemenangan dan sebagai izzah keimanan. Tak pernah boleh ada, kata gentar bagi aktivis dakwah saat mengemban tugas bila ingin meraih kegemilangan. Dari sisi inilah kaum yang beriman berada jauh di atas kebanyakan orang. Karena izzah keimanan menuntun mereka untuk tidak takut dan gentar sedikit pun.

“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman”. (Q.S. Ali Imran: 139)

Dahulu yang membuat gentar musuh-musuh Islam adalah keberanian pejuang-pejuang Islam yang menghambur ke medan perang dengan suka cita karena pilihannya sama-sama baik yakni hidup mulia dengan meraih kemenangan atau mati syahid di jalan Allah. Bahkan mereka jauh mencintai kemuliaan sebagai syahid sebagaimana kecintaan kaum kafir terhadap dunia. Dengan sikap ini kaum muslimin banyak memperoleh anugerah kemenangan dakwah di berbagai tempat.

Orang-orang kafir amat takut terhadap orang-orang yang beriman yang memiliki prinsip ini. Sehingga mereka berupaya agar sifat berani tidak bersemayam dalam diri orang-orang mukmin. Lalu mereka takut-takuti kaum muslimin dengan situasi dan kondisi masa depan yang suram, ancaman, teror, intimidasi atau tekanan-tekanan lainnya agar umat ini tidak lagi berani memperjuangkan nilai dan norma yang diyakininya. Akhirnya timbullah sikap takut yang luar biasa hingga melemahkan semangat juangnya.

Oleh karena itu jangan tertipu oleh upaya orang-orang kafir untuk menghilangkan sifat syaja’ah. Sebab syaja’ah merupakan harga diri orang-orang beriman. Lantaran sifat itu sebulan sebelum kedatangan kaum muslimin orang-orang di Babylonia telah lari tunggang langgang mendengar umat Islam akan tiba di negeri mereka. Sampai-sampai Khalid bin Walid RA. menenangkan masyarakat Romawi agar tidak perlu teramat takut pada kaum muslimin karena kedatangan umat Islam hanya untuk menyerukan Islam dan mengajak mereka menghamba pada Allah SWT. semata.

Asy syaja’ah (keberanian) menjadi salah satu ciri yang dimiliki orang yang istiqamah di jalan Allah, selain ciri-ciri berupa al-ithmi’nan (ketenangan) dan at-tafaul (optimisme). Dengan demikian orang yang istiqamahlah akan senantiasa berani, tenang dan optimis karena yakin berada di jalan yang benar dan yakin pula akan dekatnya pertolongan Allah. Namun memang tak mudah untuk menjadi orang yang istiqamah atau teguh pendirian memegang nilai-nilai kebenaran dan senantiasa berada di jalan Allah. Bahkan Rasulullah SAW. mengatakan bahwa turunnya surat Hud membuat beliau beruban karena di dalamnya ada ayat (QS. Huud: 112) yang memerintahkan untuk beristiqamah,

“Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah tobat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”

Rasulullah SAW. memahami benar makna istiqamah yang sesungguhnya sampai ketika Abu Sufyan bertanya hal terpenting apa dalam Islam yang membuatnya tak perlu bertanya lagi, beliau menjawab, “Berimanlah kepada Allah dan kemudian beristiqamahlah (terhadap yang kau imani tersebut)”. (HR. Bukhari). Di kesempatan lain, Rasulullah SAW. juga mengatakan tantangan buat orang yang istiqamah memegang Islam di akhir zaman, begitu berat laksana menggenggam bara api.

Keberanian untuk tetap istiqamah walau nyawa taruhannya nampak pada diri orang-orang beriman di dalam surat Al-Buruuj: 4 - 8 yang dimasukkan ke dalam parit dan dibakar oleh as-habul ukhdud hanya karena mereka menyatakan keimanannya kepada Allah SWT. Begitu pula Asiah, istri Firaun dan Masyitah, pelayan Firaun, kedua-duanya harus menebus keimanan mereka kepada Allah dengan nyawa mereka. Asiah di tiang penyiksaannya dan Masyitah di kuali panas mendidih beserta seluruh keluarganya karena mereka berdua tak sudi mentuhankan Firaun. Demikian sulitnya untuk mempertahankan keistiqamahan di jalan Allah, dan demikian sulit pula untuk mewujudkan asy syaja’ah sebagai salah satu aspeknya.

Muthallibatu Ad Da’wah (Tuntutan Dakwah)

Dalam mengusung amanah dakwah, slogan ‘Jangan pernah takut, Maju pantang mundur, Berani karena benar, rela mati demi kebenaran’ tidak boleh luntur melainkan harus tetap terpatri dalam sanubari aktivis dakwah. Melekatnya doktrin itu, membuat aktivis dakwah tidak akan lari ke belakang demi kemenangan dakwah ini. Karena asy syaja’ah (keberanian) mengemban amanah umat merupakan tuntutan dakwah.

Manakala Allah SWT. berbicara tentang penyelamatan dakwah, maka aspek asy syaja’ah ini yang selalu disebut-sebut oleh-Nya. Sebagaimana dalam Q.S. At Taubah: 40, ‘Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita.” Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana’.

Di samping itu sikap syaja’ah para kader menjadi sebab dakwah berkesimbungan di muka bumi ini. Dengannya dakwah ini berjalan terus sekalipun harus melewati bukit terjal ataupun tembok besar. Beresiko berat ataupun ringan. Dengan keberanian para pejuang dakwah, ajaran Islam ini merambah ke berbagai pelosok dunia bahkan sampai pada diri kita saat ini. Padahal bila dilihat tantangan dan rintangan yang dihadapi sangat berat. Tantangan alam, geografis, budaya, maupun rintangan dari musuh-musuh dakwah. Tanpa keberanian mereka, perjalanan dakwah ini akan tertatih-tatih lantaran ketakutan yang melemahkan gerak dakwah ini.

Da’aimu Asy Syaja’ah (Pilar Keberanian)

Karena sikap asy syaja’ah merupakan tuntutan dakwah maka para aktivis mesti selalu memompa dan menopang keberaniannya agar kata takut dan pengecut tidak lagi melekat dalam dirinya. Takut dan pengecut tidak boleh ada dalam memperjuangkan dakwah. Adapun pilar-pilar yang menghantarkan diri seorang kader memiliki sifat asy syaja’ah adalah hal-hal berikut ini:

Al Iman bil Ghaib (Iman Dengan Yang Ghaib)

Penopang yang amat kokoh untuk menguatkan sikap asy syaja’ah dalam diri kader dakwah adalah memperkuat keyakinannya akan hal-hal yang ghaib. Seperti yakin akan pertolongan Allah SWT. Yakin akan malaikat-malaikat-Nya yang senantiasa membantu orang yang memperjuangkan agama Allah SWT. Begitu pula yakin akan kehidupan akhirat yang ditentukan oleh amaliyah kita di dunia ini, khususnya amal-amal dakwah.

Keyakinan pada hal yang ghaib memunculkan sikap berani, tak takut terhadap apa yang terjadi. Karena semua yang bakal terjadi telah menjadi ketentuan dalam kehidupan seseorang. Ia merupakan takdir yang telah ditetapkan. Sebagaimana pengalaman nyata yang menarik dari seorang kader dakwah yang diancam atas perjuangannya selama ini. Tatkala di atas kepalanya ditodongkan pistol. Lalu sang algojo mengatakan, ‘Mana Tuhanmu, Apakah ia bisa menyelamatkan kamu kalau pelatuk pistol ini kugerakkan. Dan hancurlah batok kepalamu berkeping-keping. Jawab sang aktivis, Bila Tuhanku tidak mengizinkan pistol itu meledak maka aku tidak akan mati. Atau kalaupun pistol itu meledak namun Tuhanku tidak menetapkan aku mati maka aku pun tidak akan mati’. Jawaban ini sebagai jawaban atas keyakinan pada Yang Ghaib, yakni Allah SWT.

Keyakinan semacam ini adalah buah dari tarbiyah yag telah menanamkan rasa takut hanya pada Allah SWT. dan senantiasa bergantung pada-Nya. Sehingga kader memiliki cantolan yang teramat kuat. Lantaran pegangan dirinya kepada yang Maha Kuat ia tidak pernah mundur menghadapi cobaan dan rintangan dakwah. Demikianlah hasil dari proses tarbiyah yang panjang, membina aktivis untuk senantiasa yakin dengan sebenar-benarnya pada kekuatan yang Ghaib.

Rasulullah SAW. telah mengingatkan Abu Bakar RA. akan keyakinan pada Rabbul Izzati. Di saat orang-orang kafir sudah berada di gua Tsur ingin membunuhnya. Abu Bakar hingga mencemaskan, Ya Rasulullah, sekiranya salah satu dari mereka melihat betisnya maka mereka pasti akan melihat kita. Nabi SAW. menenangkannya dengan menyatakan, ‘duhai Abu Bakar, apakah kamu mengira kita di sini Cuma berdua. Tidak, Abu Bakar, kita di sini bertiga. Janganlah takut dan gentar, Allah bersama kita.

Karenanya jiwa para kader tidak boleh luput untuk selalu berinteraksi pada Allah SWT. agar dikuatkan diri dan jiwa dalam memperjuangkan dakwah. Karena kemenangan para pejuang dakwah bukan ditentukan oleh kekuatan material melainkan kekuatan dari Yang Maha Perkasa.

Al Mujahadah Ala Al Khauf (Menaklukkan Rasa Takut)

Rasa takut sebagai lawan dari asy syaja’ah memang amat manusiawi. Kenyataan ini merupakan watak alamiyah yang dimiliki setiap insan. Seperti takut terbakar, tenggelam, terjatuh di mangsa binatang buas dan lain sebagainya. Namun rasa takut semacam itu harus berada di bawah khauf syar’i yakni takut kepada Allah SWT. Sehingga setiap kader dakwah sepatutnya menaklukkan rasa takut thabi’inya dengan mengkedepankan rasa takut kepada Rabbbul Izzati. Dengan begitu mereka akan ringan dalam memperjuangkan dakwah, tidak maju mundur lantaran ketakutan-ketakutan yang ada pada dirinya.

Hal tersebut secara indah dan heroik terlihat gamblang pada kisah Nabi Musa AS., Ibrahim AS. dan Muhammad SAW. Rasa takut pada kemungkinan tenggelam ke laut merah teratasi oleh ketenangan, optimisme dan keberanian Nabi Musa AS. yang senantiasa yakin Allah bersamanya dan akan menunjukinya jalan. Dan benar saja Allah memberinya jalan keluar berupa mukjizat berupa terbelahnya laut merah dengan pukulan tongkatnya sehingga bisa dilalui oleh Nabi Musa dan pengikutnya. Kemudian laut itu menyatu kembali dan menenggelamkan Firaun beserta tentaranya.

Kisah yang tak kalah mencengangkannya terlihat pada peristiwa pembakaran Nabi Ibrahim AS. Rasa takut thabi’i terhadap api dan terbakar olehnya teratasi oleh rasa takut syar’i yakni takut kepada Allah saja. Dan subhanallah, pertolongan Allah datang dengan perintah-Nya kepada api agar menjadi dingin dan sejuk serta menyelamatkan Nabi Ibrahim AS.

Demikian juga apa yang dialami para murid-murid syeikh Umar Tilmisani yang harus menerima hukuman atas perjuangannya selama ini. Sang syeikh digugat oleh murid-muridnya yang telah disiksa musuh-musuh dakwah. Ada yang digantung, ada yang disetrum, ada yang dibunuh. Para murid meminta syeikh untuk keringanan hukuman yang mereka derita karena rasa takut yang luar biasa. Syeikh mengusir rasa takut murid-muridnya dengan menyatakan, ‘wahai murid-muridku. Musuh-musuh Allah itu bisa berbuat apa saja pada kita. Mereka mampu mencincang kita, mereka juga dapat menggantung kita, mereka juga bisa membunuh kita. Namun ada hal yang harus kamu yakini bahwa mereka tidak akan pernah melakukannya di tempat yang tidak ada Allahnya. Pasti Allah bersama kalian dalam berbagai keadaan’.

Selayaknya setiap kader dakwah selalu menundukkan rasa takut insaniyahnya dengan mendominasikan rasa takut syar’inya. Sehingga yang selalu tertanam dalam dirinya hanya takut pada Allah semata. Dan tidak pernah gentar akan kekuatan-kekuatan selain Allah SWT.

Taurits Al Khairiyah (Mewariskan Hal Yang Terbaik)

Penopang lainnya adalah dengan mempertimbangkan keadaan generasi berikutnya harus lebih baik dari sebelumnya. Maka warisan yang ditinggalkan untuk mereka adalah warisan-warisan kemuliaan. Sehingga mereka mengikuti jejak para pendahulunya yang mempunyai akhlaq mulia. Bila menginginkan generasi sesudahnya menjadi pemberani maka wariskan sifat berani pada mereka. Namun bila mewariskan sifat takut dan pengecut maka jangan harap generasi berikutnya menjadi orang-orang yang heroik dan patriotik.

Abul ‘Ala Al Maududi menegaskan bahwa untuk mewariskan keturunan dan generasi yang lebih baik maka jangan lakukan sifat-sifat rendahan. Karena itu akan menjadi contoh bagi mereka. Ingatlah kebaikan akan mewariskan kebaikan dan keburukan akan mewarisi keburukan pula. Oleh karena itu Allah SWT. telah mengingatkan agar memperhatikan nasib generasi berikutnya dengan mewariskan nilai-nilai kebaikan untuk menjadi dhawabith khairiyah bagi mereka.

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”. (Q.S. An Nisa’: 9)

Adalah hal yang patut dipikirkan para kader dakwah untuk selalu menanamkan tekad dan kemauan agar melahirkan generasi yang terbaik dengan selalu berpegang pada sikap-sikap keteladanan yang di antaranya sikap asy syaja’ah.

As Shabru Ala Ath Tha’ah (Bersabar Terhadap Ketaatan)

Keberanian akan terus ada pada diri kader bila mereka bersabar. Sabar terhadap peristiwa yang mereka alami. Karena kesabaran itu merupakan senjata yang ampuh yang memberikan ketahanan menghadapi tekanan berat sekalipun. Dengan kesabaran kita pun dapat membandingkan kejadian yang dirasakan generasi yang lalu dengan yang sedang kita rasakan . Mereka tentu telah mengalami cobaan yang lebih berat ketimbang yang kita alami saat ini. Dengan kesabaran ini kita dapat bertahan dan terus maju melangkah di atas jalan dakwah dengan gagah berani.

Sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah saat menasihati Khabbab bin Al Arts yang berkeluh kesah atas beratnya penderitaan yang dialaminya, beliau mengingatkan Khabbab akan perjuangan para Nabi dan orang-orang shaleh terdahulu yang jauh lebih berat tapi mereka tetap berani dan tabah. Jadi kita bisa memupuk keberanian dan kesabaran dengan berkata, “Ah… cobaan ini belum seberapa dibanding yang pernah dialami orang-orang shaleh terdahulu“.

Oleh sebab itu bekal kesabaran tidak boleh dalam keadaan defisit. Kesabaran mesti dalam kondisi yang selalu cukup dan bertambah. Karena kesabaran yang kuat menjadi tameng dalam menyelamatkan diri atas cobaan-cobaan berat dakwah ini. Allah SWT. pun mengingatkan agar senantiasa bersabar dan menguatkan kesabaran.

“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung”. (Q.S. Ali Imran: 200)

Al Ajru min Allah (Berharap Balasan Dari Allah)

Seorang aktivis juga bisa mengusung dakwah ini dengan berani karena berharap balasan yang besar dari Allah SWT. Balasan yang dijanjikan ini meminimalkan perasaan takut akan ancaman dalam memperjuangkan dakwah. Rasa takut akan segera sirna bila balasan yang dijanjikan jauh lebih besar dari apa yang diderita saat itu. Bahkan balasan yang pasti diberikan itu dapat memompa semangat juang kader untuk terus berada di jalan dakwah dan memperjuangkannya sampai titik darah penghabisan. Maka balasan Allah SWT. itu seyogianya tervisualisasi dengan baik pada diri kader dakwah. Seakan-akan semua balasan itu ada di pelupuk mata.

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”. Kamilah Pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan di akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Q.S. Fushshilat: 30 - 32)

Bila balasan yang dijanjikan Allah SWT. senantiasa terngiang-ngiang dalam benak aktivis maka tidak ada alasan untuk takut dan pengecut. Rasulullah SAW. mengingatkan Abdullah bin Harits yang mengungkapkan keinginannya untuk masuk Islam. Namun ia perlu mengajukan dua syarat yang memang terjadi pada dirinya. Pertama, tidak dibebankan infak karena dia orang yang termiskin di keluarga dan kabilahnya dan tidak pula diwajibkan berperang karena dia seorang yang penakut. Nabi menjawab, ‘wahai Abdullah, bila itu kamu syaratkan lalu dengan apa kamu akan masuk syurga?’. Maka Abdullah menandaskan, ‘kalau begitu, ya Rasulullah aku akan berinfak dan akan berjuangan di jalan Allah SWT’. Begitulah akhirnya Abdullah bin Harits berada di barisan terdepan di jalan dakwah tanpa rasa takut dan lemah. Allahu a’lam (bersambung)

इनिलाह नेरका

الحمد لله الذى جَعَلَنا مِنْ عِبادِهِ الْمُخْلِصِيْْنَ ووَفَّقَنا لِلْعَمَلِ بِما فيهِ صَلاحُ الاسْلامِ والمسلمين. أشهد أن لا اله الا الله وحده لا شريك وأشهد أن محمدا عبده ورسوله الهادى الى الصراط لمستقيم أما بعد،، فياأيها المسلمون أوصيكم وإياي بتقوى الله عز وجل والتَّمَسُّكِ بهذا الدِّين تَمَسُّكًا قَوِيًّا. فقال الله تعالى في كتابه الكريم، أعوذ بالله من الشيطان الرجيم “يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ “

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah….

dakwatuna.com - Neraka adalah tempat yang disediakan Allah swt. bagi orang-orang kafir. Mereka adalah orang-orang yang membangkang terhadap syariat Allah dan mengingkari Rasulullah saw. Neraka merupakan wujud siksa Allah kepada musuh-musuh-Nya dan penjara bagi mereka yang berbuat dosa. Tempat ini adalah suatu kehinaan dan kerugian yang tiada taranya.

“Ya Rabb kami, sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka sungguh Engkau hinakan dia; dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolong pun.” (Ali Imran: 192)
“Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang kafir.” (Ali Imran: 131)

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah….

Sosok yang berdiri tegak menjaga api neraka adalah malaikat. Perawakannya besar. Ekspresi wajah dan suaranya amat garang. Mereka adalah hamba-hamba Allah yang tidak pernah durhaka kepada Rabb yang menciptakan diri mereka. Mereka senantiasa patuh terhadap semua perintah Rabb mereka. Coba simak ayat Al-Qur’an ini.

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya malaikat-malaikat yang kasar lagi keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6)

Jumlah malaikat penjaga neraka ada sembilan belas, seperti yang firman Allah swt.,

“Aku akan memasukkannya ke dalam (neraka) Saqar. Tahukah kamu apa (neraka) Saqar itu? Saqar itu tidak meninggalkan dan tidak membiarkan, (neraka Saqar) adalah pembakar kulit manusia, di atasnya ada sembilan belas (malaikat penjaga). (Al-Muddatstsir: 26-30)

“Dan tiada Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat, dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu kecuali sebagai ujian bagi orang-orang kafir.” (Al-Jin: 31)

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah….

Tahukah Anda seperti apa api neraka itu? Sanggupkah kulit dan daging Anda menahan panasnya yang membakar?

Rasulullah saw. bersabda, “Api kamu ini hanyalah satu bagian dari tujuh puluh bagian api di neraka jahannam.” Para sahabat mengatakan, ”Yang ini pun sudah cukup berat panasnya.” Berkata Nabi, ”Bahkan api neraka itu melebihi sebanyak enam puluh sembilan kali lipat panasnya api dunia.”

“Api neraka jahannam telah dinyalakan seribu tahun hingga menjadi merah. Kemudian dibakar lagi selama seribu tahun hingga menjadi putih. Kemudian dibakar lagi selama seribu tahun hingga menjadi legam, seperti malam yang gelap gulita.” (HR Tirmidzi).

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah….

Siapapun orang yang dimasukkan ke dalam neraka, dia tidak akan keluar darinya. Pintu neraka berdiri kokoh dan tertutup rapat. Itulah pejara bagi orang-orang yang menganggap remeh berita tentang pengadilan akhirat.

“Dan sesungguhnya jahannam itu benar-benar tempat yang telah diancamkan kepada mereka (pengikut-pengikut setan) semuanya. Jahannam itu mempunyai tujuh pintu, tiap-tiap pintu (telah ditetapkan) untuk golongan yang tertentu dari mereka.” (Al-Hijr: 43-44)

“Dan orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, mereka itu adalah golongan kiri. Mereka berada dalam neraka yang (pintunya) ditutup rapat.” (Al-Balad: 19-20)

Orang-orang kafir dihalau ke neraka jahannam berombong-rombongan. Sehingga apabila mereka sampai ke neraka itu dibukakanlah pintu-pintunya dan berkatalah para penjaganya kepada mereka, “Apakah belum pernah datang kepada kalian Rasul-rasul di antaramu yang membacakan kepadamu ayat-ayat Rabbmu dan memperingatkanmu akan pertemuan hari ini?” Mereka menjawab, “Benar telah datang.” Tetapi telah pasti berlaku ketetapan azab terhadap orang-orang kafir. Dikatakan (kepada mereka), “Masukilah pintu-pintu neraka jahanam itu, sedang kamu kekal di dalamnya.” Maka neraka jahannam itulah seburuk-buruk tempat bagi orang-orang yang menyombongkan diri.” (Az-Zumar: 71-72)

Neraka itu mempunyai tujuh pintu, tiap-tiap pintu darinya adalah bagian yang sudah ditentukan.” (Al-Hijr: 44)

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah….

Orang-orang yang abadi di dalam neraka adalah golongan kafir dan munafik. Ini firman Allah swt., “Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Al-Baqarah: 39)

“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami serta menyombongkan diri terhadapnya, mereka itulah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Al-A’raf: 36)

“Tidakkah mereka, orang-orang munafik itu mengetahui bahwasanya barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya neraka Jahannamlah baginya, mereka kekal di dalamnya. Itu adalah kehinaan yang besar.” (At-Taubah: 63)

Kemudian dikatakan kepada orang-orang yang zhalim (musyrik) itu, ”Rasakanlah olehmu siksaan yang kekal, kamu tidak diberi balasan melainkan dengan apa yang telah kamu kerjakan.” (Yunus: 52)

“Sesungguhnya penghuni neraka yang paling ringan siksaannya ialah orang yang diberi sepasang sandal yang talinya terbuat dari api neraka, lalu mendidihlah otaknya karena panasnya yang laksana air panas mendidih di dalam periuk. Dia mengira tiada seorangpun yang menerima siksaan lebih dahsyat dari itu, padahal dialah orang yang mendapat siksaan paling ringan.” (Bukhari-Muslim)

“Ada di antara mereka yang dimakan api sampai ke mata kaki, ada yang dimakan sampai pinggangnya dan ada pula yang dimakan sampai ke tenggorokannya.”

“Wahai manusia sekalian, menangislah! Jika tidak dapat menangis, maka paksakan dirimu untuk menangis! Karena sesungguhnya ahli neraka itu akan terus menangis hingga air matanya mengalir di pipi masing-masing, seperti air yang mengalir di sungai. Sampai air mata itu habis dan matanya pun pecah-pecah. Seandainya ada perahu yang diletakkan di situ, niscaya berlayarlah ia.” (HR Ibnu Majah)

Mudah-mudahan kita semua dibebaskan oleh Allah swt. dari adzab neraka. Amin, ya Mujibassailin.

بارك الله لى ولكم فى القرآن العظيم ونفعنى واياكم بما فيه من الايات والذكر الحكيم وتقبل الله منى ومنكم تلاوته انه هو السميع العلي

अकिबत पेर्बुअतन मक्सियत

Kirim

الحمد لله ربِّ العالمين والْعاقِبَةُ لِلْمُتَّقين ولا عُدْوانَ إلَّا عَلى الظَّالمِين

وأشهد أنْ لا إله إلاالله وحده لا شريك له ربَّ الْعالمين وإلَهَ المُرْسلين وقَيُّوْمَ السَّمواتِ والأَرَضِين

وأشهد أن محمدا عبده ورسوله المبعوثُ بالكتابِ المُبين الفارِقِ بَيْنَ الهُدى والضَّلالِ والْغَيِّ والرَّشادِ والشَّكِّ وَالْيَقِين

والصَّلاةُ والسَّلامُ عَلى حَبِْيبِنا و شَفِيْعِنا مُحمَّدٍ سَيِّدِ المُرْسلين و إمامِ المهتَدين و قائِدِ المجاهدين وعلى آله وصحبه أجمعين.أما بعد،

فياأيها المسلمون أوصيكم وإياي بتقوى الله عز وجل والتَّمَسُّكِ بهذا الدِّين تَمَسُّكًا قَوِيًّا

فقال الله تعالى في كتابه الكريم، أعوذ بالله من الشيطان الرجيم “يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ “

قَالَ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم : « إِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا أَذْنَبَ كَانَتْ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ فِى قَلْبِهِ فَإِنْ تَابَ وَنَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ صُقِلَ قَلْبُهُ فَإِنْ زَادَ زَادَتْ فَذَلِكَ الرَّانُ الَّذِى ذَكَرَهُ اللَّهُ فِى كِتَابِهِ ( كَلاَّ بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ) ».

dakwatuna.com - “Seorang mukmin jika berbuat satu dosa, maka ternodalah hatinya dengan senoktah warna hitam. Jika dia bertobat dan beristighfar, hatinya akan kembali putih bersih. Jika ditambah dengan dosa lain, noktah itu pun bertambah hingga menutupi hatinya. Itulah karat yang disebut-sebut Allah dalam ayat, “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.” (HR Tarmidzi)

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah…

Tahukah Anda sekalian apa akibat yang menimpa diri kita jika kita melakukan maksiat? Ibnu Qayyim Al-Jauziyah telah meneliti tentang hal ini. Menurutnya, ada 22 akibat yang akan menimpa diri kita. Karena itu, renungkahlah, wahai orang-orang yang berakal!

Akibat yang pertama adalah maksiat akan menghalangi diri kita untuk mendapatkan ilmu pengetahuan (حُرْماََنُ الْعٍلْمِ)

Jama’ah yang dimuliakan Allah….

Ilmu adalah cahaya yang dipancarkan ke dalam hati. Tapi ketahuilah, kemaksiatan dalam hati kita dapat menghalangi dan memadamkan cahaya itu. Suatu ketika Imam Malik melihat kecerdasan dan daya hafal Imam Syafi’i yang luar biasa. Imam Malik berkata, “Aku melihat Allah telah menyiratkan dan memberikan cahaya di hatimu, wahai anakku. Janganlah engkau padamkan cahaya itu dengan maksiat.”

Perhatikan, wahai Saudaraku sekalian, Imam Malik menunjukkan kepada kita bahwa pintu ilmu pengetahuan akan tertutup dari hati kita jika kita melakukan maksiat.

Akibat yang kedua adalah maksiat akan menghalangi Rezeki ((حُرْمَانُ الرِزْقِ

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah….

Jika ketakwaan adalah penyebab datangnya rezeki, maka meninggalkan ketakwaan berarti menimbulkan kefakiran. Rasulullah saw. pernah bersabda, “Seorang hamba dicegah dari rezeki akibat dosa yang diperbuatnya.” (HR. Ahmad)

Karena itu, wahai Saudaraku sekalian, kita harus meyakini bahwa takwa adalah penyebab yang akan mendatangkan rezeki dan memudahkan rezeki kita. Jika saat ini kita merasakan betapa sulitnya mendapatkan rezeki Allah, maka tinggalkan kemaksiatan! Jangan kita penuhi jiwa kita dengan debu-debu maksiat.

Jama’ah yang dimuliakan Allah….

Akibat ketiga, maksiat membuat kita berjarak dengan Allah.

Diriwayatkan ada seorang laki-laki yang mengeluh kepada seorang arif tentang kesunyian jiwanya. Sang arif berpesan, “Jika kegersangan hatimu akibat dosa-dosa, maka tinggalkanlah perbuatan dosa itu. Dalam hati kita, tak ada perkara yang lebih pahit daripada kegersangan dosa di atas dosa.”

Akibat maksiat yang keempat adalah kita akan punya jarak dengan orang-orang baik.

Semakin banyak dan semakin berat maksiat yang kita lakukan, akan semakin jauh pula jarak kita dengan orang-orang baik. Sungguh jiwa kita akan kesepian. Sunyi. Dan jiwa kita yang gersang tanpa sentuhan orang-orang baik itu, akan berdampak pada hubungan kita dengan keluarga, istri, anak-anak, dan bahkan hati nuraninya sendiri. Seorang salaf berkata, “Sesungguhnya aku bermaksiat kepada Allah, maka aku lihat pengaruhnya pada perilaku binatang (kendaraan) dan istriku.”

Akibat kelima, maksiat membuat sulit semua urusan kita ((تَعْسِيْرُ أُمُوْرِهِ

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah….

Jika ketakwaan dapat memudahkan segala urusan, maka kemaksiatan akan mempesulit segala urusan pelakunya. Ketaatan adalah cahaya, sedangkan maksiat adalah gelap gulita. Ibnu Abbas r.a. berkata, “Sesungguhnya perbuatan baik itu mendatangkan kecerahan pada wajah dan cahaya pada hati, kekuatan badan dan kecintaan. Sebaliknya, perbuatan buruk itu mengundang ketidakceriaan pada raut muka, kegelapan di dalam kubur dan di hati, kelemahan badan, susutnya rezeki dan kebencian makhluk.”

Begitulah, wahai Saudaraku, jika kita gemar bermaksiat, semua urusan kita akan menjadi sulit karena semua makhluk di alam semesta benci pada diri kita. Air yang kita minum tidak ridha kita minum. Makanan yang kita makan tidak suka kita makan. Orang-orang tidak mau berurusan dengan kita karena benci.

Jama’ah yang dimuliakan Allah….

Akibat keenam, maksiat melemahkan hati dan badan ((أَنَ المَعاَ صِي تُوْهِن القَلْب َ و الْبَدَنَ

Kekuatan seorang mukmin terpancar dari kekuatan hatinya. Jika hatinya kuat, maka kuatlah badannya. Tapi pelaku maksiat, meskipun badannya kuat, sesungguhnya dia sangat lemah. Tidak ada kekuatan dalam dirinya.

Wahai Saudaraku, lihatlah bagaimana menyatunya kekuatan fisik dan hati kaum muslimin pada diri generasi pertama. Para sahabat berhasil mengalahkan kekuatan fisik tentara bangsa Persia dan Romawi padahal para sahabat berperang dalam keadaan berpuasa!

Akibat maksiat yang ketujuh adalah kita terhalang untuk taat(حُرْماَن الطاَعَةِ)

Orang yang melakukan dosa dan maksiat cenderung untuk tidak taat. Orang yang berbuat masiat seperti orang yang satu kali makan, tetapi mengalami sakit berkepanjangan. Sakit itu menghalanginya dari memakan makanan lain yang lebih baik. Begitulah. Jika kita hobi berbuat masiat, kita akan terhalang untuk berbuat taat.

Saudaraku yang dimuliakan Allah….

Maksiat memperpendek umur dan menghapus keberkahanأنَ المَعاَ صِي تَقْصرُ العُمْرَ وبرَكَتَُهُ
Ini akibat maksiat yang kedelapan. Pada dasarnya, umur manusia dihitung dari masa hidupnya. Padahal, tidak ada kehidupan kecuali jika hidup itu dihabiskan untuk ketaatan, ibadah, cinta, dan dzikir kepada Allah serta mencari keridhaan-Nya.

Jika usia kita saat ini 40 tahun. Tiga per empatnya kita isi dengan maksiat. Dalam kacamata iman, usia kita tak lebih hanya 10 tahun saja. Yang 30 tahun adalah kesia-siaan dan tidak memberi berkah sedikitpun. Inilah maksud pendeknya umur pelaku maksiat.

Sementara, Imam Nawawi yang hanya diberi usia 30 tahun oleh Allah swt. Usianya begitu panjang. Sebab, hidupnya meski pendek namun berkah. Kitab Riyadhush Shalihin dan Hadits Arbain yang ditulisnya memberinya keberkahan dan usia yang panjang, sebab dibaca oleh manusia dari generasi ke generasi hingga saat ini dan mungkin generasi yang akan datang.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah….

Akibat kesembilan, maksiat menumbuhkan maksiat lainان المَعاصِي تَزْرَع أَمْثالها) )

Seorang ulama salaf berkata, jika seorang hamba melakukan kebaikan, maka hal tersebut akan mendorongnya untuk melakukan kebaikan yang lain dan seterusnya. Dan jika seorang hamba melakukan keburukan, maka dia pun akan cenderung untuk melakukan keburukan yang lain sehingga keburukan itu menjadi kebiasaan bagi pelakunya.

Karena itu, hati-hatilah, Saudaraku. Jangan sekali-kali mencoba berbuat maksiat. Kalian akan ketagihan dan tidak bisa lagi berhenti jika sudah jadi kebiasaan!

Maksiat mematikan bisikan hati nurani (ضْعِفُ القَلْبَ)

Ini akibat berbuat maksiat yang kesepuluh. Maksiat dapat melemahkan hati dari kebaikan. Dan sebaliknya, akan menguatkan kehendak untuk berbuat maksiat yang lain. Maksiat pun dapat memutuskan keinginan hati untuk bertobat. Inilah yang menjadikan penyakit hati paling besar: kita tidak bisa mengendalikan hati kita sendiri. Hati kita menjadi liar mengikuti jejak maksiat ke maksiat yang lain.

Jika sudah seperti itu, hati kita akan melihat maksiat begitu indah. Tidak ada keburukan sama sekali ((أَنْ يَنْسَلِخَ مِنَ القَلْبِ إسْتٌقْبَاحُها

Jama’ah yang dimuliakan Allah….

Itulah akibat maksiat yang kesebelas. Tidak ada lagi rasa malu ketika berbuat maksiat. Jika orang sudah biasa berbuat maksiat, ia tidak lagi memandang perbuatan itu sebagai sesuatu yang buruk. Tidak ada lagi rasa malu melakukannya. Bahkan, dengan rasa bangga ia menceritakan kepada orang lain dengan detail semua maksiat yang dilakukannya. Dia telah menganggap ringan dosa yang dilakukannya. Padahal dosa itu demikian besar di mata Allah swt.

Para pelaku maksiat yang seperti itu akan menjadi para pewaris umat yang pernah diazab Allah swt.

Ini akibat kedua belas yang menimpa pelaku maksiat. ميْراَثٌ عَن ْ أُمَةٍ منَ الأُمَمِ التِي أهْلَكَهاَ اللهُ

Homoseksual adalah maksiat warisan umat nabi Luth a.s. Perbuatan curang dengan mengurangi takaran adalah maksiat peninggalan kaum Syu’aib a.s. Kesombongan di muka bumi dan menciptakan berbagai kerusakan adalah milik Fir’aun dan kaumnya. Sedangkan takabur dan congkak merupakan maksiat warisan kaum Hud a.s.

Dengan demikian, kita bisa simpulkan bahwa pelaku maksiat zaman sekarang ini adalah pewaris kaum umat terdahulu yang menjadi musuh Allah swt. Dalam musnad Imam Ahmad dari Ibnu Umar disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongannya.” Na’udzubillahi min dzalik! Semoga kita bukan salah satu dari mereka.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah….

Akibat berbuat maksiat yang ketiga belas adalah maksiat menimbulkan kehinaan dan mewariskan kehinadinaan ((أن َ الْمَعْصِيةَ سَبَبٌ لِهَوانِ العَبْد وَسُقُوطُه مِن ْ عَيْنِهِ

Kehinaan itu tidak lain adalah akibat perbuatan maksiat kepada Allah sehingga Allah pun menghinakannya. “Dan barangsiapa yang dihinakan Allah, maka tidak seorang pun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.” (Al-Hajj:18). Sedangkan kemaksiatan itu akan melahirkan kehinadinaan. Karena, kemuliaan itu hanya akan muncul dari ketaatan kepada Allah swt. “Barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu….” (Al-Faathir:10). Seorang Salaf pernah berdoa, “Ya Allah, anugerahilah aku kemuliaan melalui ketaatan kepada-Mu; dan janganlah Engkau hina-dinakan aku karena aku bermaksiat kepada-Mu.”

Akibat keempat belas, maksiat merusak akal kita اِنَ اْلمَعَاصِي تُفْسِدُ الْعَقْلَ))

Saudaraku yang dimuliakan Allah….

Tidak mungkin akal yang sehat lebih mendahulukan hal-hal yang hina. Ulama salaf berkata, seandainya seseorang itu masih berakal sehat, akal sehatnya itu akan mencegahnya dari kemaksiatan kepada Allah. Dia akan berada dalam genggaman Allah, sementara malaikat menyaksikan, dan nasihat Al-Qur’an pun mencegahnya, begitu pula dengan nasihat keimanan. Tidaklah seseorang melakukan maksiat, kecuali akalnya telah hilang!

Akibat kelima belas, maksiat menutup hati.

Allah berfirman, “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.” (Al-Muthaffifiin:14). Imam Hasan mengatakan hal itu sebagai dosa yang berlapis dosa. Ketika dosa dan maksiat telah menumpuk, maka hatinya pun telah tertutup.

Akibat keenam belas, pelaku maksiat mendapat laknat Rasulullah saw.

Saudaraku sekalian, Rasulullah saw. melaknat perbuatan maksiat seperti mengubah petunjuk jalan, padahal petunjuk jalan itu sangat penting (HR Bukhari); melakukan perbuatan homoseksual (HR Muslim); menyerupai laki-laki bagi wanita dan menyerupai wanita bagi laki-laki; mengadakan praktik suap-manyuap (HR Tarmidzi), dan sebagainya. Karena itu, tinggalkanlah semua itu!

Akibat ketujuh belas, maksiat menghalangi syafaat Rasulullah dan Malaikat.

Kecuali, bagi mereka yang bertobat dan kembali kepada jalan yang lurus. Allah swt. berfirman, “(Malaikat-malaikat) yang memikul ‘Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman seraya mengucapkan: ‘Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertobat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyla-nyala. Ya Tuhan kami, dan masukkanlah mereka ke dalam surga ‘Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang shalih d iantara bapak-bapak mereka, istri-istri mereka, dan keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Dan peliharalah mereka dari (balasan) kejahatan.” (Al-Mukmin: 7-9)

Akibat kedelapan belas, maksiat melenyapkan rasa malu.

Padahal, malu adalah pangkal kebajikan. Jika rasa malu telah hilang dari diri kita, hilangkah seluruh kebaikan dari diri kita. Rasulullah bersabda, “Malu itu merupakan kebaikan seluruhnya. Jika kamu tidak merasa malu, berbuatlah sesukamu.” (HR. Bukhari)

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah….

Akibat kesembilan belas, maksiat yang kita lakukan adalah bentuk meremehkan Allah.

Jika kita melakukan maksiat, disadari atau tidak, rasa untuk mengagungkan Allah perlahan-lahan lenyap dari hati kita. Ketika kita bermaksiat, kita sadari atau tidak, kita telah menganggap remeh adzab Allah. Kita mengacuhkan bahwa Allah Maha Melihat segala perbuatan kita. Sungguh ini kedurhakaan yang luar biasa!

Saudaraku yang dimuliakan Allah….

Maksiat memalingkan perhatian Allah atas diri kita. Ini akibat yang kedua puluh.

Allah akan membiarkan orang yang terus-menerus berbuat maksiat berteman dengan setan. Allah berfirman, “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Al-Hasyir: 19)

Maksiat melenyapkan nikmat dan mendatangkan azab. Ini akibat yang kedua puluh satu.

Allah berfirman, “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (Asy-Syura: 30)

Ali r.a. berkata, “Tidaklah turun bencana melainkan karena dosa. Dan tidaklah bencana lenyap melainkan karena tobat.” Karena itu, bukankah sekarang waktunya bagi kita untuk segera bertobat dan berhenti dari segala maksiat yang kita lakukan?

Dan akibat yang terakhir, yang kedua puluh dua, maksiat memalingkan diri kita dari sikap istiqamah.

Kita hidup di dunia ini sebenarnya bagaikan seorang pedagang. Dan pedagang yang cerdik tentu akan menjual barangnya kepada pembeli yang sanggup membayar dengan harga tinggi. Saudaraku, siapakah yang sanggup membeli diri kita dengan harga tinggi selain Allah? Allah-lah yang mampu membeli diri kita dengan bayaran kehidupan surga yang abadi. Jika seseorang menjual dirinya dengan imbalan kehidupan dunia yang fana, sungguh ia telah tertipu!

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah….

Renungkan! Renungkan…! Semoga Allah menjaga kita semua dari perbuatan maksiat. Amin.

بارك الله لنا ولكم في القرآن العظيم ونفعنا وإياكم بما فيه من الآيات و الذكرالحكيم فاستغفروا الله فإنه هو الغفور الرحيم